"Berbicara tentang itu ...," ucap Oliver, dia kembali berdiri, "Aku juga harus siap-siap untuk kelas selanjutnya." Sebelum dia benar-benar pergi, Oliver kembali berujar, "Ngomong-ngomong, kamu belum mendaftar untuk ikut kegiatan sosial, bukan?"
"Belum," jawabku sambil menutup buku sketsaku. "Kupikir aku harus terbiasa dengan suasana kelas terlebih dahulu sebelum mengikuti kegiatan lainnya."
"Ide yang bagus!" puji laki-laki bermata abu-abu itu. "Karena ini baru pertama kalinya untuk kamu, aku merekomendasikan Tea Party Club sebagai permulaan."
Tea Party Club? Aku menatapnya dengan bingung.
"Klubnya memang baru berdiri beberapa tahun lalu, tapi klub ini adalah salah satu klub terpopuler di Libra Academy. Aku akan menjelaskannya sedikit. Di sana, ada Butler dan juga host yang akan menghibur para tamu, khusus perempuan. Tentu saja teh dan cake juga disajikan di sana, makanya disebut dengan Tea Party Club," jelasnya panjang lebar.
"Ini adalah cara bersosialisasi yang paling santai. Setelah melalui hari yang panjang dan membosankan di sekolah, kamu bisa beristirahat di sana."
Aku bertanya-tanya, apakah itu semacam permandian air panas dan sebagainya? Atau semacam hotel? Aish ... tidak mungkin.
Aku berpikir sejenak dan kemudian kembali menatap Oliver. "Aku akan memikirkannya. Di mana acara klubnya biasanya diadakan?"
"Tentu saja di Tea Party Room," jawabnya.
Tea Party Room, aku kembali sibuk dengan pikiranku. Terdengar familiar. Di mana aku pernah mendengarnya sebelumnya? Tiba-tiba, aku ingat bahwa Stefan juga berbicara tentang Tea Party Room sebelumnya. Mungkin Stefan berbicara tentang Tea Party Room yang sama seperti Oliver sekarang; itu artinya, dia dan Steiner juga merupakan host di sana. Bukankah itu juga berlaku untuk Axel? Ah, mungkin saja Axel bukan host di sana melainkan Buttler.
"Well, aku harap dapat melihatmu di sana, Ariel," lanjut Oliver. Lalu, Oliver berbalik dan mulai berjalan ke Gedung Akademi.
Aku tak berniat untuk beranjak dari tempat dudukku. Rasanya terlalu nyaman berada di sini. Aku menatap kebun itu sejenak sebelum menghembuskan napas. Lalu, memasukkan semua peralatan gambarku ke dalam tas, dan berjalan ke arah gedung.
Membutuhkan sedikit waktu hingga aku berhasil menemukan kelas matematika, dan kali ini tanpa bantuan Axel maupun Oliver.
Baik pelajaran matematika maupun sejarah berlalu dengan cepat, mungkin karena aku tidak begitu lelah seperti pagi hari tadi; ditambah, aku sudah mempelajari sejarah Inggris sebanyak mungkin saat berada di rumah, dan matematika juga pelajaran yang gampang. Mungkin itulah yang membuatku tidak merasa lelah. Meskipun masalah utamanya adalah buku teks yang dipenuhi dengan huruf abjad—ingat aku adalah orang Korea dulunya yang memakai hangul—tapi aku masih bisa melewatinya dengan baik.
Selama pelajaran berlangsung, aku terus berpikir apakah aku harus menghadiri Tea Party Club atau tidak, apalagi ini adalah hari pertamaku di sini. Yah ... aku bersyukur tidak memiliki banyak pr, dan aku juga merasa sedikit tertekan di kelas.
Menjadi seseorang yang "dihibur" oleh host laki-laki dan dilayani oleh Buttler terdengar menarik, tapi apa yang sebenarnya Oliver maksud dengan "menghibur" itu? Aku tahu bahwa itu tidak mungkin semacam pelecehan seksual atau hal-hal liar lainnya, mengingat semua laki-laki yang kutemui sejauh ini terlihat gentle.
Aku menduga bahwa itu adalah sebuah kegiatan di mana para cowok menggoda para cewek, seperti bagaimana yang Axel lakukan padaku saat makan siang tadi. Yah, hanya ada satu cara untuk mencari tahu kebenarannya.
