Chereads / Libra Academy / Chapter 19 - William's Charm (2)

Chapter 19 - William's Charm (2)

Dan terakhir, juga tidak kalah menawannya adalah 'King' dari Tea Party Club yang duduk di tahtanya—di tengah-tengah mereka.

Dari apa yang dia kenakan, dia jelas terlihat berpakaian seperti raja atau pangeran Arab. Dia mengenakan kaus dalam kuning pucat dengan jubah magenta yang memanjang sampai ke mata kaki. Kain kuning pucat terselip di bawah serban magenta dan menutupi punggungnya. Dia mengenakan beberapa cincin di setiap jari, gelang emas, dan anting-anting emas. Dari pakaiannya, dia tampak lebih seperti seorang pangeran daripada sebelumnya.

"Ah, Ariel, kamu datang lebih awal." William berkata dengan senyum halus di wajahnya.

"Aku tidak bermaksud begitu," kataku meminta maaf, dan berjalan lebih jauh ke dalam ruangan. Aku berhenti dan menatap pemandangan itu sekali lagi. "Aku suka dekorasinya," komentarku.

"Terima kasih," jawab William. "Sesekali klub memilih cosplay sebagai tema klub. Kali ini, kami memilih tema kerajaan Arab."

"Menarik," kataku, masih kagum pada dekorasi ruangan.

"Baiklah, My Princess ...." William berdiri dari kursinya. "Klubnya sudah dibuka, dan aku Rajamu hari ini, siap untuk membuatmu bahagia."

Rupanya, dia ingat semua yang aku katakan saat makan siang tadi. Saat aku memikirkannya lebih jauh, banyak gadis yang memilihnya sebagai tuan rumah mereka setiap hari, jadi mengapa dia menjadi begitu bersemangat saat aku memintanya? Mungkin, dia sangat ingin karena aku adalah pendatang baru di Akademi dan juga klub, jadi dia mungkin ingin mengenalku lebih baik. Siapa tahu? Yah, setidaknya aku bisa mengenal William lebih baik.

Setelah beberapa saat, para gadis mulai memasuki ruangan dan menatap kagum pada pengaturan ruangan. Para host membawa tamu mereka masing-masing, sementara William berdiri di depanku dan tiga gadis lainnya, dengan seringai menawan di wajahnya, dia menatap kami masing-masing dengan penuh cinta. Namun, dia lebih sering mengarahkan perhatiannya ke arahku daripada yang lain.

"Aku suka outfit mu, William!" Seorang gadis berambut cokelat dengan kepang Prancis berbicara, menatapnya sambil melamun.

"Ya, kamu terlihat seperti Pangeran Arab!" tambah gadis lain, yang memiliki rambut hitam legam dan diikat menjadi dua sanggul di sisi kepalanya.

"Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk membuat para putri merasa lebih betah di istana mereka," katanya. Kemudian dia mencondongkan tubuh ke depan dan membelai wajah si rambut coklat dengan tangannya, dan dia mulai tersipu. "Lagi pula, setiap putri harus diperlakukan sebagai bangsawan," tambahnya, menatap matanya dan tersenyum.

"Oh, William ...." Gadis itu bahkan menahan napasnya.

Aku menatap mereka berdua sementara dua gadis lainnya mulai memekik kegirangan. Yap, William benar-benar seorang player, yang mengingatkanku pada bagaimana kakakku menatap mata Sheila dengan penuh kasih, setiap kali dia menggodanya. Setiap harinya hubungan mereka terus berkembang, dan aku tidak sabar untuk kembali ke rumah dan melihat Sheila memakai cincin berlian di jarinya. Aku benar-benar menantikannya!

Setelah William melepaskan gadis itu, dia memimpin kami berempat ke tempatnya, dua sofa beludru panjang yang saling berhadapan dengan meja kopi yang terbuat kayu panjang di tengahnya. Tentu saja, itu akan lebih dianggap sebagai "meja teh" daripada meja kopi.

