Hal biasa yang sering ia lakukan bersama Maya, mengantarkan Maya kerja, belanja atau motoran sabtu sore menikmati suasana Kuta. Atau sekedar jajan bakso di deretan lapak kaki lima di area Diponegoro sana, atau segala rutinitas yang seharusnya dan biasa mereka lakukan berdua, atau ... atau, terlalu banyak atau yang ia sendiri tak mengingatnya harus berapa kali atau yang pernah ia lakukan berdua bersama Maya untuk menggambarkannya, mungkin itu yang dimaksud penghiatan oleh Kendra.
Tapi bukannya statusnya kini sudah jelas ! Dia bukan siapa-siapanya Maya sekarang. Maya telah menolaknya! Atau memutusnya? Dan kejaTika dibawah sana itu sudah bukan urusannya lagi.
Ada sedikit sesal dalam hatinya, seandainya ia tak ungkapkan perasaannya semalam, atau menerima tawaran Maya untuk tak menganggap kejadian semalam terjadi dan melalui hari-hari seperti biasanya, mungkin keadaannya berbeda
Tapi konsekwensinya, statusnya tak jelas dan itu membuat Kendra tak bisa memposisikan diri dengan tepat, apa yang ia lakukan takut menjadi salah di mata Maya.
"... ketika langkahnya kembali normal, Kendra akan ditinggalkan." Ucapan mbak Dina seolah bergantian dengan nuraninya.
Dari bawah, sepasang mata bening tengah mengamatinya, tampak senyuman ramah tersungging disana.
Kendra yang pikirannya sedang mengembara tak berarah tujuan, sedikitpun tak menyadari akan hal itu. Tatapannya hanya tertuju pada Ijal, yang setelah memarkir motornya, mengobrol dengan Maya sebentar lalu berjalan menuju kamarnya, tepat dibawah kamar Kendra, meninggalkan Maya seorang diri, yang masih berdiri menghadap keatas.
Kendra dibuat salah tingkah saat menyadari Maya sedang menatapnya.
Damn! Kendra merutuk dirinya sendiri, tanpa membalas senyuman Maya, dia beranjak dari tempatnya, masuk kedalam kamar.
Jahat memang apa yang Kendra lakukan, namun jika mengingat bahwa dia dikorban untuk mempertahankan sebuah komitmen semu apakah tak lebih jahat lagi?.
Maya berjalan lesu menuju kamarnya, perasaannya kini tak menentu. Dia tak bisa menekan tombol ctrl+z untuk membalik keadaan, apalagi kejadian barusan yang ia alami bersama Ijal makin menguatkan hatinya bahwa Kendra tak bisa dibandingkan dengan siapapun.
****
Kendra menjatuhkan tubuhnya menelungkup ke atas kasur, dia berteriak dengan sangat kencang setelah sebelumnya kepalanya dia tutup dengan bantal
"BAJINGAN KAU IJAL!'
Tak ada yang mendengar juga ungkapan kekesalan hatinya, dan dia juga tak bisa menyelahkan Ijal, yang bisa mengajak Maya keluar, bahkan kini Kendra ikut mengutuk Maya yang dengan mudahnya berpindah hati setelah semalam menolaknya dengan alasan tak mencintai dirinya dan memiliki pacar. Munafik! Rutuk Kendra dalam hati, tanpa dia mencari tahu alasan kenapa Maya mau di ajak jalan Ijal, hatinya telah tertutup kebencian.
Tak adil, ya semuanya berjalan tak adil, Maya memperlakukannya tak adil, dengan pengorbankan perasaan Kendra, Kendra juga bersikap tak adil, dengan menjudge Maya cewek gampangan, dan Ijal juga bersikap curang, dengan mudahnya dia menarik perhatian Maya sedagkan selama ini dia tahu, bahwa Maya selalu dekat dengan Kendra. Pikiran negatif menyelimuti Kendra, dia menyalahkan semuanya, pikiran warasnya sudah ternodai oleh cinta butanya. Padahal selama ini dia cowok yang cuek.
"Wajar kalau Ditha marah sama kamu Ken, melihat sikapmu yang begitu akrab ke dia wajar saja kalau yakin kamu akan menerima cintanya, dan sangat kecewa ketika ternyata kamu menolaknya."
