Aku ikut terkekeh. Rupanya, dia tidak menyadari bahwa aku sudah tahu bahwa Axel adalah seorang gadis, tapi aku memutuskan untuk tidak menyebutkannya demi dia dan juga Tea Party Club. Pikiranku masih tertuju pada para host. Masing-masing dari mereka sangat menawan, jadi sulit untuk memilih siapa yang lebih aku kagumi.
Namun untuk Oliver ... mungkin akan sedikit sulit. Mengingat dia tidak selalu sibuk dan tidak setiap harinya dia menjadi host.
Begitu kami sampai di pintu, aku berhenti. "Yah, di sini kelas pertamaku," kataku. Aku menoleh ke William dan membungkuk. "Terima kasih telah mengantarku, Senior."
"Dengan senang hati, Ariel," jawabnya. Kemudian, dia mengelus pipiku dan mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Sampai jumpa di klub," tambahnya.
Setelah itu, dia berdiri kembali dan berjalan menyusuri koridor. Aku berdiri mematung di sana, menunggu agar rona wajahku kembali ke semula dan jantungku yang berdetak normal. Kemudian, baru lah aku membuka pintu kelas.
Kelas pagi berlalu dengan cepat, dan aku keluar dari kelas sambil menenteng bentoku menuju kafetaria. Di sana, aku menemukan Axel yang duduk sendirian dengan kursi kosong yang mengelilinginya.
Sambil tersenyum, aku berjalan ke mejanya. "Hei, Axel."
Gadis dengan seragam siswa itu mendongak, membalas senyumku. "Hei, Ariel!"
"Ngomong-ngomong, apa tidak apa-apa jika aku duduk di sini?" tanyaku.
"Tentu saja," jawab Haruhi.
Lalu, duduk di kursi seberangnya, dan meletakkan bentoku di atas meja.
"Ah, sepertinya kamu juga membawa makan siangmu sendiri hari ini," komentar Axel.
"Ya, karena ini mengingatkanku saat di Korea dulu," sahutku.
"Hm ... ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang Tea Party Club?"
"Menarik. Aku mungkin akan juga hari ini. Maksudku, aku masih belum memilih tipe yang kusuka."
"Yah, karena kamu menemukan 'tipe'mu, jadi kamu harus datang ke Tea Party Club setiap hari." ujarnya.
"Ya, begitulah," hembusku. "Tentu saja, aku tidak ingin rahasiaku dalam masal—"
Tapi kata-kataku terpotong oleh dua suara yang berbicara serempak, "Hei, couple yang ada di sana!"
Axel dan aku menoleh dan menemukan si kembar yang sedang berjalan ke meja kami, dengan seringai seperti kucing yang tertampang di wajah mereka. Mereka berdua berdiri di samping kami, Steiner di sampingku sementara Stefan di samping Axel; lalu Steiner melingkarkan lengannya di bahuku sementara kembarannya menirunya pada Axel.
"Jadi, apa yang kalian berdua bicarakan?" Stefan bertanya dengan seringai yang masih terpampang di wajahnya.
"Aku sedang mendengarkan jawaban Ariel tentang pendapatnya mengenai m Tea Party Club, sebelum kalian menyela kami dengan tidak sopan," ujar Axel setengah jengkel.
Si kembar hanya menjulurkan lidah padanya. "Omong-omong," Steiner berbicara, menarikku lebih dekat dengannya dengan seringai yang menyebar luas di wajahnya. Terlihat nakal.
"Host mana yang akan kamu pilih hari ini, Ariel?" Stefan mengakhiri. Dia tiba-tiba muncul di belakangku dan meletakkan tangannya di bawah daguku, memutarnya sehingga aku bertemu dengan mata hazelnya yang seperti kucing.
Aku tersenyum, lalu aku menjawab, "Jika aku memberitahumu sekarang, itu tidak akan menarik lagi. Kalian berdua hanya perlu menunggu sampai sore ini."
"Aww, kau tidak menyenangkan!" Si kembar cemberut, sedikit mengerutkan bibir bawah mereka.
"Hal-hal baik akan datang kepada mereka yang mau menunggu, boys," ujarku sambil menyeringai.
"Well ..." Stefan berbicara kembali, lalu berdiri. "Sebaiknya kita kembali ke meja kita."
