"Hei, Max," seruku dan berjalan melalui ruang tamu.
Dia melirikku sekilas dibalik surat dan tersenyum. "Hei, Sis!" jawabnya.
"Jadi ...." Aku mulai melirik ke sekitar ruangan, mencoba untuk tidak bertanya apakah ada sesuatu yang datang untukku atau tidak. Aku mengembuskan napas kecil dan berbalik kembali ke kakakku. "Gimana kerjaanmu hari ini?" tanyaku.
"Itu bagus," jawabnya. "Sama seperti biasanya."
"Bagus ... yah, um ...." Lagi, mataku mulai menjelajahi ruangan lebih liar.
Ada keheningan antara kami berdua, tapi kemudian Kakakku berbicara, "Pasti kamu ingin tanya, apa surat itu datang atau tidak. Iya, 'kan?" Dia bertanya dengan seringai geli di wajahnya.
Aku tersenyum, lalu aku kembali menatapnya fokus. "Kamu mengenalku dengan baik."
"Yah, aku baru memindai sebagiannya saja, jadi aku akan membiarkanmu memindai sisanya."
Max kembali menyusun amplop di atas meja, dan kemudian aku duduk di sebelahnya. Aku mengambil surat-surat tersebut dan perlahan mulai membaliknya, memindai alamat yang ditujukan untuk namaku. Akhirnya, tinggal satu surat lagi dengan amplop sutra berwarna putih. Di sana, tertera namaku "Carol, Ariel Lais" dan juga alamat rumah kami.
Aku langsung menyingkirkan surat lainnya dan meletakkan amplop putih tersebut di atas meja. Kemudian, aku membalik lagi suratnya dan menemukan ada segel merah dengan lencana berbentuk timbangan yang menandakan simbol akademi. Ya ... tidak salah lagi. Itu asli.
Dengan cermat, aku menggeser cutter di antara segel tersebut, lalu mengeluarkan kertas, melepaskannya dan membacanya. Aku membacanya dengan teliti agar tidak melewatkan tentang bagian pengumumannya. Dan kemudian ... aku hampir tersentak; dan aku membacanya dua kali lagi hanya untuk memastikan bahwa aku tidak salah dalam mengartikan suratnya. Senyum lebar mulai tertera di wajahku dan aku masih terus menatap teks yang tertera di surat tersebut.
"Oh, wow ..." bisikku. Karena tidak mampu membendung kebahagiaan, aku refleks berdiri dari kursi. "Aku berhasil! Aku lulus! Mereka menerimaku, Max!"
Kakakku berdiri dari tempat duduknya, dan bertanya, "Benarkah?"
"Coba lihat!" ujarku dan menyerahkan kertas itu kepadanya.
Kakakku mengambil kertas itu dan membaca isinya. Setelah selesai, senyuman yang lebar menyebar di wajahnya. "Baiklah, aku ... aku kira mereka benar-benar menerimamu."
"Aku tidak percaya! Aku akan pergi ke Libra Academy!"
Aku sangat senang. Aku bahkan memeluk Max dengan erat. Aku masih belum percaya bahwa mereka benar-benar menerimaku di sekolah elit dan royal itu. Meskipun aku mungkin berasal dari keluarga konglomerat, namun aku tidak dapat mengingat apa pun dari kehidupan lamaku. Tapi setidaknya aku memiliki otak yang encer untuk menghadiri akademi orang-orang elit tersebut. Jadi tidak terlalu memalukan.
Setelah beberapa saat, Max melepaskan pelukannya dan menarikku untuk duduk lantai, dan kami berdua pun mulai menangis karena terharu. "Aku sangat bangga padamu, Ariel," ujarnya. Ia mengusap lembut pucuk kepalaku. "Aku tidak pernah meragukanmu barang sedetik pun."
"Kupikir semua kesabaran akhirnya terbayarkan," ungkapku.
"Itu pasti," jawab Joe.
***
Sejak aku membuka surat yang menyatakan bahwa aku diterima di Libra Academy, aku mulai lebih bersemangat karena hari-hari yang menarik akan semakin dekat.
Setelah orientasi, yang digelar minggu ketiga di bulan Maret (sekolah dimulai pada bulan April), aku masih bisa memvisualisasikan bagaimana rasanya berjalan-jalan di akademi yang terlihat luas dan menjulang tinggi. Akademi tersebut memang terlihat besar di brosur, namun nyatanya bisa 10 kali lebih besar jika dilihat dari aslinya.
