"Wow, sangat menarik," komentarku. "Saat Oliver pertama kali menyebut klub itu kepadaku, aku pikir dialah 'raja', apalagi karena dia yang mengurus semua hal penting di klub seperti anggaran dan pertemuan."
Bukan tidak pernah kepikiran sama sekali jika William adalah ketuanya, tetapi tetap saja Oliver terlihat lebih cocok.
Tiba-tiba, senyum di wajah William dengan cepat memudar, dan dalam sepersekian detik dia meringkuk di sudut yang menghadap ke dinding. Dia duduk dengan punggung yang menghadap kami, dan lututnya ditarik ke arah dadanya dan lengannya melingkari lututnya, sementara wajahnya di tenggelamkan ke lututnya. Ada aura suram di sekelilingnya seolah-olah dia berada dalam keputusasaan atau kesengsaraan yang mendalam, dan itu membuatku takjub betapa cepatnya dia berpindah dari meja ke sudut dalam waktu yang begitu singkat.
Stefan dan Steiner terkekeh, lalu menyeringai. "Kamu lihat? Itulah yang kami maksud." Mereka berbicara kepada saya serempak.
"William memang seseorang yang membawa ide itu, tapi aku terkejut karena kamu berpikir bahwa Oliver lah orangnya," ujar Axel.
Aku tidak mengatakan apa pun kepada mereka; sebagai gantinya, aku terus menatap William di "Pojok Kesengsaraannya". Melihatnya begitu tertekan membuatku merasa tidak enak, terutama karena akulah yang mengatakan sesuatu yang mungkin seharusnya aku simpan sendiri. Sekarang setelah aku berpikir dua kali, aku seharusnya menyadari itu selama dua hari terakhir, jadi itu adalah kesalahanku karena membuatnya seperti itu.
Merasa harus melakukan sesuatu, aku berdiri dari meja dan berjalan ke arahnya. Aku berlutut di sampingnya. "Maafkan aku, William," kataku. "Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu seperti ini. Aku mengira Oliver yang jadi penanggung jawabnya karena dia terlihat sibuk dan mengatur segalanya untuk klub. Nah, sekarang aku memikirkannya, mungkin aku seharusnya tidak mengatakan itu. Jadi, aku akan menebus kesalahanku."
William perlahan menoleh ke arahku dengan mata biru yang berkilauan, seperti wajah anak anjing yang cemberut karena tidak diajak bermain oleh majikannya; tapi William terlihat sepuluh kali lebih manis. Sangat sulit untuk menolaknya sehingga aku tersenyum kecil saat kami saling menatap selama beberapa detik lagi.
"Bagaimana caramu menebusnya?" Dia bertanya dengan suara seperti anak kecil.
Aku terkekeh. "William Kadrey, bisakah aku memintamu untuk jadi tuan rumahku sore ini?"
Tiba-tiba, dalam sepersekian detik lagi, William membuat pemulihan ajaib dari bayangan keputusasaannya, dan aku mendapati diriku direngkuh erat dalam pelukannya, kemudian dia berputar, membuatku juga ikut berputar. Sekali lagi, aku kagum dengan bagaimana dia mengubah emosinya dan bergerak begitu cepat dalam waktu sesingkat itu; tapi, kurasa itu adalah keahliannya. Aku kenal dengan laki-laki yang bisa mengubah suasana hati dengan cepat, tapi tidak secepat William.
"Of course, Ariel!" Dia berteriak gembira dan terus memutar tubuhku.
Suaranya begitu keras hingga seluruh siswa di kafetaria menghentikan obrolan dari teman-teman mereka dan berbalik menatap kami. Bahkan saat mataku berputar ke sekeliling ruangan, aku dapat melihat beberapa gadis dengan ekspresi iri di wajah mereka dengan mata menyipit. Aku membuang muka karena malu, mengetahui bahwa sebagian besar dari gadis-gadis ini adalah penggemar William, dan tampaknya, mereka cemburu karena aku menerima lebih banyak perhatian dari "The Tea Party Club King" daripada yang mereka terima selama jam-jam klub. Well, jika William mulai menyukaiku, maka mereka hanya perlu membiasakan diri.
