Sekarang dia mengusulkanku untuk pergi ke sekolah, tidakkah itu akan mengacaukan seluruh rencananya?
"Aku tidak tahu," jawabku. "Kurasa itu tergantung. Sekolah macam apa itu?"
"Lihat sendiri," kata Max dan menyerahkan brosur.
Aku menerimanya dan kemudian memeriksa bagian depan. Ada bangunan besar dengan menara jam, dan air mancur panjang yang dipenuhi dengan bunga mawar, juga dengan struktur batu yang membuat air mancur mengalir dari atas. Sangat elegan.
Lalu, heading brosur tersebut bertuliskan nama sekolahnya, "Libra Private Academy". Di pembukaan brosurnya, terdapat banyak kegiatan akademis seperti matematika, sains, dan beberapa sejarah; serta banyak kegiatan dan klub seperti seni dan musik.
Ada beberapa gambar para siswa di meja mereka, dan juga selama aktivitas mereka. Satu hal yang menarik perhatianku adalah bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki seragam yang spesifik. Perempuan memakai dress biru dengan lengan balon panjang, serta pita besar berwarna merah di bagian pinggang, dan pin mawar di dada kanan atas; sementara laki-laki mengenakan jas navy dengan kemeja putih dan dasi merah kotak hitam, serta celana dan sepatu hitam.
"Kedengarannya menyenangkan," ujarku saat melihat satu persatu aktivitas mereka. "Aku selalu penasaran bagaimana rasanya bersekolah."
"Biayanya sangat banyak dan mahal, itu pasti." Max berbicara sambil mengehela napas pelan.
"Jika biayanya terlalu mahal untuk dibayar, maka kita bisa menemukan tempat lain ... atau, aku bisa terus mengikuti kursus online saja. "
Max menyeringai. "Siapa bilang aku akan membayarnya dengan uang sakuku?"
Oke, sekarang aku benar-benar bingung. Tidak mungkin, 'kan, uangnya tiba-tiba ada secara ajaib? Dan tidak mungkin juga jika daun yang ada di halaman rumah berubah jadi uang. Dan jika Max tidak akan membayarnya, siapa yang akan membayar uang sekolah itu? Tidak mungkin, 'kan, aku harus membayarnya sendiri? Maksudnya, aku ini hanyalah seorang pengangguran.
"Kamu tahu," kata kakakku memulai penjelasannya. "Ibu dan Ayah awalnya berencana untuk mendaftarkanku di akademi itu begitu aku mulai sekolah menengah. Tapi seperti yang kamu tahu juga bahwa aku melarikan diri dari rumah sebelum itu. Aku tahu betapa inginnya kamu pergi ke sekolah, jadi aku telah memutuskan untuk mendaftarkan kamu. Yah, jika kamu tidak keberatan jauh dari rumah selama setahun."
"Itu masih tidak menjawab pertanyaanku tentang bagaimana kamu akan membayar sekolah untuk anak-anak konglomerat ini ...." Aku kembali menatap deretan teks dari brosur itu, dan seketika mataku melotot kaget. "London?!"
"Dari situlah rencananya datang. Tahun lalu mereka mengadakan satu beasiswa, dan mereka melakukan hal yang sama tahun ini."
"Jadi, aku harus mencoba dan mendapatkan beasiswa?" Aku menebak.
Kakakku mengangguk.
Mendapatkan beasiswa sebenarnya cukup mudah, namun jika itu beasiswa untuk akademi elit, salah satu sekolah swasta paling bergengsi di London pasti akan cukup sulit, 'kan? Aku berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan mencoba masuk ke sekolah setidaknya selama setahun setahun; dan sekarang aku diberi kesempatan itu. Aku harus melakukan apa pun agar bisa masuk ke sana.
"Kedengarannya mudah," ujarku sambil menyeringai. "Lagi pula, aku suka bepergian ke tempat-tempat baru."
Kakakku meletakkan tangannya di kepalaku dan mengacaknya kasar. "Itu baru Adikku."
Setelah beberapa menit mengobrol tentang sekolah baru ini, aku meninggalkan ruangan, dengan brosur yang masih kupegang. Aku duduk di tempat tidur, mempelajari semua yang mereka tulis di sana, mulai dari akademik hingga kegiatan sosial. Lalu aku menutup brosurnya, dan melihat-lihat gedung di bagian penutup. Libra Akademy ... aku sedikit merenung. Lalu, aku mengeluarkan buku sketsaku dan mulai menggambar Akademy tersebut.