Begitu bel berbunyi, aku langsung keluar dari kelas. Aku berpikir, jika Tea Party Club adalah suatu aktivitas sosial yang cukup santai, maka aku bisa melupakan tentang tugas-tugas sejenak dan menikmati waktu sore, bukan?
Aku berjalan menyusuri koridor untuk mencari letak Tea Party Room berada. Anehnya, aku satu-satunya orang yang ada di sepanjang koridor ini sekarang, mungkin murid-murid lainnya sedang sibuk menghadiri klubnya, atau mungkin saja mereka di perpustakaan dan sedang mengoceh ria
Setelah berkeliling, aku akhirnya menemukan satu-satunya pintu yang bertuliskan 'Tea Party Room'. Tidak salah lagi, pasti ini ruangan yang dimaksud.
Aku berdiri di depan pintu itu, lalu menempelkan telingaku ke arah pintu, memastikan bahwa ada orang di dalam sana. Namun, tidak ada suara yang terdengar sama sekali. Aku menebak jika aku datang terlalu awal, tapi aku memutuskan untuk melangkah dan membuka pintu itu.
Kelopak bunga dengan lembut berembus ke arahku saat aku membuka pintunya. Seperti memasuki taman musim semi.
"Selamat datang!" Suara sekelompok cowok menyambut indera pendengaranku dengan lembut.
Aku mematung di sana tanpa bisa berkata-kata karena gugup. Ada enam cowok di ruangan itu. Tiga dari mereka, aku mengenalnya; Oliver, dan si kembar, Stefan dan Steiner.
Ada juga cowok ramping dengan tubuh tinggi, dan berkulit kecoklatan. Rambut hitamnya terlihat cocok dengannya, juga iris matanya yang berwarna coklat terang.
Di sampingnya ada cowok dengan tubuh mungil berambut rosegold. Untuk ukuran murid senior high school, dia tampak terlalu muda, apalagi saat dia memeluk boneka kelinci pinknya.
Di tengah-tengah mereka, seorang cowok dengan kulit seputih susu dan berambut blonde duduk di kursi yang mirip seperti kursi tahta—kursi raja seperti di film-film. Dia memiliki warna mata seperti laut Hawai yang cukup mempesona.
"Sepertinya kita kedatangan wajah baru," ucap cowok berambut blonde. Lalu, dia membentangkan kedua tangannya dengan senyum halus yang terukir di wajahnya. "Silakan masuk, Princess. Tidak usah malu," tambahnya.
Aku menganga. Apakah dia baru saja memanggilku dengan sebutan princess? Mungkinkah itu yang dimaksud oleh Oliver dengan 'menghibur' para gadis? Yah ... itu lebih terlihat seperti sweet-talk and flirting, dan tentu saja tidak ada unsur pelecehan.
Tidak tahu harus melakukan apa, aku perlahan menutup pintu ruangan yang tepat berada di belakangku dengan pelan. Aku terdiam beberapa saat karena tidak tahu harus berkata apa. Tapi, cowok berambut blonde itu tiba-tiba berdiri dari kursinya.
"Ya ampun, bukankah dia si kecil yang pemalu?"
Begitu dia berada tepat di depanku, aku menatapnya lekat. Tinggi badannya sama seperti Oliver, dan dia benar-benar tampan! Faktanya, keenamnya adalah cowok yang sangat tampan; well, kecuali yang bertubuh mungil. Dia sebenarnya terlihat lucu dan kekanak-kanakan.
Kemudian, cowok berambut blonde itu meraih tanganku dan berlutut dengan kepala tertunduk seolah aku ini adalah seorang putri bangsawan. Aku kaget bukan main saat dia tiba-tiba mengecup tanganku. "Tidak perlu malu-malu, My Princess. Aku adalah orang setiamu, William Kadrey," ujarnya. Kemudian, dia melirik ke arahku, "Dan siapa nama gadis cantik yang ada di hadapanku ini?"
Tunggu!! Apa ini? Jantungku rasanya akan copot. Aku benar-benar speechless dibuatnya. Ternyata klub ini sangat menghibur. Pantas saja kegiatannya hanya khusus untuk perempuan saja.
***