Setelah pulang dari kerja tepat keseminggu dia bekerja, mulai terdengar keluh kesah dari mulutnya. Wanita itu berjalan lesu dengan wajah ditekuk.
'Gue capek banget.'
'Kayaknya, hidup di dunia ini nggak enak banget, ya?'
'Disaat Lo insecure tapi lo harus bungkam, berteriak dalam batin sendiri tanpa ada yang tahu.'
Dia menggeleng lemah, menghela napas keluhnya di tengah malam.
'Kehidupan setelah SMA.'
'Gak ada yang baik-baik aja saat proses pendewasaan menghampiri anak bawang kayak Gue.'
'Kira-kira Anugerah gimana, ya?'
'Dia kerja dimana?'
Buru-buru dia menempis pikirannya sebelum berkelana semakin jauh menyelami ke–ingin–tahu–annya tentang lelaki yang sempat mengisi hati dingin seorang Esya.
"Apaan, sih? Ngapain juga lo mikirin dia yang jelas-jelas nggak mikirin lo(?)" Esya menggeleng pelan, menghembuskan napas sesak dalam dadanya.
Tak dapat menyangkal perasaan itu masih bergelayut manja membentuk sebuah sarang jauh di lubuk hatinya. Wanita itu selalu menyangkalnya–berharap agar hatinya mau memahami keinginan otaknya yang tidak singkron.
"Seganteng apa, pria itu? Hah?"
"Yagi …."
Esya terpelongo menatap lelaki yang pakaiannya sudah berubah lagi.
"Lo bisa keluar rumah juga?"
Seperti ngelindur, Esya tak dapat mempercayai sebuah kenyataan bahwa di hadapannya ini betul-betul Yagi.
Dan, seperti biasa–senyum indah itu selalu melengkung sempurna–membuat Esya jatuh kembali. Jatuh hati sedalam-dalamnya pada sosok makhluk asing itu.
"Kamu yang manggil saya."
"Hah?"
Esya terpelongo kembali setelah mendengar hal itu. Dia semakin tak mengerti dengan semua ini.
Dia pasti butuh penjelasan Yagi. Sangat butuh.
"Sabar, Ca," Yagi terkekeh melihat ekspresi langka yang menurutnya sangat lucu.
Esya tak bisa menahan gejolak penasaran pada semua teka-teki yang kian menghampirinya.
Namun tiba-tiba …
"Ca? Kamu ngapain berdiri disitu?"
Terlihat Yagi yang sedang mengobrol dengan seorang wanita cantik yang melirik sinis ke arahnya sebelum benar-benar pamit pada lelaki itu. Keliatannya wanita itu kesal pada Esya.
"H-hah?" Esya tak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Dia merasa semakin aneh dengan semua ini.
"Kamu sejak kapan disitu?"
Entah kenapa, tiba-tiba saja perasaannya berganti jadi sangat sedih. Sampai-sampai Esya menitikkan air mata. Dan langkahnya menghindari Yagi.
"J-jangan mendekat!" Esya terlihat gemetaran saat Yagi mendekatinya.
"Kenapa, Ca? Bukankah kamu yang memanggil saya?"
DEG!!!
Kalimat itu seperti dejavu baginya. Memorinya kembali berkelana pada kejadian pertama. Tapi sekarang situasinya sudah berubah lagi.
"Ca! Hey!!! Kamu, kamu kenapa sih??"
Saat ini, dia sudah berada di dalam kamarnya. Perasaannya semakin bingung. Gundah, sangat tidak enak. Suasana hatinya seperti berkata sesuatu yang lain, sangat berbeda dari otaknya. Itu membuatnya tak bisa tidur semalaman.
===============================
"Aish!" Esya mendengus kesal, memegang lutut akibat keram hebat yang ia rasakan karena berlari jauh selama tiga jam.
"Bagus, telat lagi!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang begitu familiar.
DEG!!!
"Anak baru kayak kamu itu, benar-benar menyusahkan pekerja lama seperti saya!" Terlihat sorot mata tak suka dari kedua mata bereyeleiner itu.
"Maaf, sangat maaf!" Esya membungkuk penuh hormat. Tak berani menatap atasannya, wajahnya terus ditekuk.
"Masuk, Sya!"
"Bekerjalah yang giat! Hari ini kau hanya telat lima menit. Saya ampuni!"
