Chereads / Libra Academy / Chapter 6 - Help, Me! I'm Lost!

Chapter 6 - Help, Me! I'm Lost!

Berjalan di sepanjang koridor akademi, mataku tak henti-hentinya menatap ke atas pintu kelas. Berusaha memastikan agar kelas yang akan kutempati tak terlewat. Aku kesulitan membaca angka yang tertera di atas pintu kelas karena posisinya yang cukup tinggi. Ditambah, semua pintu kelas di sini terlihat sama. Jujur, aku tidak ingin terlambat di hari pertamaku sekolah, tentu saja itubakan membuat image ku menjadi jelek. Serius, seharusnya mereka menyiapkan peta, maps, atau semacamnya di luar ruang kepala sekolah agar orang-orang sepertiku tidak tersesat!

Begitu sampai di ujung koridor dan berbelok ke koridor lainnya, aku menghela napas kasar dan meninju pelan tembok-tembok itu. Aku merasa seperti sedang terjebak di ruang cermin. Setiap lorong di koridor ini terlihat sama persis! Dan aku harus menemukan kelasku dalam kurun waktu lima menit atau hari ini akan menjadi mimpi buruk dan menghantuiku selamanya.

"Butuh bantuan?" seru seorang laki-laki dari arah belakangku.

Aku terkejut dan refleks berbalik untuk menemukan seseorang yang menawarkan bantuan tersebut. Dia adalah seorang siswa dengan tubuh tinggi, beberapa inchi lebih tinggi dari Max sepertinya. Tinggiku setara dengan bahunya, jadi kurasa aku tidak pendek.

Dia memakai kacamata yang membuatnya terlihat seperti anak yang rajin, namun juga terlihat cupu—tentu saja, aku juga terlihat sedikit cupu. Jadi aku tidak berhak untuk menghakiminya. Oh, jangan lupakan mata abu-abunya yang terlihat indah, rambut cokelat gelap yang disisir rapi, juga sebuah senyum tipis yang terukir di bibirnya. Namun, satu hal yang pasti, dia terlihat tampan. Kurasa aku harus cepat-cepat mengembalikan kesadaranku. Aku sudah menatapnya terlalu lama.

"Aku baik-baik saja," jawabku tersipu. "Aku hanya ... sedang mencari kelasku."

"Aku mengerti," jawabnya. "Kutebak ... kamu tahun pertama?"

"Iya." Aku menganggukkan kepalaku. Entah mengapa rasanya aku malu.

"Sepertinya kamu berada di lantai yang salah," jelasnya. "Di sini adalah lantai kelas tahun ketiga."

Mendengar penjelasannya membuat wajahku lebih memerah dari sebelumnya. Aku benar-benar malu.

"Oh ...," jawabku dan membuang muka ke sembarang arah.

Lantai untuk tahun ketiga? Mengapa aku bisa sampai di sini? Apa yang salah denganku?

Kurasa aku menjadi semakin gugup sejak si kembar membawa Axel pergi, jadi aku tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Dan sekarang kepalaku jadi pusing. Bisa-bisanya aku tersesat ke lantai yang notabennya adalah milik para senior. Aku pasti akan menceritakan hal ini kepada Max sepulang sekolah nanti.

"Aku bisa mengantarmu ke kelas," ujar laki-laki itu lagi.

Aku melirik ke arahnya. "Kamu tidak keberatan?"

"Tidak sama sekali," jawabnya dengan senyum kecil. "Oh, aku Oliver Stamberd."

"Senang bertemu denganmu Senior Oliver," jawabku dengan senyum lemah. "Aku Ariel Lais Carol."

"Tidak perlu memanggilku senior."

Oliver menyeringai saat ia menggunakan jari telunjuknya untuk mendorong kacamatanya ke tengah hidung. "Nah, Ariel, cukup ikuti aku saja. Aku akan mengantarmu ke kelas tahun pertama."

Lalu, Oliver berjalan melewatiku dan menyusuri koridor yang juga aku lewati saat pertama tadi. Tanpa ragu, aku langsung mengikutinya. Kami tidak banyak bicara, terutama karena aku yang masih sedikit gugup dan malu tentang apa yang terjadi tadi, tapi aku tetap bertanya kepadanya tentang bagaimana sistem di sekolah ini dan meminta saran kepadanya tentang bagaimana aku harus bersikap di hari pertama.