Sampai saat itu tiba, aku membutuhkan lebih banyak latihan agar sesuai dengan siswi akademi di sana.
Sekarang, hanya satu minggu tersisa sampai sekolah dimulai, aku tidak hanya bersemangat, tapi juga gugup. Mengapa? Karena aku akan memasuki sekolah baru! Rasanya aku ingin menangis lagi! Itu berarti aku akan dikelilingi oleh orang-orang yang benar-benar asing bagiku. Dan aku tidak terbiasa berada di sekitar orang-orang kaya, jadi aku tidak tahu bagaimana sikap, sifat, atau kepribadian mereka. Nah, satu hal pasti ... aku berharap agar beberapa di antaranya mungkin seperti Kakakku, mudah-mudahan saja.
Bahkan sebelum aku sadar, aku sudah berada di taksi dan menuju ke apartemen. Ya, aku tahu. Aku sudah hidup selama 15 tahun dan aku akan hidup sendiri selama satu tahun lagi di negara asing.
Begitu taksi sampai ke tempat parkir apartemen, aku membayar sopirnya dan kemudian melangkah keluar. Aku membawa seluruh barang yang ada di dalam bagasi sendirian, karena hanya ada sebuah koper dan tas yang akan aku gunakan untuk sekolah. Setelah mengambil kunci kamar dan memasuki komplek, aku menatap sebentar daerah tersebut.
Rasanya benar-benar melelahkan. Perjalanan dalam pesawat memakan waktu 10 jam, jadi wajah saya jika aku lelah, 'kan?
Aku kembali menghela napas kasar dan meletakkan barang-barangku begitu sampai di kamar. Lalu, aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuh yang terasa lengket dan naik ke tempat tidur dengan segera. Aku benar-benar kelelahan sekarang. Aku akan membereskan koperku lain kali saja!
***
Alarm berbunyi nyaring di pagi hari, dan aku mengerang kesal saat ingin mematikannya. Aku merasa seperti aku hanya tidur selama satu jam! Perlahan aku duduk di tempat tidur, dengan tangan yang masih mengusap mata, aku berusaha melirik sekitar ruangan. Ya, kemarin bukan mimpi, aku benar-benar pergi ke London. Aku tersenyum.
Dengan gerakan cepat, aku langsung ke kamar mandi. Kemudian, aku menarik seragam berwarna biru dari lemari pakaian. Aku menyelipkan seragam yang mirip gaun itu di atas kepala dan menarik lenganku melalui lengan baju. Dan seragamnya mendarat rapi di tubuhku. Benar-benar pas. Aku melirik rambutku dari pantulan cermin, benar-benar seperti singa. Berkat ajaran keras Sheila, aku berhasil menata rapi rambutku. Ya ... meskipun hanya di kuncir kuda biasa saja, sih.
Aku mengaplikasikan make up tipis di wajah, namun mendadak aku merasakan sakit di perut. Seperti didorong oleh sesuatu. Aku menghentikan kegiatanku untuk menghirup oksigen lebih dalam. Kemudian, berbisik pada diri sendiri bahwa ini hanya karena kegugupan semata, dan semuanya akan baik-baik saja.
Setelah memasukkan kadua kakiku ke dalam sepatu, akhirnya aku siap untuk menghadapi hari baru. Aku mengambil tas dan mulai menghela napas lagi.
Satu hal yang tidak boleh tertinggal adalah gelang yang dapat memancarkan pesonaku. Sebenarnya, itu hanyalah hadiah dari Max sebelum aku pindah kemari. Ya ... hanya gelang biasa.
Aku memeriksa sekali lagi, memastikan bahwa semua yang kubutuhkan untuk kelas hari ini sudah lengkap. Lalu, aku mengunci pintu apartemen dan mulai menyusuri tangga untuk turun ke bawah. Libra Academy terletak beberapa blok dari apartemen yang aku tinggali untuk saat ini, jadi hanya lima belas menit berjalan kaki saja. Ada beberapa apartemen lainnya di area yang kutinggali juga, jadi seperti komplek dengan beberapa rumah yang saling terhubung.
***