Chereads / Libra Academy / Chapter 4 - The Boy Who's Seem Girl

Chapter 4 - The Boy Who's Seem Girl

Tiba-tiba, aku mendengar suara seseorang yang sepertinya sedang memanggilku. "Hei, kamu yang di sana!"

Langkahku terhenti. Aku berbalik dan menemukan seseorang yang juga menatapku. Dan ... dia adalah seorang laki-laki dengan rambut pendek berwarna cokelat. Dia mengenakan seragam siswa dari Libra Academy. Jas navy dengan kemeja putih dan dasi merah kotak hitam, serta celana dan sepatu hitam, terlihat sangat cocok untuknya. Dia tersenyum simpul sebelum membuka suaranya.

"Kamu siswi dari Libra juga ternyata. I see," ujarnya.

"Uh ... ya," jawabku malu-malu.

"Kamu tidak keberatan jika aku ikut jalan bersamamu, bukan?" tanyanya.

"Um, t-tentu," jawabku.

Lalu, kami berdua mulai menyusuri jalan ke sekolah. Tak satu pun dari kami berbicara, bahkan sepatah kata pun. Terutama karena aku yang sedikit pemalu dan takut kalau-kalau pengucapanku salah saat berbicara dan berakhir dengan mempermalukan diri sendiri.

Akhirnya, siswa laki-laki itu membuka mulutnya terlebih dahulu, "By the way, aku Axel Cullen."

Aku melirik ke arahnya. Dia terlihat baik dan senyum di bibirnya juga terlihat cukup menenangkan. Ada sesuatu tentang siswa ini yang membuatku  merasa lebih nyaman, kemungkinan besar karena dia jelas tahu bahwa aku sedang gugup.

"Aku Ariel Carol," jawabku dan membalas senyumnya dengan tipis.

Axel tersenyum hangat. "Apakah kamu gugup karena ini hari pertama sekolah?"

"Uh ... ya," jawabku, tapi kemudian aku menyeringai. "Tapi, siapa yang tidak gugup?"

Siswa laki-laki itu terkekeh geli, mungkin karena senyumku yang tampak lucu menurutnya. Tapi biarlah, anggap saja aku sedang membiarkan rahangku rileks sejenak sebelum sampai ke sekolah. Oke, semakin lama kekehan itu terdengar semakin aneh. I mean, kekehan itu terdengar seperti perempuan. Dan setelah aku memikirkannya, Axel terlihat sedikit feminim. Aku berusaha curi-curi pandang ke arahnya untuk melihat wajahnya lebih jelas lagi. Dan benar saja, dia terlihat cukup feminim, bahkan suaranya pun terdengar seperti perempuan. Mungkin saja Axel belum pubertas, 'kan?

"Jadi ...." Axel mulai memecahkan keheningan, "Kenapa kamu memutuskan untuk berjalan ke sekolah?"

"Baiklah. Aku harus melakukannya," jawabku tersipu. " Kamu tau, aku adalah siswa transfer dari Korea."

"Ah, jadi kamu adalah murid beasiswa baru itu." Axel berkomentar.

"Ye-ah ...."

"Tapi katanya kamu dari Korea? Kenapa nama dan wajahmu tidak terlihat seperti itu?"

Aku mengerti mengapa Axel bertanya. Tak hanya dia, banyak juga orang yang bingung.

"Aku hanya tinggal di Korea."

Axel menganggukkan kepalanya, kemudian dia menyeringai. "Menarik. Kamu pasti sangat pintar."

"Uh, ya," jawabku, agak malu.

Aku tidak ingin dikenal sebagai jenius di sekolah. Jika tersebar kabar bahwa aku adalah anak yang jenius dan sebagainya, aku pasti akan menjadi target pembullyan dari gadis-gadis jahat dalam waktu singkat. Maksudku, kamu mungkin juga akan menempelkan kertas di punggungku yang bertuliskan, "Pilihlah aku, karena aku memiliki kapasitas 256 MB memori dalam otak."

Setelah membaca tentang semua pembullyan dari buku dan film, aku tidak ingin menjadi salah satu dari karakter itu, terutama karena aku ingin menyesuaikan diri dengan anak-anak kaya kali ini.

Meskipun kejeniusan ku terungkap pada hari pertama sekolah, Axel tetapmemberiku senyuman hangat yang melintasi wajah kecilnya. "Jangan khawatir, Ariel,"ujarnya. "Aku tahu bagaimana rasanya menjadi satu-satunya yang cerdas di sekolah."

