Tubuh Anna meringkuk di atas kasur tidur. Memeluk tubuhnya di antara rasa dingin yang kini terasa menusuk di kulit putihnya. Entah, sudah berapa banyak air mata yang dia keluarkan hari ini. Anna membencinya. Semua yang sudah terjadi. Sangat buruk, Anna ingin mati saja rasanya.
"Kenapa Shania setega itu sama aku? Salah aku apa sama dia?" tanya Anna bersamaan dengan tangisannya yang sulit untuk dihentikan. Padahal, Shania adalah perempuan yang sudah dia anggap seperti saudara.
Dari kekecewaannya ke Shania, kini pikiran Anna dibuat kacau karena mengingat banyak hal. Ibunya yang terbaring di ruangan ICU, penampilan istimewanya besok malam dan juga Dimas. Tunangannya yang akan kembali dari Jerman satu minggu lagi. Mengingat semuanya membuat Anna semakin tersiksa.
"Aku harus keluar dari sini!" Ana menegaskan ke dirinya. Dia berusaha untuk duduk dan menenangkan diri. Anna tak ingin lemah, walaupun untuk kuat pun sangat sulit untuknya.
"Selamat malam, Nona," kata pelayan di rumah Raja. Dia masuk ke dalam kamar Anna dan membawa makan malam untuk Anna.
"Silakan dimakan Nona. Saya mohon, jangan membuat Tuan Raja marah," kata pelayan itu dengan menunduk lemah.
"Hah! Memangnya kenapa kalau aku membuat dia marah, hah? Aku nggak peduli!" kata Anna masa bodoh.
"Sangat mengerikan jika Tuan sudah marah Nona. Lebih baik Nona menurut saja apa maunya dia," kata pelayan itu lagi yang masih menunduk lemah.
Anna memerhatikan baik-baik pelayan itu. Satu ide hebat pun terbesit. Anna sedikit menyunggingkan senyuman. "Oke, aku akan makan. Kamu temani aku makan. Okay?" kata Anna dengan percaya diri. Tak ada lagi kesedihan di wajahnya.
"Baiklah Nona," balas pelayan itu.
"Sini, makanan aku! Aku mau makan di sini!" kata Anna memerintah.
Pelayan itu menurut dan mengambil makan malam Anna yang semula dia letakkan di atas meja. Dia lalu menyerahkannya ke Anna yang masih duduk di atas kasur tidur.
Anna memberikan kode agar pelayan itu duduk di sampingnya. Anna pun memberikan senyuman manisnya. Pelayan itu menurut dan duduk di dekat Anna.
"Namamu siapa?" tanya Anna santai seraya melahap makan malamnya.
"Ida, Nona," balas pelayan itu.
Anna hanya manggut-manggut. Dia melahap kembali makan malamnya. "Tuanmu sedang apa sekarang?" tanya Anna basa basi.
"Sedang bersantai di kamarnya," balas Ida.
Anna terdiam seketika. Dia menghentikan aktivitas makannya dan meletakkan makanannya ke samping. Tak ada yang nampak mencurigakan dari Anna. Hingga dia berhasil mengarahkan garpu dalam genggamannya ke leher pelayan itu.
"Bantu aku keluar dari rumah ini! Sekarang!" perintah Anna membentak.
"Ma—ma--maaf Nona. Saya tidak bisa," balas Ida tergagap.
"Kamu mau, aku menusuk lehermu menggunakan garpu ini, hah?" ancam Anna tak main-main. Dia bahkan memberikan sedikit tekanan ke arah leher Ida. Membuat pelayan itu gemetar dan merasakan perih.
"Baiklah Nona." Ida pasrah. Dia pun akhirnya bangun dari posisi duduknya dan menuruti perintah Anna.
Keduanya berjalan hati-hati. Anna pun masih mengarahkan garpu itu ke leher Ida sekaligus mengawasi pergerakan pelayan itu. Takut jika sewaktu-waktu malah menjebaknya.
"Silakan lewat sini Nona," kata Ida setelah membuka pintu belakang rumah itu yang dekat dengan dapur.
"Kalau Tuan kamu tanya aku sedang apa, bilang saja aku sudah tidur setelah makan malam. Okay?" Anna memerintah kembali dengan tegas.
"Baik Nona," balas Ida pasrah.
Anna tersenyum lebar dan segera melancarkan aksinya. Anna tak langsung berlari untuk menjauh dari rumah itu. Apalagi di tengah suasana yang gelap seperti ini. Kaki telanjangnya pelan-pelan dia bawa untuk pergi menjauh dari rumah itu.
Anna merasakan angin yang berembus begitu kencang menghentak sekujur tubuhnya. Kaki telanjang Anna mengayun kembali dan kali ini lebih cepat. Menyapu jalanan berkerikil itu.
Keluar dari rumah itu saja tak cukup bagi Anna. Kini dia terjebak kembali di tempat yang baginya menyeramkan. Gelap dan tak ada penghuni lainnya di tempat itu.
Ya, Raja memang tinggal di rumah yang berada di pulau miliknya. Hanya ada rumahnya di pulau itu. Kini, Anna tersesat. Dia memaki tak henti-henti. Dia melangkah kembali membelah hening dan gelap yang membuat Anna berjalan tak tentu arah.
