POV Esya
Suasana pemakaman ibuku begitu ramai. Terlihat ada beberapa orang berpakaian eksekutif menyelawat, bersalam-salaman mengucapkan turut berduka cita pada ayahku. Mungkin itu teman-teman kantornya.
Tidak ada yang menghampiriku, karena aku tidak mengenal siapapun. Aku tidak berdiri di samping ayahku. Aku masih mengusap-usap batu nisan tertulis nama ibuku. Menatap batu nisan itu seakan-akan itu adalah wujud terakhir aku bisa melihatnya. Aku tidak menangis. Tidak. Lebih tepatnya aku menahannya.
Kepalaku begitu berisik. Terdengar ocehan dari beberapa orang yang menanyakan dimana aku, si anak pasangan goals Alfaruk Mahjong detektif profesional yang bekerja di kepolisian dan Agitama Mahjong profesor jenius yang beralih profesi menjadi ibu rumah tangga setelah menikah dengan ayahku, ketika karir penelitiannya sedang naik daun.
Tidak ada yang menyadari aku disini, karena hari ini aku mengenakan pakaian serba hitam tertutup. Aku sudah merencanakannya. Agar tidak ada yang mengganggu waktu terakhirku berkomunikasi dengan mendiang ibu.
Rata-rata yang datang ke pemakaman yang diadakan sore ini mayoritas teman-teman kantor ibu dan ayahku. Juga keluarga besar kami. Tidak ada belasungkawa dari teman-teman sekolah. Aku sengaja tidak memberitahu siapapun.
Udara terasa begitu dingin menusuk tulang-tulang sumsumku. Padahal pemakaman baru selesai pada pukul enam sore. Aku belum pulang sedangkan ayahku izin pulang duluan karena sedang ada urusan penting dengan seorang wanita cantik. Kata ayah, itu rekan kerjanya. Aku tidak peduli.
Selanjutnya aku akan hidup bagaimana?
Selama ini aku bersosialisasi atas dorongan ibu.
Aku tidak punya teman ataupun sahabat dekat.
Selama ini aku tidak berpikir jauh. Tidak pernah berpikir kalau ibuku akan pergi secepat ini. Orang yang paling mengerti tentangku. Sejuta rasa yang tidak semua orang dapat memahaminya. Ibuku berbeda. Dia selalu bisa memahami segala tentangku.
Bagiku selama ini ibu adalah teman sekaligus sahabat paling dekat. Hanya ibu. Aku merasa ibu saja sudah sangat cukup. Aku merasa tidak membutuhkan bantuan orang lain. Jadi aku tidak mencoba berteman lebih dekat pada siapapun. Hanya sekedar saling tahu nama saja.
Selama ini aku tidak memusingkan masalah pembullyan yang kerap menimpaku sejak Sekolah Menengah Pertama. Karena aku pemalu juga malas bersosialisasi. Lebih suka menyendiri berkawan dengan kesunyian. Tidak punya teman. Hampir selalu sendiri. Menolak ajakan main. Itulah aku.
Sejak sekolah dasar usai, keceriaanku juga usai. Lebih tepatnya aku punya trauma pertemanan di masa silam. Yang bahkan aku sendiri tidak ingin mengingat ataupun menceritakannya.
Aku menghela napas, mengusap kembali batu nisan ibuku, lalu menciumnya untuk perpisahan terakhir kali. Walaupun terasa berat juga menyesakkan dada, aku tetap harus melanjutkan hidupku yang penuh kesialan ini.
'Aku pulang ya, bu.'
'Aku akan melanjutkan hidupku.'
'Maaf karena ayah sudah pulang duluan. Yang katanya urusan pekerjaan bersama rekan wanitanya lebih penting dari mengenang saat-saat terakhir bersamamu.'
'Ibu jangan sedih ya? Aku akan makan dan hidup dengan baik.'
'Maaf karena aku tidak bisa menepati janji kita. Aku tidak bisa melanjutkan kuliah untuk mencapai cita-citaku.'
'Setelah ini, aku akan bekerja saja.'
'Walaupun ini berat. Aku akan tetap hidup. Mungkin akan sering berkunjung ke tempatmu.'
'Maaf karena aku belum bisa membahagiakanmu.'
' Aku belum bisa jadi anak yang berbakti.'
Aku berjalan pulang dengan tatapan kosong. Seperti rumah bukan tempat pulang yang nyaman lagi. Karena orang yang paling aku rindukan tidak ada. Selamanya tidak akan ada lagi.
Aku sudah lulus SMA. Tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Aku tidak kuliah karena tidak ingin hutang budi pada ayahku. Aku membenci tingkahnya selama ini. Walaupun ibu pernah cerita kalau ayah di masa muda memang pria yang dingin nan kaku. Tapi sekarang dia sudah berkeluarga.
