Pilihan Axel untuk menjadi seorang pengacara melalui Libra Academy adalah keputusan yang tepat. Libra adalah sekolah elit yang terkenal di London, dia melangkah satu tingkat lebih dekat dengan mimpinya. Axel juga cerdas, jadi aku berharap banyak padanya.
Setelah kami selesai sarapan, aku berterima kasih kepada Axel atas makanannya. "Biarkan aku yang mencuci piringnya, Axel," kataku dan membawa piring-piring kotor.
"Tidak perlu repot-repot, Ariel," tolaknya dan mengambil alih piring di tanganku.
"Aku tidak kerepotan sama sekali," jawabku sambil tersenyum. "Lagian, kamu juga harus siap-siap."
Axel melirik piyamanya, lalu dia mendongak dan tersenyum ke arahku. "Kurasa kau benar. Tapi, apa kamu yakin tidak masalah?"
"Tentu saja," jawabku. "Lagi pula aku selalu bertugas mencuci piring di rumah."
"Baiklah kalau begitu."
Lalu, Axel kembali ke kamar untuk bersiap-siap, sedangkan aku membawa piring ke wastafel dan mulai menggosok piring itu dengan spons. Aku sama sekali tidak keberatan membantu Axel. Setelah mendengar bagaimana dia mengurus banyak hal termasuk pekerjaan rumah, aku pikir dia bisa istirahat sebentar.
Setelah selesai, aku mengeringkan tanganku di lap piring. Kemudian, kembali ke kamar untuk menyusul Axel. Aku melihat Axel yang sudah selesai mengganti pakaiannya dengan T-shirt biru tua dan celana pendek selutut berwarna khaki. Jelas, dia tidak bisa memakai bikini atau semua orang akan tahu rahasianya. Dia tidak punya pilihan lain.
Axel mengemas barang-barangnya ke koper, sedangkan aku merapikan rambutku dengan menguncirnya kuda menggunakan Scrunchie berwarna biru.
Sesaat kemudian, aku juga merapikan koperku, dan kami berjalan ke luar apartemen, Axel mengunci pintu apartemennya. Lalu, kami berdiri di dekat tangga dan menunggu limusin William berhenti di tempat parkir; dan sepersekian detik sebelum pukul sepuluh, limusin hitam itu berhenti.
Pintu belakang mobil yang terbentang pun terbuka dan sang pangeran melangkah keluar untuk menyambut kami. William tidak mengenakan seragam sekolahnya yang biasa; sebagai gantinya, ia memakai T-shirt merah dan celana selutut, juga sandal jepit.
"Axel! Ariel!!" panggil nya. "Sudah siap untuk berangkat?"
"Tentu saja!" jawab Axel.
"Kalau begitu, ayo kita pergi!" ajaknya. Dia menahan pintu agar tetap terbuka ketika Axel dan aku naik ke kursi penumpang.
William memberi kode kepada sopirnya sebelum masuk dan duduk di sebelah kami. Setelah itu, mobil yang diregangkan mulai keluar dari tempat parkir dan menyusuri jalan. Axel dan aku duduk bersama di satu kursi panjang yang membentang dari satu pintu ke sisi lain mobil, sementara kursi di sebelah kami, tempat William duduk, juga sama. Kami tidak banyak bicara selama beberapa saat, mungkin karena kami semua masih sedikit merasa lelah.
***