"Senang berbicara denganmu, Ariel." Steiner mengakhiri.
"Senang berbicara dengan kalian juga," jawabku.
Begitu si kembar pergi, Axek dan aku melanjutkan obrolan. Untung aku tidak sempat membicarakan seluruh rahasiaku. Kalau tidak, si kembar pasti akan menanyakannya kepadaku. Axel dan aku dengan cepat menjadi teman. Ini menyenangkan memiliki teman seperti dirinya.
***
Bel berbunyi, menandakan jam istirahat sudah habis. Aku dan Axel berpisah dan menuju ke kelas masing-masing. Seperti biasa kelas sore berlalu dengan cepat, atau aku yang terlalu bersemangat hingga merasa cepat karena ingin segera pergi ke Tea Party Club.
Aku sudah memutuskannya sejak bel makan siang berbunyi, dan aku juga tidak perlu terburu-buru. Toh, klubnya juga tidak akan ke mana-mana, jadi tidak ada alasan kenapa aku harus terburu-buru; ditambah, rasanya memalukan saat aku menjadi orang yang pertama datang kemarin.
Aku bertemu dengan anak-anak lain di depan pintu klub. Tak lama, pintu terbuka dan kelopak mawar berterbangan dari ruangan. Sambutan hangat dari para host cukup memanjakan indera pendengaran. "Selamat datang, Nona-nona!" Suara sambutan itu terdengar bergema di aula saat kami masuk.
Kemudian, gadis-gadis itu berjalan ke arah host yang mereka sukai, sebagian besar dari mereka memiliki adalah William. Sementara itu, aku melihat sekeliling ruangan, dan menemukan Oliver yang juga terlihat sibuk hari ini. Jadi, dia bukan pilihanku hari ini.
Sebelum aku melangkah maju ke arah lain, suara seseorang menginterupsiku, "Ariel?"
Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati William yang menatapku lembut. Dia tersenyum lebar hingga menampilkan deretan gigi-giginya yang rapi. Dia berjalan ke arahku dan meraih tanganku, "Maukah kamu bergabung denganku hari ini?"
Aku menatapnya sejenak, dan wajahku mulai memanas. Aku sedikit melirik ke sekelilingnya, dan memperhatikan bahwa para gadis yang berbondong-bondong datang arahnya memelototiku dengan mata tajam, aku bergidik ngeri. Mungkin karena William yang mendekati duluan dan memintaku untuk bergabung dengannya. Sebenarnya, aku tidak ingin menyakiti perasaannya dengan mengatakan "tidak", tetapi aku juga tidak ingin menjadi sasaran dari gadis-gadis brutal itu.
"Maaf, Senior." Aku meminta maaf, lalu melepaskan tanganku darinya. "Tidak hari ini. Lagi pula, sepertinya klubmu sudah penuh." Aku tersenyum kecil, berusaha untuk tidak menyakiti perasaannya.
William hanya berdiri tegak sambil tersenyum kembali. "Tentu saja," ujarnya. "Melayani gadis-gadis cantik adalah tugasku sebagai tuan rumah. tuan rumah, adalah tugasku untuk melayani gadis-gadis cantik ini. Aku menerima permintaan maafnya, jadi sampai jumpa lain kali, Princess Ariel."
Lalu, dia membungkuk dan kembali ke kerumunan gadis yang sedang menunggunya, lalu membimbing mereka ke tempat yang biasa ia gunakan untuk menjamu tamu. Beberapa dari gadis itu melirikku dengan senyum puas di wajah mereka. Aku hanya bisa menghela napas. Aku berharap bisa memilih William sebagai tuan rumah, tapi aku juga tidak ingin membuat gadis-gadis itu cemburu dan akhirnya menjadi target utama mereka. Tamaki sedikit terlihat kecewa tadi, tapi sepertinya ia bisa menerima penolakanku sepenuhnya.
"Wow, itu mengejutkan!" Sebuah suara yang datang dari sisi kananku membuyarkan lamunanku.
Aku merasakan sebuah lengan yang bertumpu di atas kepalaku ketika suara lain dari sisi kiriku berbicara dan melanjutkan, "Aku belum pernah melihat ada orang yang menolak William dan dia tidak marah."
Aku mengenali suara itu dengan sangat baik. Ya, mereka si kembar Stefan dan Steiner.
***