Dengan itu, Axel tiba-tiba berbelok di tikungan, dan aku mengikutinya tanpa ragu, dengan perkiraan bahwa dia mungkin punya jalan pintas tersendiri.

Axel tahu persis apa yang sedang aku rasakan? Mungkin ada tempat bagiku untuk menyesuaikan diri dengan sekolah yang arogan ini. Namun, ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalaku, dan aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya tentang apakah Axel adalah seorang laki-laki atau seorang perempuan.

Namanya memang terdengar seperti laki-laki, namun cara bicaranya persis seperti perempuan, tapi dia juga mengenakan seragam laki-laki. Aku hanya tidak tahu bagaimana membedakan hal itu. Meskipun demikian, entah mengapa firasatku mengatakan jika ....

Aku hanya harus bertanya kepadanya saja, bukan?

"Axel, kamu tidak akan tiba-tiba berubah jadi ... seorang perempuan, bukan?"

Dia terlihat membeku. "K-kenapa bertanya?"

"Aku hanya bertanya," jawabku, berharap bahwa aku tidak menyinggungnya "Maksudku, kamu terlihat dan juga bersikap seperti seorang gadis."

Axel terlihat menghela napasnya resah, dan kemudian menatapku lekat. "Janji untuk tidak memberitahu siapa pun?"

"Uh, tentu saja," jawabku. Sebenarnya aku tidak tahu mengapa aku menjanjikannya.

"Anda tahu, Ariel, aku sebenarnya adalah seorang perempuan," aku Axel.

"Lalu kenapa kamu—"

Axel memotong perkataanku cepat, "Sulit untuk menjelaskannya. Tapi seperti yang kamu lihat, aku klub yang harus aku ikuti secara paksa. Tahun lalu, aku terjebak di suatu insiden dan saat aku mencoba untuk melarikan diri, aku tidak sengaja memecahkan vas bunga yang dibeli dengan harga $20000. Aku tidak sanggup menggantinya karena aku bukan berasal dari keluarga yang kaya. Jadi, aku harus bergabung dengan klub itu dan melunasi hutangnya."

"Oh, aku paham," jawabku yang merasa kasihan dengannya. "Jadi, kenapa mereka membuatmu berpakaian seperti laki-laki?"

"Ini adalah klub untuk anak laki-laki," jawabnya. "Sebenarnya, yang mereka lakukan hanyalah menggoda ataupun menerima curhatan dari perempuan. Klub itu dipenuhi oleh orang-orang aneh, tapi itu hanya pendapatku. Lagipula, siswi-siswi lain menyukainya. Lalu ...." Axel menambahkan, kemudian ia beralih menatapku, "sekolah akan mulai, sebaiknya kita sampai di sana."

Axel terus menyusuri jalan dan aku masih mengikutinya dari belakang. Oke, jadi Axel sebenarnya adalah seorang perempuan, namun dia terpaksa harus berpakaian seperti laki-laki untuk melunasi seluruh hutangnya di klub tersebut. Yah ... tidak mengherankan mengapa segala hal di sekolah ini sangat mahal, termasuk vas bunga; sekolah ini dijalankan oleh sekelompok konglomerat. Meskipun aku pernah menjadi seorang anak konglomerat, aku masih terlalu muda saat itu untuk mengetahui bagaimana rasanya; tapi dengan bantuan Kakak dan Sheila yang mengajariku, aku yakin bahwa aku akan bisa segera menyesuaikan diri di sini.

"Jadi, Ariel ...." Axel kembali berbicara, memecahkan kesunyian di antara kami saat berjalan menyusuri jalan yang panjang ini, "Bagaimana kehidupan di Korea?"

"Cukup bagus," jawabku. "London benar-benar menakjubkan. Tapi Korea juga tak kalah menakjubkan meskipun aku hanya tinggal bersama Kakakku di sana. Maksudku, kami belum pernah melihat orang tua kami dalam waktu yang lama."

Axel memiringkan kepalanya dengan bingung. "Kenapa?"

"Yah ... sebenarnya itu adalah cerita yang panjang, tapi aku akan mempersingkatnya. Sebenarnya aku berasal dari keluarga konglomerat yang menjijikkan," jelasku. "Tapi, hidup dalam keluarga konglomerat tidak selamanya indah. Kakakku tidak tahan dengan aturan yang selalu menyiksanya, juga pernikahan yang sudah mereka rencanakan untuk Kakakku. Jadi, pada akhirnya dia kabur dari rumah. Aku juga tidak terlalu ingat tentang rumah itu. Yang aku ingat hanyalah saat aku juga memilih kabur dari rumah dan menyusul Kakakku."

***