Tiba-tiba, perutku mulai bergejolak, dan aku mulai merasa mual. Jelas, William tidak berpikir panjang ketika dia memeluk dan memutar tubuhku, terutama karena aku sudah makan sebagian besar makan siangku. Sulit untuk berbicara, apalagi karena setiap kali aku membuka mulut, aku merasa seperti akan muntah. Tidak peduli bagaimana caranya, tapi aku harus menghentikan William agar tidak membuatku lebih mual lagi.
"Tamaki ... Se-senior," kataku. "T-tolong berhenti. Aku ... aku merasa ... m-mual."
Untungnya, keinginanku dikabulkan dan William akhirnya berhenti. Aku terhuyung-huyung ke depan dan ke belakang saat aku memegang kepalaku dengan tangan. Seluruh ruangan berputar di depan mataku, dan otakku terasa seperti diacak-acak di dalam tengkorakku. Aku mengedipkan mata beberapa kali, dan menggelengkan kepalaku, menghilangkan rasa pusing.
"Sorry, Princess." William meminta maaf. "Aku tidak mengira kamu akan mudah sakit."
"Aku juga tidak menyangkanya," jawabku, masih memegangi kepalaku.
Setelah aku cukup seimbang untuk berjalan, William membantuku kembali ke meja. Aku duduk kembali di kursiku di antara Axel dan "King" dari Tea Party Club. Makan siangku masih tersisa dan aku harus menghabiskannya. Tapi saat melihat makanan itu, perutku kembali berputar.
"Kamu baik-baik saja, Ariel?" Ethan bertanya dengan cemas.
Aku menatapnya dan tersenyum paksa. "Aku baik-baik saja, Senior."
"Aku benar-benar minta maaf, Ariel," ujar William. "Aku tidak bermaksud—"
"Aku sudah bilang tidak apa-apa, Senior," kataku, menoleh padanya dengan senyum di wajahku. "Selain itu, kita semua kadang melakukan sesuatu tanpa berpikir."
Setelah itu, semua orang kembali ke makan siang mereka dan mengobrol sesekali, seolah-olah seluruh insiden dengan "Pojok Kesengsaraan" William dan aku yang hampir melemparkan makan siangku tidak terjadi. Semua orang kembali ke apa yang mereka bicarakan, dan siswa perempuan lainnya, yang memelototiku sebelumnya, juga kembali menyelesaikan makan siang mereka. Aku punya firasat bahwa mereka sedang membicarakanku.
Aku menyelesaikan makan siangku sekitar dua puluh menit lebih awal. "Well ...," kataku dan mengambil bentoku, "terima kasih telah mengizinkanku duduk bersama kalian. Dan terima kasih, Senior William karena telah mengundangku."
"Dengan senang hati, Ariel," jawab ketua klub. "Tapi, ini masih awal. Kenapa kamu tidak tinggal lebih lama?"
"Aku ingin," kataku, "tapi aku masih baru di sekolah ini. Jadi, aku masih ingin berkeliling dan melihat-lihat sebentar."
"Baiklah kalau begitu." Tamaki berbicara. Kemudian dia menggenggam tanganku dan menatap mataku dengan penuh kasih. "Sampai jumpa di klub sore ini, Princess."
Aku mengangguk, lalu dia melepaskanku. Aku berbalik dan berjalan jauh dari mereka, kemudian aku berjalan keluar dari kafetaria. Well, itu sudah pasti. William akan menjadi tuan rumahku sore ini, dan aku punya firasat bahwa aku akan menikmati sore yang dramatis dengannya dan klien-kliennya yang lain. Bahkan sekarang, aku bisa mendengar teriakan semangat gadis-gadis di kepalaku saat William menggoda salah satu tamunya.
Aku berjalan menyusuri koridor dengan tas yang menyampir di pundak. Aku melihat sekeliling, mencari tempat untuk duduk dan bisa menggambar. Lalu, aku melihat salah satu ruang musik. Aku perlahan memutar pegangan dan mendorong pintu agar terbuka dan mendapati bahwa ruang itu kosong.
Ruangan itu dipenuhi dengan alat musik yang semuanya diatur dalam beberapa bagian. Bagian string di sebelah kanan ruangan yang sebagian besarnya terdiri dari cello dan biola, sedangkan bagian di sebelah kiri berisi instrumen seperti seruling dan jenis lain yang aku tidak tahu namanya.
***