Langkahnya kini sampai di tepi pantai. Indah memang, namun, Anna tak peduli keindahan itu. Dia ingin segera keluar dari tempat yang baginya sudah seperti penjara.
"Tolong!" teriak Anna lantang. Suaranya beradu dengan debur ombak.
Anna berlari kembali seraya melantangkan suaranya. Dia meminta pertolongan berkali-kali. Berharap akan ada yang menolongnya malam ini.
Napas Anna mulai tak taratur. Tenaga dan suaranya terbuang sia-sia. Belum ada tanda-tanda pertolongan itu akan datang. Anna mengedarkan pandangannya. Dia benar-benar sendiri sekarang.
"Argh!" Anna murka. Dia menunduk lemah dan menangis.
Berkali-kali Anna memukuli dadanya yang terasa sesak. Dia merasa sangat tersiksa. Tak mampu lagi bertahan dalam keadaan seperti ini. Selama ini pun dia sudah disiksa semesta habis-habisan semenjak hidupnya berubah drastis.
Tepat di usianya yang ke-17 tahun, hidup Anna berubah. Kemewahan hidupnya lenyap saat perusahaan ayahnya bangkrut. Setelah itu ayahnya depresi hingga memilih mengakhiri hidupnya. Semakin membuat hidup Anna tersiksa, Anna harus menerima kenyataan pahit kembali bahwa dia dikeluarkan dari sekolah SMA-nya akibat video mesum dia dengan seorang pria. Anna saat itu dijebak. Namun, tak ada yang peduli dengannya. Gelar murid kesayangan guru pun hilang. Berganti dengan gelar "Wanita jalang".
Anna dan ibunya pindah dari rumah mewahnya yang ada di Kota Bandung ke kontrakan kecil yang membuat Anna sempat tersiksa awal-awal pindah ke rumah itu. Penyiksaan hidup Anna belum juga berhenti. Ibunya yang menderita penyakit jantung membuat hidup Anna semakin sulit. Dia harus membagi waktu sekolahnya dengan bekerja dan memanfaatkan hobinya bermain biola untuk mencari biaya pengobatan ibunya.
Sekarang, Anna rasa semesta menyiksanya kembali. Dijebak oleh teman dekatnya dan kini berada di tempat asing bersama seorang pria yang terobsesi ingin memilikinya.
Anna tak tahan lagi. Dia kini berjalan yakin menuju ke tengah laut. Menerjang hebatnya ombak dan mengikuti keinginan buruknya. Mengakhiri hidup malam ini juga.
Dari jauh, Raja berhasil melihat aksi gila Anna. Dia semula murka saat tak menemukan Anna di kamarnya. Raja pun langsung keluar rumah dan mencari Anna ke berbagai tempat. Kini, susah payah Raja menolong Anna karena harus bertarung dengan hantaman gelombang air laut. Namun, dia tak peduli ini. Dia hanya peduli Anna.
"Anna, sadarlah! Anna!" panggil Raja lantang setelah berhasil meraih tubuh Anna dan menggendongnya.
Anna sudah tak sadarkan diri. Raja pun memberikan pertolongan pertama untuk perempuan itu. Raja tak menyerah, dia memberikan napas buatannya kembali untuk Anna. Berkali-kali hingga Anna akhirnya memberikan respon.
"Syukurlah kamu sadar Anna," kata Raja begitu lega. Tubuhnya sedikit gemetar. Dihantui ketakukan jika dia sampai kehilangan Anna.
Raja kini mengangkat tubuh Anna dan membawanya ke rumah. Perempuan itu hanya diam dalam gendongannya. Kedua matanya sedikit terbuka dan mulutnya menggumam. Entah, kalimat apa yang Anna ucapkan. Raja pun tak jelas saat mendengarnya.
***
Anna sudah tertidur lelap di kamarnya. Raja kini melangkah masuk ke kamar perempuan itu. Raja lalu duduk di samping tubuh Anna yang terbaring lemah.
Melihat tenangnya wajah yang sedang tertidur lelap itu, Raja memandanginya lama. Dia menyisikan anak rambut yang menghalangi pandangannya. Raja teringat momen mengerikan semula. Anna yang nekat menuju ke tengah laut hingga tubuhnya terseret ombak.
"Kamu nekat sekali Anna. Apa kamu sefrustasi itu hidup bersamaku, hah? Aku akan membahagiakan kamu, Anna. Bukan menyiksamu," kata Raja bersuara pelan.
"Aku sangat merindukanmu Anna. Apalagi senyuman kamu yang manis itu. Gigi gingsul kamu sangat lucu jika terlihat saat tersenyum. Dulu membuatku sampai tak berkedip jika melihatnya. Jika kamu tanya, siapa pemilik senyuman terindah di dunia ini, maka aku akan menjawab kamulah pemiliknya," kata Raja lagi dengan suara pelannya.
Raja kini mendekatkan wajahnya dan menyentuh bibir Anna. Memberikan ciuman lembutnya untuk perempuan itu. Raja merasakan getaran hebat saat berhasil menyentuh bibir perempuan itu. Sesuatu aneh yang belum pernah dia rasakan ke perempuan lainnya.
Tak cukup puas dengan mencium bibirnya, Raja menginginkan yang lain. Namun, dia tahan sekuat mungkin. Kini dia memilih merapatkan tubuhnya dan memeluk Anna. Raja tidur bersama Anna dalam kedekatan yang menenangkan ini.