Keesokan paginya, aku terbangun oleh bunyi alarm yang cukup nyaring. Membuat kesal di pagi hari saja. Dengan kasar, aku menjulurkan tangan dan mematikannya.
Aku duduk di tempat tidur sambil mengumpulkan nyawa. Pada akhirnya, aku akan terbiasa dengan semua aktivitas ini. Aku tidak seharusnya merasakan lelah di pagi yang indah ini, karena akhirnya aku bisa berada di London dan bersekolah di Libra Academy.
Aku membuka gorden kamar, menatap matahari yang terbit di cakrawala dan menghangatkan bumi dengan cahayanya yang masih jingga. Setelah itu, bergegas ke kamar mandi untuk menyikat gigi, dan kemudian mengganti piyamaku dengan seragam sekolah.
Setelah menyisir rambutku yang seperti singa ini, aku menguncir kuda rambutku menggunakan Scrunchie hitam. Aku berputar di depan cermin, memastikan bahwa seragamku tidak kusut. Kemudian, aku mengambil gelangku dan mengaitkannya di pergelangan tangan. Setelah semuanya dirasa selesai, aku mengambil tas dan keluar dari apartemen.
Ya, ini masih sangat pagi. Tepatnya sekarang jam menunjukkan pukul tujuh pagi, dan hanya butuh waktu sekitar 15 menit bagiku untuk sampai ke sekolah dengan berjalan kaki.
Meskipun begitu, aku tidak dapat menahan senyum yang menghiasi wajahku ini. Semoga saja tidak ada yang menganggapku aneh karena senyum-senyum sendiri. Aku berjalan di trotoar sambil bersenandung kecil.
Tentu, aku pemalu dan pendiam kemarin, tapi sepertinya setelah mengunjungi Tea Party Club, aku jadi sedikit berubah. Aku jadi tidak sabar untuk mengobrol dengan Axel saat jam klub nantinya.
Berbicara tentang Axel, dia mungkin baru saja akan bersiap-siap untuk meninggalkan apartemennya; bagaimana pun juga, aku sudah setengah jalan ke sekolah. Meskipun waktu berbincang dengan Axel kemarin saat pergi ke sekolah sangat menyenangkan, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang Tea Party Club. Masing-masing dari host memiliki kepribadian yang unik dan berbeda, tapi satu hal yang sama, yaitu mereka sama-sama tampan. Jadi, sangat sulit untuk memutuskan siapa yang lebih kusukai. Yah, sejauh ini aku hanya meminta Ethan dan James, dan ada lima host lagi yang tersisa.
Bahkan gerbang akademi masih tertutup namun tidak terkunci. Bukankah aku benar-benar terlalu awal?
Saat aku ingin mendorong gerbangnya, seseorang tiba-tiba datang dan memegang tanganku. Suaranya yang tenang dan lembut terasa menggelitik di telingaku. "Biarkan aku yang melakukannya untukmu, Princess," ujarnya.
Saat dia membuka pintu, aku mendongak dan menemukan seorang lelaki tampan dengan rambut blonde yang kini menatapku dengan senyum lembut yang menawan dan hangat. Aku berpaling dan melangkah masuk ke gerbang, lelaki itu adalah William, dia mengikuti langkahku.
"Terima kasih, senior William," ucapku.
"No problem at all, my dear," jawabnya. "Bukankah kamu datang terlalu awal?" lanjutnya.
"Ya, kurasa ini terlalu pagi." Aku sesekali curi pandang ke arahnya. Dia benar-benar sangat tampan. Dapat melihatnya di pagi hari sebelum orang lain adalah sebuah berkah.
"Hm ... kalau begitu ... kamu tidak keberatan jika aku mengantarmu ke kelas?" Pangeran bertanya—dia benar-benar terlihat seperti pangeran. "Kita tidak banyak mengobrol kemarin," lanjutnya.
Aku menatapnya sebentar. Tentu saja aku tahu letak kelasku karena Oliver menunjukkan jalannya kemarin, tapi William benar jika kita tidak sempat mengobrol banyak di klub. Lagipula, mungkin dia juga berniat pergi ke kelasnya dan sekalian mengantarku.
Jadi, aku memutuskan untuk menerima tawarannya. "Iya, aku tidak keberatan sama sekali. Terima kasih."