Kendra tiba – tiba saja tersentak, ketika mengingat kalimat mbak Dina, seperti ini mungkin yang di rasa Ditha, perlahan Kendra membuka bantal yang menutup kepalanya, pikiran warasnya kembali, pikirannya menjadi gelap tadi ketika melihat pemandangan menyakitkan. Maya bukanlah urusannya lagi sekarang, dia harus move on, dan memblokir nomor teleponnya adalah langkah awal yang tepat, hanya mungkin tadi dia belum siap saja.
Perlahan bibirnya terlihat tersungging senyum, hatinya sakit, tapi entah bibirnya malah tersenyum.
"Biarkan saja waktu yang menyadarkannya kelak, bahwa keputusanmu itu semata untuk menghormati komitmen dia dan Joe."
Mungkin benar, saat ini hanya rasa sakit yang masih terngiang di telinganya, kejadian penolakan itu dia terima baru malam tadi, jadi wajar kalau dirinya hanya merasa sakit, atas harapan yang tak sesui keinginnanya, mungkin dengan seiring berjalannya waktu, sakit ini akan sembuh, dan rasa benci ini akan hilang.
Harapan itu ternyata mudah di pikirkan tapi susah untuk di terapkan, karena sekuat apapun Kendra menepisnya, rasa perih itu seperti erat memeluk hatinya.
****
Sudah dua hari Kendra tak 'ngantor' dengan alasan sakit, padahal moodnya sedang drop, dia jadi malas 'ngapa-ngapain', bahkan kalau bukan karena tuntutan perut yang terus melilit menjerit minta di isi, mungkin dia akan tetap malas untuk 'ngapa - ngapain.'
Dua hari tak 'ngantor,' dua hari pula dia tak mandi, kebiasaan buruk yang telah lama sempat menghilang semenjak kehadiran Maya, kini muncul lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Menurutnya, percuma juga mandi toh Maya tak akan kembali. Tak ada hubungannya sama sekali sebetulnya.
Dering suara telpon menyentakkan lamunannya.
Mengharap itu dari Maya? Ah, Kendra tak berani menambah luka hatinya dengan memberi harapan semu, dan lagi nomor Maya kan sudah ia blokir?. Tapi bisa jadi kan terjadi kesalahan pada ponselnya, kembali Kendra bermonolog dengan pikiran tak warasnya.
Maya! Kendra meloncat dari tempat tidur. Betulkan! Ketidak warasan pikiran Kendra berteriak girang.
Rabu 12:15
"H-halo," sedikit grogi, antara perasaan senang dan kaget entahlah.
"Bro gimana kondisi lu?" Ternyata suara Niko dari seberang telpon menanyakan kabar Kendra.
Bangsat!
Aku harus berhenti nonton sinetron !, Umpat Kendra dalam hati, bahkan matanya pun kini ikut terpapar pengaruh buruknya, masak kata Niko terbaca Maya. Halusinasi yang kebablasan.
Lewat Niko Kendra memintakan ijin untuk tak masuk kerja, dengan alasan sakit. Padahal bisa saja dia langsung kirim pesan ke manajernya, untuk ijin tak masuk, tapi entahlah pikirannya sedang kacau, bahkan yang ada dipikirannya saat itu hanya Niko, padahal ada mbak Dina juga yang tentu lebih dekat.
"Entahlah cuk, parah banget ini kayaknya. " Suara segan Kendra terdengar ogah - ogahan untuk menjawab.
"Serius lu bro! Emang temen sebelah lu belum balik? Minta antar siapa kek ke dokter atau gua ketempat lu sekarang deh! " Niko terdengar panik.
"Ngga usahlah ini yang sakit hati gua cuk," kata Kendra lirih.
" Lu kena liver!" Pertanyaan Niko membuat Kendra gemas, dia masih belum ngeh, kalau temennya kini setengah mati menahan patah hati.
"Bukan dodol!" Pekik Kendra kesal, terdengar suara tawa di seberang telpon.
"Lu bisa patah hati juga Ken?, Ha ha ha ha, cewek tangguh mana yang bisa bikin lu tumbang?" Niko meledeknya habis - habisan, ketika sadar maksud ucapan Kendra dan dia benar - benar ngga menyangka sahabatnya yang terkenal PD, rame , gacor kalo istilah Beni, bisa patah hati juga.
"Udah ah, giliran kemaren gua mau curhat lu malah pada mabok, gua pengen sendiri dulu!"Sungut Kendra kesal, dia geletakkan begitu saja handphone yang masih menyala di meja.
Diseberang panggilan, Niko dengan tawanya sudah tak digubrisnya, sampai akhirnya sambungan terputus.
Teori memang mudah di ungkapkan dari pada menjalankan prakteknya.