Aku menaruh tanda tanya besar mengapa dia sangat dingin padaku dan ibuku. Tapi sorot matanya menjadi berbinar senang ketika melihat wanita yang dia sebut rekan kerjanya. Seakan-akan dia sudah menunggu momen itu.
Tidakkah itu aneh?
Aku tidak bodoh.
Walaupun ibu tersenyum sederhana ketika menjelaskan tentang ayah, aku tetap bisa melihat sesuatu yang dia sembunyikan. Aku bisa melihat dan merasakan kesakitan batin begitu dalam yang ibuku rasakan. Sorot matanya saat menceritakan ayah, adalah sorot mata yang mengatakan kalau ayah telah banyak menyakitinya selama ini.Mungkin tidak secara fisik. Tapi aku yakin ibu sudah mengungkap rahasia besar tentang ayah.
Hatiku masih sakit. Ingin marah, emosi, kesal, benci, kecewa jadi satu. Di hari terakhirnya, ibu sempat memberitahu sesuatu. Itu tentang permintaan terakhirnya. Saat itu hanya ada aku dan ibu di ruangan ICU.
Aku menatap lemah ibuku yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Suara monitornya masih berbunyi stabil. Aku menghela napas, menggenggam tangan lemah yang sudah dipasang beberapa selang infus. Hatiku sangat perih melihat kondisi ibu yang biasanya sehat wal Afiat mendadak berubah seratus delapan puluh derajat. Kesehatannya ambruk seketika. Terlebih aku tidak tahu menahu ketika ibu pingsan. Tetangga lah yang membawa ibuku kesini.
Sampai sekarang, ibuku belum sadar juga. Ayahku belum pulang, pasti alasan klasiknya adalah lembur kerja. Entah mengapa, bukannya suudzon, tapi aku merasa ayah berbohong selama ini.
Akan tetapi walaupun aku mengalami kesedihan yang amat dalam, air mataku tidak sembarang keluar begitu saja seperti orang normal. Embun bening itu akan mengalir deras ketika aku menaruh wadah besar tepat di bawah daguku. Aku baru sadar kalau aku berbeda dari anak normal lainnya.
Waktu usiaku baru tujuh tahun, aku merasakan sakit yang begitu dalam. Aku menangis sesenggukan di hadapan ibu tepat saat baru sampai di dalam rumah. Tapi yang anehnya, aku tidak mengeluarkan setitik air mata sedikitpun. Padahal aku menangis begitu kencang. Hanya tentang masalah perdebatan kecil di sekolah yang membuat hatiku sakit. Aku memang mudah menangis.
Saat itu ibu tersenyum dan segera menaruh wadah di bawah daguku. Dan tiba-tiba saja embun bening, air mataku itu mengalir begitu deras, sampai-sampai mataku memerah, rasanya perih sekali.
Ibu bilang mulai sekarang, ketika aku mau menangis lega, aku harus berlaku seperti tadi yang dia contohkan. Tapi dengan syarat di ruangan tertutup. Tidak boleh ada yang melihatnya kecuali ibu dan aku sendiri. Bahkan ayah tidak boleh tahu. Karena itu rahasia besar yang suatu saat aku akan mengetahui kebenarannya.
Ibu memilih bermain rahasia-rahasiaan denganku. Aku tidak masalah. Awalnya aku menganggap itu sebagai lelucon belaka. Tapi ketika aku ingin menangis, pasti hal itu akan kulakukan.
Dan hal itu masih kulakukan sampai sekarang. Di usiaku yang hampir menginjak tujuh belas tahun. Ujian akhir sekolah untuk kelulusan SMA ku sudah selesai. Besok adalah jadwal pengambilan ijazah di sekolah. Tapi aku tak yakin besok bisa mengambilnya. Karena aku ingin mengambilnya bersama ibu ketika dia sudah jauh lebih sehat. Setidaknya aku ingin menunjukkan nilai kebanggaanku. Aku berhasil meraih tiga besar seantero sekolah. Aku sudah cukup bersyukur. Lagi pula aku bukan orang jenius. Itu sudah sangat cukup untukku.
Di dalam ruangan ICU itu, ibu akan menceritakan segalanya.
Di hari terakhir hidupnya, sebelum dia benar-benar pergi.
"Nak?" Suara itu terdengar lirih dan pelan sekali. Jari-jari ibuku mulai bergerak. Aku yang ternyata malah ketiduran itu tersentak.
"Ibu? Ibu mana yang sakit? Aku bisa memijat ibu! uhuhu ...," lirihku yang mulai menangis sesenggukan. Ibu hanya menatap sayu, tersenyum lemah.