Setelah aku mengatakan itu, William dan aku berjalan menyusuri koridor bersama. William berjalan santai, tidak terlalu cepat namun juga tidak lambat. Tetapi, aku masih tertinggal di belakangnya layaknya murid baru yang kebingungan saat dia berbelok dari satu dinding ke dinding lainnya. Padahal aku tahu jalan menuju ke kelas tahun pertama. Dan dia hanya akan tersenyum padaku setiap kali aku berhasil menyusulnya.
"Jadi, namamu Carol, 'kan?" Dia bertanya.
Ya," jawabku. "Tapi, kamu bisa memanggilku Ariel jika kamu mau."
William mengangkat alisnya saat dia menatapku. "Ariel?"
"Teman-temanku ... memanggilku begitu," kataku. "Aku tidak masalah dengan panggilan Carol atau Ariel." Padahal aku sudah memberitahunya kemarin. Mungkin dia lupa.
"Nama Ariel terdengar bagus. Namamu seperti nama princess di fairytale. Ah, lebih tepatnya Mermaid."
Aku tersenyum sebagai respon.
"Mungkin ini terdengar tidak sopan, tapi aku penasaran, apa pekerjaan orang tuamu?"
Aku tersentak saat mendengar pertanyaannya. Memang dia bertanya tentang pekerjaan orang tuaku, namun lebih tepatnya maksud dari pertanyaan yang dia lontarkan adalah perusahaan yang dimiliki orang tuaku atau semacamnya; mereka semua yang bersekolah di sini adalah anak konglomerat, jadi paling kurang memiliki 1 atau 2 bisnis sendiri.
Aku tidak bisa mengakui kebenarannya kepada William tentang aku yang sebenarnya adalah "orang biasa" atau rakyat jelata seperti aku menjelaskannya kepada Axel, jadi aku harus memikirkan alasan; lebih baik berbohong daripada harus ketahuan.
"Yah, orang tuaku adalah milyuner," jawabku. "Tapi aku tidak sering bertemu mereka ... Mereka ...." Aku berhenti sejenak untuk memikirkan alasan singkat. "Mereka sering berada di luar negeri."
"Untuk liburan atau bisnis?" tanya William lagi.
"Bisnis, kurasa," jawabku. "Kadang-kadang aku pikir mereka melakukan keduanya."
"Ternyata begitu."
Terjadi keheningan selama beberapa menit, dan kami tidak saling mengucapkan sepatah kata pun. Saat kami berjalan maju, aku tahu bahwa kami semakin dekat ke ruang kelas, tapi aku tidak banyak berbicara dengan William sepanjang perjalanan ke sana lagi. Aku masih gugup karena dia adalah satu-satunya host yang tidak banyak aku ketahui; ditambah lagi, dia sangat mempesona seperti seorang pangeran! Dia beberapa inci lebih tinggi dariku; sebenarnya, dia sekitar setengah kaki lebih tinggi dariku. Tapi, tinggi adalah sesuatu yang selalu menjadi masalah untukku, jadi aku membiarkannya saja.
"Apakah kamu memang orang yang pendiam seperti ini, Ariel?" Dia bertanya.
"Yah, tidak selalu," akuiku. "Maksudku, bagaimanapun juga, ini adalah tahun pertamaku, jadi aku masih agak gugup."
"Tidak perlu terlalu gugup." William berbicara dengan manis. "Tidak ada satu pun dari kami yang akan menyakiti mu. Tugas kami sebagai host adalah menghibur para gadis dan membuat mereka nyaman."
Dia mengulurkan mawar merah yang selalu di bawanya ke arahku; dia selalu membawa setangkai mawar. Aku menatap bunga itu, lalu beralih menatap William. Dia kembali tersenyum. "Untukmu, Princess."
Aku membalas senyumnya, "Terima kasih, Senior William," kataku, menerima mawar darinya. Saat aku menatapnya, aku menghela napas. "Kamu tahu, setiap kali aku melihat bunga mawar, aku selalu teringat pada Kakakku."
"Oh, ya?" William bertanya dengan alis yang terangkat.
Aku mengangguk sebagai jawaban. "Pesona nya seperti mawar, kurasa," jelasku.
William terkekeh. "Yah, jika dia ada di sekolah ini, dia bisa menjadi personil kedelapan kami."
Aku ikut terkekeh.