Aku tertawa ketika mendengar ceritanya. Aku sudah menduga jika William akan protektif terhadap Axel, karena dia terlihat menyukai Axel—dalam artian teman.
Axel dan aku dengan cepat menjadi akrab. Dia tidak memiliki banyak teman perempuan di Akademi, karena identitasnya yang sedang menyamar sebagai laki-laki, jadi dia harus bergaul dengan anak laki-laki lain di sekolah. Aku senang bisa menjadi teman perempuan pertamanya di akademi, dengan begitu dia bisa bertingkah layaknya gadis biasa lainnya di sekitarku; karena identitas aslinya adalah hal tabu di sekolah.
"Jadi, kamu setiap hari jalan kaki ke sekolah?" tanyaku.
"Iya," jawabnya. "Aku menikmatinya, hitung-hitung sambilan olahraga."
"Bagaimana kalau hujan?" tanyaku lagi.
"Aku membawa payung," jawabnya sambil tersenyum kecil. "Atau biasanya Ayahku yang mengantarkan ku saat hujan turun, sekalian dia pergi bekerja."
"Jadi, di mana Ayahmu bekerja?"
"Di sebuah bar," jawabnya singkat. "Kadang-kadang dia tidak pulang sampai larut malam, tapi aku tidak keberatan. Aku juga melakukan semua pekerjaan rumah, termasuk makan malam. Ibuku yang mengajariku."
"Aku tidak sabar untuk bertemu keluargamu," kataku.
"Percayalah padaku," jawab Axel dengan seringai kecil, "Ayahku sedikit unik."
Aku tidak yakin apa yang dia maksud, tetapi kemudian aku menebak jika dia menganggap Ayahnya "aneh"; namun, begitulah cara pandang anak perempuan terhadap ayah mereka, kebanyakannya seperti itu. Meskipun aku tidak dapat mengingat apa pun tentang Ayahku, tapi aku belajar tentang sosok ayah dari keluarga lain. Selain itu, Max juga seperti figur seorang Ayah bagiku; dan meskipun dia agak konyol, dia tetap saudaraku, dan aku tidak akan menukarkannya dengan apa pun di dunia ini.
Begitu kami berjalan di trotoar, Axel berbelok ke tempat parkir yang mengarah ke kompleks apartemen yang memiliki dua lantai. Saat dia menaiki tangga, aku berhenti sebentar untuk mendorong kembali gagang koper ke dalam, karena lebih mudah mengangkat koper daripada menyeretnya di tangga. Axel menunggu dengan sabar saat aku menyusulnya, lalu dia mengambil bagian belakang koperku dan ikut mengangkatnya, sehingga kami berdua membawanya menaiki tangga dengan mudah.
"Kamu tidak perlu melakukan itu, Axel," kataku.
"Tidak apa-apa," jawabnya sambil tersenyum. "Selain itu, seorang pria harus selalu membantu wanita."
Kami berdua terkekeh. Tentu saja, Axel bukan seorang pria tulen, tapi dia berbaik hati menawarkan bantuannya untuk membantuku membawa koper ke lantai dua. Begitu kami mencapai puncak tangga, dia meletakkan koperku kembali di atas rodanya, dan kemudian aku menarik pegangannya kembali, menyeretnya sampai kami sampai di depan pintu apartemennya.
Axel memutar knop pintu beberapa kali, namun pintunya tak terbuka sama sekali, yang artinya pintu itu terkunci sekarang. "Kurasa Ayah masih bekerja," gumamnya pada diri sendiri.
***