Akhirnya, jam makan siang tiba juga. Esya menggeliat, dia merentangkan kedua tangannya kuat-kuat, dan menghela napas seakan-akan habis mengerjakan pekerjaan yang amat berat.
Pekerja kantoran, dulu, Esya berpikir kalau jadi orang kantoran itu enak, hanya duduk manis, kerjanya hanya ngetik-ngetik, gaji terjamin, pakaian bagus, hidup terjamin. Ah, ternyata dunia kerja sesungguhnya tidak seindah yang dia bayangkan.
Saat langkah kakinya baru hendak keluar dari kantor megah itu, Esya dikagetkan oleh Bu Hana yang tiba-tiba menghadangnya di depan pintu kantor. Sepertinya wanita itu habis selesai makan siang. Sudut bibirnya tampak memerah karena sambal yang belum di bersihkan dengan baik.
"A-ada apa, ya, Bu?" tanya Esya dengan hati-hati, wanita itu menundukkan pandangan, takut-takut kalau Bu Hana akan memarahinya seperti kemarin.
"Kerja kamu sudah selesai? Coba saya cek!" tegasnya, tatapan Bu Hana, tatapan itu seperti merendahkan Esya. Sepertinya, karyawan baru dimata Bu Hana benar-benar tak berguna bak sampah.
"Sudah, Bu. Sekarang, 'kan jam makan siang—" Dia hampir saja ceroboh, mengatakan sesuai isi hatinya. Lagi dan lagi, Esya benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya!
Untung saja, pak Zidane datang. Entah ada angin apa, direktur utama yang terkenal arogan dan susah didekati itu malah terang-terangan mengajak karyawan baru itu makan siang bersama. Bu Hana tampak kebingungan melihat tingkah atasannya itu. "Pak? Saya boleh ikut—" ucapan wanita tua itu segera dipotong.
"Siapa yang menyuruh kamu ikut, hah?!" ucapnya setengah membentak, tatapanya tetap tajam, lelaki itu benar-benar diberkati aura menakutkan.
"Ayo, Sya!" ajak Zidane, dirampasnya tangan mungil Esya, yang diperlakukan semena-mena tidak bisa melawan barang sedikit pun. Tentu saja, ancamannya adalah kehilangan pekerjaan alias dipecat.
Langkahnya begitu cepat, Esya tidak mampu mengikuti kecepatan langkah itu. Jadi, sekarang wanita itu lebih terlihat diseret daripada di tarik untuk jalan bersama. Tidak ada rangkulan mesra, sepertinya Zidane benar-benar bersuasana tidak bagus hari ini.
"Pak, maaf hosh," ucap Esya disela-sela napasnya yang tersengal-sengal akibat ulah Direktur utama itu.
Esya ragu untuk melanjutkan lontaran perkataannya. Takut kalau suasana hati Zidane semakin tidak bagus. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap diam saja.
"Santai, Sya," ucap Zidane seraya memberhentikan langkahnya. Esya membungkuk lesu, dipegangnya dengkul yang rasanya hampir copot itu. Atasannya itu membawa dia pergi lumayan jauh dari posisi kantor.
Zidane terkekeh malu, dielapnya peluh-peluh keringat Esya. "Kamu masih sama saja seperti dulu, ya," ucapnya sembari terkekeh pelan. Senyum itu mengembang lagi, senyuman yang sepertinya tak pernah diperlihatkan pada karyawannya.
Esya termangu, dia menatap bos besarnya terheran-heran. Selalu saja begini, sifat Zidane ketika bersama Esya, seperti bukan dia. Itu terasa seperti lelaki lain dalam wujud Zidane.
'Pak Zidane, kenapa selalu bertingkah begini, ya?'
'Dia begitu aneh. Perilakunya aneh …'
"Yuk, makan!" perintahnya, kembali ditarik tangan wanita itu. Sekarang, mereka duduk di meja nomor 9 di restoran sederhana. Pak Zidane terlihat akrab dengan pemilik restoran. Sedangkan, Esya terlihat melamun sejak masuk restoran ini.
"Sya, silakan pesan!" perintahnya, sembari menyodorkan sebuah menu pesanan yang terlihat menggugah selera.
"Ada yang mau bapak omongin? Saya bawa bekal pak hari ini, dan seterusnya," ucap Esya wanita itu beranjak berdiri, tapi, gerakannya itu tercegah oleh pemilik restoran.
Pria tampan berambut cokelat itu tersenyum ramah, "Jangan membuat Zidane marah. Ayo duduk kembali. Kamu adalah wanita pertama yang diajaknya kesini, lho," ucapannya membuat Esya duduk kembali.
Wanita itu tidak mungkin berani berbuat lebih, walaupun sifatnya dingin dan cuek juga sulit di atur, tapi biar bagaimana pun dia tidak mau kehilangan pekerjaannya ini. Itu adalah resiko yang sangat harus dipertimbangkan.
Esya tersenyum getir, sekarang dia mulai memainkan jari-jarinya, mengetuk-ngetuk meja makan sehingga menimbulkan sedikit suara yang menganggu pendengaran Zidane. "Sya, kamu bisa diam?" Suara itu sangat lembut. Esya terpaku, mereka bersitatap sebentar sampai hidangan sudah tersedia di depan mata.
