Aku tersenyum, tapi kemudian si kembar tiba-tiba datang ke arah kami. "Sepertinya kamu sudah mempersiapkan diri untuk acara klub nanti, Axel," goda Steiner.
"Mungkin kamu bisa menggunakan teman barumu untuk mempraktikkan beberapa trik baru," Stefan menambahkan.
Axel dan aku saling berpandangan, tatapan kami terkunci sesaat. Kemudian, kami tersadar dan langsung melepaskan genggaman tangan kami tadinya. Aku membuang pandangan ke sembarang arah karena wajahku yang memerah menahan malu.
Si kembar menertawakan kami. Kemudian, Stefan sedikit membungkuk ke arah meja yang kami tempati. Dia meletakkan sebelah tangannya di meja dan menghadapku, kemudian dia mengangkat pelan daguku yang tadinya melihat ke arah lain, kini harus menatapnya lekat. Aku yakin bahwa pipiku menjadi lebih merah dari sebelumnya. Terbukti dari rasa panas yang semakin menjalar. Dia menyeringai, dengan tatapan yang terlihat liar. Aku bergidik dibuatnya.
"Aku mulai menyukaimu, new girl. Kamu terlihat cukup imut saat tersipu," ujarnya. "Kamu harus mampir ke Tea Party Room saat jam klub nanti. Aku yakin kita akan bersenang-senang bersama."
Apa maksudnya dengan bersenang-senang? Aku menatapnya sebentar, tidak yakin dengan apa yang dia maksud; tapi aku tahu bahw Adia sedang menggodaku. Aku memalingkan wajah untuk melihat Axel dan berniat meminta tolong kepadanya. Tapi dia juga terlihat sibuk dengan Steiner, yang melakukan hal sama seperti kembarannya.
Aku teringat bahwa Axel mengatakan jika si kembar selalu berperilaku seperti ini. Aku kembali menatap Stefan, kali ini lebih lekat. Ya ... wajahnya hanya berjarak beberapa cm dariku.
"Aku menghargai tawaranmu," ucapku. "Aku akan memikirkannya selama kelas sore nanti."
Stefan tersenyum dan perlahan berdiri kembali. "Aku harap kamu akan datang," ungkapnya. "Jika kamu di sana, Axel akan mengambil libur—" Dia menjeda kalimatnya. Aku mengerutkan kening karena kalimat yang terpotong itu.
"Tunggu ... kamu baru saja memanggilku Stefan?" tanyanya.
"Um, ya," jawabku. Kenapa percakapannya jadi ke sini?
"Jadi kamu bisa membedakan kami?" tambah Steiner yang kini merangkul bahu kakaknya.
"Aku hanya mengamati kalian setelah aku gagal menebak saat itu," jelasku dengan senyum kecil.
Si kembar menyeringai, dan kemudian mereka berbicara bersamaan, "Gadis pintar."
"Well," tambah Axel, "sebaiknya kalian pergi sekarang." Axel mengusir si kembar.
Sebelum pergi, si kembar kembali melirikku dan berucap, "Aku harap bisa melihatmu di Tea Party Room nanti, Ariel."
Setelah itu mereka berbalik dan berjalan pergi. Meninggalkanku yang terduduk di sana dengan keadaan sedikit linglung. "Ini hanya perasaanku saja? Atau Stefan benar-benar tertarik padaku?" tanyaku kepada diri sendiri.
"Nah, mereka hanya benar-benar mendalami perannya." Axel menjelaskan, "Itulah yang mereka lakukan di klub itu, dan kebetulan mereka juga adalah host. Mungkin kamu harus mampir nanti dan mengeceknya sendiri. Tentu, jika kamu tidak keberatan."
"Aku akan memikirkannya," ujarku. "Ngomong-ngomong, terima kasih karena memperbolehkanku untuk makan siang denganmu, Axel."
"Anytime, Ariel," jawabnya. "Tapi, masih banyak waktu yang tersisa. Jadi, apa yang akan kamu lakukan?"
"Entahlah," jawabku. "Mungkin aku akan pergi ke perpustakaan."
Aku melihat seringaian kecil di wajah Axel. "Oke, good luck!" ucapnya.
"Terima kasih," jawabku.
Aku tidak tahu mengapa dia menyeringai tadi, tapi itu tidak menggangguku sama sekali. Setelah meletakkan nampan makan siang di raknya, aku keluar dari cafetaria.
