Aku mengenali suara itu dengan sangat baik. Ya, mereka si kembar Stefan dan Steiner. "Apa yang akan terjadi jika dia marah?" tanyaku.
"Dia akan merajuk ke sudut sebentar," jawab si kembar dengan santai.
"Tapi, Ariel, kami harus tahu," ujar Stefan, memegang daguku dengan tangannya dan memutarnya untuk menghadap ke arahnya. Dia menempelkan keningnya di keningku, seolah-olah kami akan berciuman.
"Siapa yang akan kamu pilih jadi tuan rumahmu hari ini?" Akhiri Steiner. Ia melingkarkan tangannya di bahuku dan menekan sisi wajahnya ke wajahku.
Wajahku mulai memerah semerah kain beludru yang ada di klub itu, bahkan aku menahan napasku. Si kembar ini benar-benar bisa membunuh seseorang, bukan dalam arti harfiah. Melainkan lewat pesona mereka yang membuat hati para gadis serasa akan meledak. Termasuk aku. Faktanya, aku terpesona dengan pesona mereka semua. Tentu saja, tidak setiap hubungan dapat berakhir dengan sempurna, jadi aku harus memiliki beberapa rencana.
Lagi pula, mereka—para host—bertemu dengan para gadis yang berbeda—kira-kira 10-15 orang—setiap minggunya. Jadi, kemungkinan besar mereka tidak akan jatuh cinta dengan salah satu dari mereka; kecuali, ada sesuatu yang membuat salah satu dari gadis-gadis itu istimewa hingga bisa meluluhkan hati para host. Yah, setiap hubungan harus dimulai dengan menjadi teman dulu, dan aku tidak tahu banyak tentang William atau si kembar, James juga tidak banyak berbicara, hingga akan sulit untuk mengenalnya lebih jauh.
"Yah ...." Aku mulai berujar dengan seringai di wajah. "Karena kalian terlihat putus asa, maka aku akan memilih kalian."
"Itu baru Ariel yang kami kenal!" seru Steiner yang sudah menjauhkan wajahnya dan menepuk punggungku.
"Kita pasti akan bersenang-senang." Stefan menambahkan, lalu mengusap pelan kepalaku. Sebenarnya, aku akan memilih Axel, namun karena dia masih belum terlihat, jadi aku memutuskan untuk memilih si kembar.
Setelah itu, si kembar mengantarku ke kelompok mereka. Aku terkejut mendapati tiga kursi yang hanya tersedia di sana, dan dua di antaranya untuk si kembar. Tapi, apakah hanya aku yang memilih mereka hari ini? Entahlah ... atau mungkin mereka sudah berencana untuk menjadikanku satu-satunya tamu untuk hari ini. Tidak ada yang tahu apa yang akan direncanakan si kembar dengan pikiran nakal mereka!
Tepat ketika aku hendak duduk di salah satu kursi itu, Steiner menariknya dan mempersilakan ku duduk di sana. Aku tersenyum dan berterima kasih padanya, dan kemudian dia bergabung dengan kembarannya di sisi satunya. Steiner memang manis, sama seperti kakakku, tapi apakah Stefan juga sama manisnya? Yah, aku akan mengetahuinya nanti.
"Jadi, apa yang biasa kalian lakukan untuk bersenang-senang?" tanyaku.
"Well ...." Steiner memulai. "Karena orang tua kami selalu melakukan perjalanan bisnis setiap minggunya, jadi aku dan Stefan saling menghibur dengan cara kami masing-masing. Bagaimana pun juga, kami hanya memiliki satu sama lain."
Ah, itu persis sepertiku dan Max, dia adalah satu-satunya keluarga yang aku miliki, dan orang tuanya tidak peduli tentang dia atau perasaannya. Kami saling melindungi, dan Max memberiku cinta yang tidak pernah kuterima sebelumnya, begitu juga denganku. Aku dan kakakku selalu ada untuk satu sama lain. Setiap kali aku membutuhkan seseorang untuk diajak bicara, dia akan selalu datang dan mendengarkan, tidak peduli seberapa sibuknya dia. Dia hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja setiap hari.
"Apakah kalian berdua bermain game bersama?" Aku bertanya, ingin menyelidiki si kembar sedikit lebih jauh.