"Dan, ini pacarmu? Udah lama ya semenjak kejadian itu, kamu menjomblo—" seperti biasa, pemilik restoran itu adalah karib dekat Zidane, jadi pria itu terbiasa berceloteh segala hal yang menjadi unek-uneknya sejak dari tadi mereka tiba.
"Jangan merusak acaraku!" ketus direktur utama itu, tatapan matanya sengit, begitu menusuk siapapun yang bersitatap dengannya. Esya menelan salivanya.
'Harus bagaimana nih?'
'Kata mendiang ibu, kalau situasi memanas, salah satu dari mereka harus bisa mencairkannya.'
'Tapi kan, aku nggak terbiasa basa basi nyeleneh kayak gitu!'
Rupanya pemilik restoran yang bernama Hendrick itu sadar kalau Esya mengeluarkan aura ketakutan. Pria itu menoleh, tersenyum manis. "Kita nggak bertengkar, kok! Ini sudah biasa. Iya, 'kan?" Dia memegang bahu Zidane, mereka bersitatap lagi. Tapi, Zidane segera memalingkan wajah.
"Ah, oke-oke. Aku nggak akan ganggu kencanmu, tapi nanti ceritakan, ya?" Pria itu bergegas pergi, sebelumnya dia mengelap telapak tangannya di celemeknya itu.
Zidane tidak menjawab, sepertinya dia tidak suka ada orang lain yang ikut campur dengan masalahnya. Direktur utama itu terlihat menahan api-api emosi yang berkoar di hatinya.
"Pak, sebaiknya kita cepat makan, karena lima belas menit lagi istirahat saya habis," ucap Esya tanpa menatap Zidane.
Terdengar hembusan napasnya, sesaat setelahnya, Esya menatap wajah tampan nan killer direkturnya itu.
"Saya sudah, kamu yang belum. Kalau saja kamu tidak bertele—" ucapannya terputus karena tiba-tiba saja karyawan yang ditaksirnya itu menghabiskan hidangan dalam beberapa suapan saja.
Mata Zidane membelak, "Hah? Gila, ya?! Bagaimana kalau kamu—" tiba-tiba Zidane menutup mulutnya rapat-rapat. Sepertinya barusan dia kehilangan kendali.
'Ah, memalukan!'
'Bagaimana bisa kamu bertingkah seperti 5 tahun lalu, Zidane?!'
'Bodoh! Berlakulah seperti pria dingin!'
"Pak? Anda baik-baik saja?" Esya mengelap sudut bibirnya yang celemotan akibat tingkah brutalnya. Entah ada angin apa, tiba-tiba saja tangannya memegang tangan nganggur Zidane.
"Jangan sentuh!" Ucap Zidane sembari menarik tangannya, karena teriakannya cukup keras, orang-orang disekitar mereka jadi terkaget dan sontak melempar pandangan sinis pada dua sejoli itu.
Pemilik restoran tertawa kecil, saat melewati mereka, dia sempat menggumam, "Dasar. Traumanya belum hilang, ya?"
"Pak, ada baiknya sekarang kita bergegas ke kantor," ucap Esya yang tengah beranjak berdiri.
"Nanti saya bisa kena omel Bu Hana, Pak. Maaf, saya duluan," ucapnya dengan raut wajah cemas, akhirnya Esya benar-benar pergi.
"Aish! Ah! Aaahhh!!!" pekik Zidane menghantam tembok restoran itu, dia sepertinya terlihat kecewa karena Esya tidak bisa menikmati hidangan dengan baik. Ini adalah kencan terselubung makan siang. Tapi, penyakit Zidane yang kumat-kumatan itu malah mengacaukan rencananya.
"Hey, sabarlah. Kalau kau mau aku bantu, aku siap!" Tiba-tiba saja Hendrick sudah duduk didepannya. Pria itu tersenyum ramah, benar-benar tipe periang. Sangat berbeda dari Zidane yang bertingkah labil. Dia baik ketika berdua dengan Esya, namun sangat arogan dan memperlihatkan bahwa dia tidak tertarik pada satu pun wanita ketika di depan banyak orang.
"Rubahlah sifatmu, Zidane. Pria harus punya jati diri yang jelas. Aku sudah perhatikan kalian sejak kemarin. Sifatmu tidak benar. Wanita itu pasti bingung menghadapimu," sepertinya Hendrick sangat cocok jadi penasehat pria arogan itu.
Zidane memijat pelipisnya, lalu menghela napas. "Saya harus bagaimana? Apa katamu? Sifat saya labil? Dari mananya?! Jangan bercanda! Saya memang pria dingin, kok! Dan tidak tertarik wanita!" Kali ini sepertinya Zidane telah meluapkan sedikit emosi hatinya.
"Tidak tertarik wanita? Hah … Jangan berbohong! Barusan, kau mengajak wanita kesini, apa namanya kalau kau tidak tertarik?! Apa orang bakal menyangka itu adikmu? Sayang sekali wajah kalian tidak mirip! Sadarlah, Zidane!" Hendrick berusaha menyadarkan sahabatnya itu, tapi memang sulit untuk merubah watak Zidane yang selalu mau menang sendiri. Pria itu benar-benar butuh wanita untuk mengobati traumanya, tapi, dia tidak pernah berubah, Zidane terus merasa kalau wanita hanyalah pengganggu dan sampah dimatanya.