Aku melewati koridor untuk sampai ke perpustakaan. Tapi ketika aku mengintip dari balik pintu, aku melihat beberapa siswa yang sedang mengobrol ria. Hey, ini perpustakaan! Apakah ini yang dimaksud oleh Axel dengan "good luck?"
Mungkin hal yang sama terjadi padanya selama tahun pertama di sini, jadi tidak mengherankan jika dia berharap semoga aku beruntung menemukan tempat yang sepi untuk belajar.
Tak hanya satu perpustakaan saja di Libra Academy, tetapi sangat banyak. Namun, semakin banyak aku menyusuri perpustakaan, semakin banyak pula murid-murid yang sibuk mengoceh di sana. Benar-benar sangat mengganggu.
Well, itu salah mereka sendiri jika nantinya mereka tidak lulus. Maksudku, mereka menganggap sekolah sebagai bahan lelucon. Kebanyakan murid di sini berpikir bahwa mereka bisa menyelesaikan apa pun dan mendapatkan apa pun yang mereka inginkan. Yang mereka pedulikan hanyalah seberapa kaya mereka setelah mewarisi seluruh keberuntungan keluarganya.
Daripada tidak fokus di dalam perpustakaan, aku akhirnya memilih untuk pergi ke taman akademi. Sejauh mata memandang, mawar terlihat bermekaran dengan sangat indah. Harumnya pun tercium dengan sangat jelas. Rasanya seperti berada di Queen of Heart's garden di cerita "Alice in Wonderland".
Ada mawar putih, merah, dan pink juga. Beruntungnya, aku menemukan sebuah bangku di bawah pohon maple yang daunnya masih hijau. Dan tara!! Ini adalah view terbaik untuk menggambar. Dari tempat duduk ini, aku bisa melihat hampir keseluruhan taman bunga mawar ini, juga kolam ikan koi yang terlihat berkilau dari jauh.
Aku mulai menggambar struktur adegannya sebelum menambahkan rinciannya. Dari sini aku juga bisa melihat clock tower. Aku memeriksa jam di sana secara berkala untuk memastikan agar aku tidak terlambat mengikuti kelas sore nantinya. Specially, karena ini hari pertama.
Aku tidak tahu bagaimana rasanya terlambat di hari pertama; tapi satu hal pasti, aku harus meninggalkan tempat ini 10 menit sebelum bel berbunyi.
Aku baru saja menyelesaikan garis luar dari sketsa tersebut. Aku terlalu fokus menggambar hingga tidak menyadari kedatangan seseorang, hingga dia berseru, "Senang melihatmu di sini."
Aku terkejut, dan dengan cepat menatap Oliver yang sudah berada di sampingku. "Hello, Oliver. Aku tidak mendengar suaramu berjalan," ujarku.
"Sepertinya kamu cukup menikmati pemandangannya," katanya.
Aku tersenyum tipis. "Kamu bukan seorang cenayang, 'kan?" candaku.
Dia hanya terkekeh. "Tentu saja bukan," jawabnya. "Kamu keberatan jika aku duduk di sampingmu?"
"Oh, tidak sama sekali," ujarku, dan memindahkan beberapa peralatan gambarku ke tanah agar Oliver bisa duduk di sana.
Dia duduk, kemudian menatapku sebentar. "Jadi, kenapa kamu di sini?"
"Yah ... aku hanya berusaha untuk menemukan tempat yang bisa dihabiskan saat jam makan siang," jedaku. "Tapi semua perpustakaan di sini entah mengapa malah berubah jadi tempat pertemuan sosial. Tak ada yang sepi, mereka sibuk mengoceh. Jadi pada akhirnya aku menemukan tempat ini."
"Ternyata begitu," ujarnya. Oliver diam-diam terlihat mengangguk. "Kamu menyukai sketching landscape?"
"Hah? Yah ... sebenarnya, aku suka menggambar apa pun," jawabku.
Oliver hanya tersenyum. Meskipun begitu, aku masih bisa mempercayai Oliver sepenuhnya. Maksudku, aku baru bertemu dengannya pagi ini. Dia mungkin tampak seperti orang yang baik, tapi aku harus mengenalnya lebih baik sebelum aku bisa berbagi rahasia dengannya.
"Kamu adalah seniman yang sangat luar biasa, Ariel," komentarnya.
"Terima kasih," ungkapku. "Ini belum selesai, dan aku ragu bisa menyelesaikannya sebelum bel berbunyi."
"Berbicara tentang itu ...."
***