"Kami dulu memainkan beberapa game." Stefan menjelaskan, "tapi sejak Axel memperkenalkan kami game biasa seperti pokemon go, ular tangga, dan lampu merah, lampu hijau, kami mulai memainkan game itu. Suatu ketika saat kami bermain pokemon go, Steiner terpeleset dan jatuh ke lumpur saat mencoba menangkap telur pokemon." Stefan menutup mulutnya dengan tangannya, dia tertawa kecil, dan kemudian melanjutkan, "Kamu seharusnya melihat bagaimana penampilannya saat itu," godanya.
Steiner berdiri dari kursinya dan melirik ke arah kembarannya dengan tatapan jengkel dan merasa terhina. "Stefan!" serunya. "Kamu berjanji untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang itu." Dia bersandar dan mengalihkan pandangannya dari kembarannya. "Kenapa kamu selalu begitu jahat?"
"Maafkan aku, Steiner," ucap Stefan. Kemudian, dia menangkap wajah kembarannya dan menghapus jejak air mata yang akan segera meluncur. Beruntung Stefan cepat menghapusnya. "Kamu hanya terlihat sangat imut dan tidak berdaya saat itu. Aku minta maaf jika aku menyakiti perasaanmu."
"Aku ... aku memaafkanmu, Stefan." Steiner berbicara.
Sekarang semuanya masuk akal. Kedua saudara ini mungkin terlihat sama, tetapi kepribadian mereka benar-benar berbeda. Steiner manis, dan lebih lembut, sementara Stefan lebih arogan dan protektif terhadap saudaranya. Keduanya seperti yin dan yang, pasangan yang sempurna. Itu juga mengingatkanku pada Kakakku. Kami mungkin terlihat sedikit mirip, tetapi kepribadian kami jauh berbeda.
Aku melirik ke bawah, teringat dengan kehidupanku bersama Max di rumah, tapi kemudian Stefan bertanya, "Ada apa, Ariel?"
Aku menatap mereka yang kini juga menatapku dengan bingung. Aku tidak ingin mereka mengkhawatirkan ku; selain itu, penyakit homesickness ini akan akan reda setelah beberapa hari. Tentu saja, si kembar, para host, bahkan akademi, semuanya mengingatkanku pada Max.
"Aku cuma sedang memikirkan sesuatu," jawabku.
Stefan menggeser kursinya mengitari meja agar lebih dekat ke kursiku, dan kemudian bertanya, "Tentang apa?"
"Bukan apa-apa," kataku, mengalihkan pandangan darinya.
Namun, kembaran Stefan juga ikut menggeserkan kursinya ke sisi lainku, sehingga tidak ada tempat bagiku untuk berpaling atau mengalihkan pandangan dari mereka. "Kami ingin tahu." Steiner berbicara, "dan juga ...."
"Kamu harus membiasakan diri dengan kami jika kamu ingin menghadiri Tea Party Club lagi." Stefan mengakhiri.
Mereka ada benarnya juga. Jika aku ingin menghadiri Tea Party Club selama sisa tahun ajaran, maka aku akan bertemu mereka hampir setiap harinya, meskipun mereka jadi host atau tidak. Terutama karena mereka selalu berkeliaran di sekitarku setiap kali aku bersama Axel. Dengan kata lain, aku tidak bisa menghindari mereka.
Sambil menghela napas panjang, aku menjawab, "Aku hanya rindu rumah, saat melihat kalian berdua seperti ini."
Si kembar memiringkan kepala mereka, dan kemudian bertanya, "Bagaimana bisa?" Si kembar bertanya pada saat yang sama.
"Yah, begitulah ...." Aku memulai, "Aku dan Kakakku juga seperti kalian. Kami tidak pernah melihat orang tua kami, jadi kami harus saling melindungi. Dia satu-satunya keluarga yang aku miliki; dan meskipun dia jauh lebih tua dariku, tapi kami saling mendengarkan tentang perasaan kami, tidak peduli seberapa sibuknya kami." Air mata mulai memenuhi mataku, saat aku menunduk karena tidak ingin si kembar memperhatikan air mata yang terbentuk di mataku.
***