Pemikiran tentang perjalanan ke London membuatku tetap terjaga, juga menggambar Akademi. Aku pernah membayangkan akan pergi ke sekolah di kota, tapi aku tidak pernah menduga bahwa aku akan bersekolah di belahan dunia lainnya! Sekolahan elit untuk anak-anak konglomerat, aku mungkin terlihat aneh. Tentu saja, semua siswa adalah anak-anak dari orang kaya yang cukup dimanjakan, jadi beberapa dari mereka mungkin akan terlihat congkak dan sombong.
Tidak semuanya. Kebanyakan dari mereka mungkin adalah laki-laki dan perempuan yang ramah dan baik. Semoga saja.
Begitu aku menyelesaikan sketsanya, aku mengambil hairspray dan menyemprotkan ke gambar tersebut, kemudian mengeringkannya. Aku melirik jam digital untuk pertama kalinya dalam beberapa saat. Jam 02:06 A.M, ternyata sudah sangat larut. Setelah sketsanya telah mengering, aku menempatkan pensil grafit dan buku sketsa di meja rias, dan kemudian aku naik ke tempat tidur. Sepanjang malam aku bermimpi tentang Libra Academy. Tanpa disadari, aku tertidur lelap dan menuju ke mimpi.
***
Aku membutuhkan lebih banyak praktik agar terlihat layak sebagai siswi aristokratik yang berstatus tinggi. Setelah sekitar satu bulan aku menyempurnakan keterampilan etiket ini, Sheila mengajariku cara memakai make-up, dan semua kebutuhan untuk sekolah pun sudah lengkap. Aku mulai belajar sejarah Inggris dan gaya hidup di sana. Kalau untuk bahasa ... tentu saja aku bisa berbicara lancar dalam bahasa Inggris. Rasanya, seperti aku sudah benar-benar siap untuk berangkat ke Libra Academy.
Beberapa bulan berlalu, tapi masih belum ada tanda-tanda jika pemberitahuan lulus dari sekolah akan datang. Setiap menit yang terlewati terasa sangat lama. Bagaimana pun juga, aku menunggu hasil tes itu dengan penuh semangat.
Aku mungkin jenius, tetapi semua soal tes itu membutuhkan waktu yang lumayan untuk menjawabnya. Tapi, setidaknya aku bisa menyelesaikan semuanya. Semua yang tersisa sekarang adalah sebuah surat yang menyatakan apakah aku berhasil masuk ke sekolah atau tidak. Tapi saat hari kembali berlalu, aku mulai gugup sambil terus memandang keluar jendela. Berharap surat akan diantar oleh tukang pos maupun lewat merpati pos. Yah ... zaman sekarang sudah tidak ada lagi merpati pos.
***
Aku mengambil pensil dan buku sketsa dari dalam tas, kemudian aku meletakkan brosur yang menampilkan gambar seragam sekolah Libra. Aku mulai menggambar dari seragam perempuannya. Karena sekolah tersebut adalah salah satu akademi elit yang diperuntukkan untuk orang-orang kaya, seragamnya pun di desain dengan lumayan rumit. Sebenarnya, modelnya simple, tetapi detail-detail di bagian kerah, serta lengannya lah yang membuat rumit.
Tak lama setelah aku selesai menggambar, aku mendengar suara pintu yang dibuka.
"Ariel?" Itu suara Kakakku yang bergema di ruang tamu. "Aku pulang. Apa kamu di rumah?"
"Iyaa!!" Aku menyahuti panggilannya. "Aku ke sana sekarang!"
Dengan cepat aku menyemprotkan gambar tadi dengan hairspray, dan kemudian meletakkannya di tempat tidur agar kering. Setelah itu, aku berbalik dan meluncur dari tempat tidur, dan kemudian pergi menemui Max.
Begitu memasuki ruang tamu, aku melihat Max di meja makan yang sedang memilah surat. Sebenarnya, aku juga ingin memilah surat itu, barangkali saja ada yang datang untukku. Namun, aku mengurungkan kembali niatku.
***