Gadis berambut pendek dan gadis ketiga, yang memiliki rambut pirang panjang dan diikat ekor kuda, duduk di salah satu sofa; sementara William duduk di sofa sebelahnya, di antara aku dan si gadis berambut cokelat. Aku masih sedikit gugup berada di dekatnya. Tentu saja karena dia sangat tampan, jadi aku tidak banyak berbicara.

Lagi pula, aku menganggap akan lebih baik jika mendengarkan orang  lain bercerita; namun, hanya dengan melihat William menggoda para gadis dan membelai wajah mereka mengingatkanku pada Kakakku. Aku bisa melihat bahwa William adalah orang yang lembut dan perhatian; Kakakku juga begitu.

Selama ini, kami tidak pernah berjauhan. Dan sekarang setelah aku bertemu dengan para host di Tea Party Club, aku merasa seperti memiliki enam saudara laki-laki. William yang baik hati dan  perhatian; Ethan yang kekanak-kanakan; James yang bisa diandalkan, tapi juga pendiam (Max lebih banyak bicara daripada dia); Stefan yang iseng dan licik; Steiner yang hatinya lembut; dan terakhir Oliver yang pintar.

Semua host yang digabungkan menjadi satu paket pasti akan serupa dengan Kakakku; dan meskipun aku berada ratusan mil jauhnya dari rumah, aku masih memiliki enam saudara laki-laki di sini yang bisa diandalkan. Itu seperti apa yang Stefan katakan: "Tea Party Club adalah keluargamu sekarang."

Tiba-tiba, aku dibawa kembali ke dunia nyata ketika William memanggilku. "Ariel?"

Terkejut, aku mendongak dan mendapati dia, juga tiga gadis lainnya yang menatap ke arahku. Pipiku memerah karena malu. Aku tidak menyimak apa yang William katakan. Rasa malu menggerogotiku, rasanya aku ingin berlari atau merangkak ke bawah sofa untuk bersembunyi dari tatapan yang mereka arahkan kepadaku. Namun, itu akan menjadi respons yang tidak sopan terhadap situasi seperti ini; jadi sebagai gantinya, aku menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya.

"Maaf, William," kataku sambil tersenyum kecil. "Aku pasti sedang melamun, jadi aku tidak mendengar apa yang kamu katakan tadi."

Senyum kecil muncul di bibirnya saat dia menatapku. Kemudian, dia mencondongkan tubuh ke arahku, hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajahku. Dia membelai pipiku dengan tangannya. Aku merasa gelisah, terutama karena dia yang begitu dekat denganku sekarang. Ketampanannya yang menawan terlalu berat untuk ditanggung, dan aku bisa merasakan wajahku semakin panas setiap detiknya.

Mata birunya yang berkilau bertemu dengan mataku, dan aku bisa merasakan embusan nafasnya yang hangat dan lembut saat dia berbicara, "Aku yakin kamu melamun tentang banyak hal. Memori adalah sesuatu yang luar biasa yang dianugerahkan kepada kita, dan dapat membuat kita bermimpi dan berfantasi tentang sesuatu yang diinginkan hati kita. Pemikiran adalah cerminan hati kita."

Wajahku semakin memanas saat jari-jarinya mulai membelai pipi hingga daguku. "Aku yakin pikiranmu berfantasi tentang hal-hal yang paling indah."

Aku bisa melihat ketiga gadis lainnya berteriak-teriak karena komentar romantis yang diberikan William kepadaku, tapi aku tidak bisa mendengar suara jeritan mereka. Aku terlalu jatuh dalam tatapan penuh kasih yang diberikan William kepada ku, sementara kehangatan tangannya menempel di kulitku. Bahkan setelah dia melepaskanku, aku masih bisa merasakan kehangatan itu.

Aku menunduk, berharap gadis-gadis lain atau William tidak akan menyadari rona kemerahan di wajahku; dan kemudian aku menyesap teh saat William terus menjamu lainnya.

Terlihat aneh bagaimana gadis-gadis itu selalu mengajukan pertanyaan yang sederhana seperti, "Apa musim favoritmu tahun ini?" atau, "Bagaimana kamu menjaga rambutmu hingga selalu terlihat berkilau?" Aku yakin William tidak perlu memikirkan jawaban nya.

***