Begitu kami berhasil sampai ke kelas pertamaku, yaitu sains, aku berterima kasih pada Oliver sebelum akhirnya dia berbalik dan pergi ke kelasnya. Aku merasa agak bersalah karena membuatnya harus mengantarku sampai ke kelas tahun pertama saat dia sendiri sudah terlambat untuk kelasnya. Yah ... bukankah dia adalah anak konglomerat yang kaya raya? Jadi dia bisa mengatasi segala permasalahan, bukan?

Aku menghela napas, kemudian membuka pintu dan masuk ke kelas. Siap memulai sekolah pertama di Libra Academy. Sains adalah pelajaran yang sederhana, karena itu adalah salah satu pelajaran termudah dan favoritku. Seperti biasanya, di hari pertama sekolah, guru akan menjelaskan tentang sistem pembelajaran selama satu semester ke depan; aku membuka setiap halaman dari buku tersebut, setiap babnya cukup panjang.

Aku tidak mengenal seorang pun di kelas itu. Tidak ada Axel, si kembar, atau Oliver; tapi, aku yakin bahwa aku akan berteman dengan beberapa dari mereka nantinya.

***

Begitu kelas pagi berakhir yang ditandai dengan suara bel, aku pergi ke kafetaria untuk makan siang. Baru selangkah menginjakkan kaki di sana, aku dibuat kaget karena kafetaria itu tidak terlihat seperti kafetaria; sebenarnya, itu lebih terlihat seperti aula perjamuan besar. Ada deretan meja panjang yang ditata di ruangan itu dengan kain putih yang diletakkan di atasnya. Para siswi duduk bersama di satu meja sementara para siswa berada di sisi lain. Aku menduga jika itu adalah circle mereka.

Tidak mengherankan jika mereka membentuk circle nya masing-masing. Hal itu sering terjadi di sekolahan. Selain itu, aku sudah berkenalan dengan beberapa orang hari ini. Aku yakin jika aku melakukannya dengan baik, pasti semuanya akan berjalan lancar.

Setelah mengambil makan siang, aku sedikit berkeliling untuk mencari tempat duduk yang pas. Sampai akhirnya aku mendengar suara yang familiar. "Ariel, ke sini!"

Aku memutarkan kepalaku untuk menatap orang tersebut. Aku melihat Axel yang duduk sendirian di meja yang sebagiannya kosong. Dia melambaikan tangan ke arahku, memberi isyarat agar aku menghampirinya. Aku tersenyum dan segera berjalan ke arahnya. Meskipun kami baru bertemu tadi pagi, aku berani mengatakan bahwa Axel dan aku akan menjadi teman dekat. Kami memiliki beberapa kesamaan, terutama karena kami adalah murid beasiswa.

"Hei, Axel!" sapaku dan duduk di sebelahnya.

"Hei!" balasnya. "Jadi, bagaimana hari pertamamu sejauh ini?"

"Bagus," jawabku. Aku mengambil peralatanku dan memulai makan siangku. "By the way ...." Aku menelan makananku sebelum kembali melanjutkan, "Ada apa dengan si kembar? Maksudku, mereka terlihat seperti menggodamu."

"Oh, mereka selalu seperti itu." Axel menjelaskan dengan raut kesal. "Bahkan di luar klub."

"Mereka ada di klub bersamamu?" tanyaku. Axel mengangguk.

"Okay. Kurasa itu yang membuatmu cukup sibuk," jawabku.

Kami berdua terkekeh, dan kemudian kami melanjutkan makan siang kami. Axel membawa bento. Ini mengingatkanku saat di Korea dulu. Haruskah aku membawa bento juga? Hitung-hitung hemat.

Aku mengelap mulutku dengan tisu yang menandakan bahwa aku telah selesai makan siang. "Itu gelang bagus," ujar Axel.

"Terima kasih. Kakakku membelikannya untukku." Aku menjulurkan tanganku ke arahnya, Axel memperhatikan gelang itu dengan seksama. "Karena kami berpisah bermil-mil jauhnya, gelang ini mengingatkanku kepadanya. Kamu tahu, aku biasanya mendapatkan pesona baru setiap kali mengunjungi tempat baru."

"Mungkin pada akhir semester, kamu harus membeli yang lain untuk menambah pesonamu," ujar Axel.

***