Tiba-tiba saja suara Zidane terngiang-ngiang di kepala Esya. Tapi, dia segera menepisnya. Karena menurutnya itu hanya ilusi permainan otaknya saja.
"Kamu dengar tidak?!"
Suara itu kembali menggema. Tiba-tiba perasaannya berkata kalau itu benar-benar suara Zidane sekarang. Dari sudut matanya, dia tengah berdiri di depan Esya. Posisinya lebih depan daripada Bu Hana.
"Tapi ini dikunci, pak,"lirih Esya, menatap Zidane penuh ketakutan.
"Cih! Drama amat!" Bu Hana segera pergi dari hadapan mereka. Langkah high heels–nya seperti menyiratkan suara batinnya yang tersakiti. Memang, Bu Hana sudah sejak lama menyukai Zidane.
Setelah Zidane membukakan pintu untuk Esya, dia segera menarik Esya ke halaman belakang. Tentu saja, yang ditarik menatap bosnya itu dengan tatapan penuh keheranan.
"M-maaf, pak?" Esya berusaha melepaskan genggaman tangan Zidane yang menarik tangannya dengan paksa secara sepihak.
"Ah, nggak! Maaf! Silakan bekerja!" Zidane melepas kasar genggaman tangan mereka. Lalu berlalu meninggalkan wanita itu seorang diri.
"Silakan bekerja! Semangatlah!" Itu adalah ucapan terakhirnya, Esya tak pernah mendengar penuturan kata sebaik itu. Maksudnya, Zidane tampak berbeda hari ini. Ah, bukan perilakunya, tapi perkataannya. Esya tidak mau ambil pusing. Dia bergegas masuk ke dalam kantor.
Tapi, sepertinya hari ini pun dunia kerja tak berpihak padanya, baru saja masuk ke dalam kantor, semua karyawan menatapnya dengan tatapan sinis tak suka. Mereka semua seperti sedang menelanjangi Esya dengan satu kesalahan kecil. Yaitu terlambat.
Semuanya berbisik-bisik menatap sinis pada wanita cantik yang masih remaja itu. Karena usianya terbilang sangat muda.
"Ayo, ikut saya! Ada kerjaan dari bos Zidane!" Segera ditarik lengan wanita itu, dan Bu Hana segera menyeretnya ke dalam gudang yang sangat kotor. Banyak debu beterbangan disana. Sepertinya penyakit asma Esya akan kumat hari ini.
"Nah. Bagus. Ruangan ini sangat–kotor. Tepat sekali untuk manusia tak tahu diri sepertimu! Sekarang, cepat kerjakan! Ini hukuman akibat kamu melanggar aturan utama kantor ini! Syukur sekali setiap kamu telat, bos Zidane tidak memecatmu! Besok kamu telat, saya akan ajukan pemecatan pada bos Zidane! Camkan itu!"
Esya tak menggubris ucapan wanita berumur itu. Karena dia sudah tahu sedikit banyaknya rumor dari karyawan-karyawan yang sudah lama disini. Bu Hana memang sensi seperti itu.
Maklum saja karena dia perawan tua yang bersedia menolak seribu bahkan ratusan ribu pria hanya karena terobsesi pada ketampanan pak Zidane. Tapi Pak Zidane tidak pernah menerimanya sekalipun. Benar-benar wanita yang keras kepala. Tapi, faktanya keras hati juga.
Kembali dikerjakannya dengan ikhlas gudang itu. Dia tak punya sehelai kain untuk menutupi separuh wajahnya.
Bu Hena yang melihat hal itu segera kembali mengoceh. " Esya! Jangan sok jijik begitu! Terima saja hukumannya!"
Berkali-kali Esya mengelus dadanya, dia harus bertoleransi dengan sikap Bu Hana yang akan begitu setiap hari ketika dia terlambat. Tak dapat menerima alasan apapun, itulah jahatnya dunia yang sesungguhnya. Setiap individu dipaksa untuk disiplin dan teratur menjalankan aturan yang ada.
Tes
Seketika air matanya tumpah, suasana hatinya mendadak suram. Esya sendiri juga tidak tahu kenapa dia mudah sekali menangis. Padahal kemarin-kemarin tak ada keanehan yang terjadi pada dirinya.
"Ca, semangat! Kamu pasti bisa! Hana ular itu memang egois dan berlidah pisau! Kamu harus bisa melewatinya, ya!"
Ucapan Yagi seketika terngiang-ngiang di telinganya. Seperti Yagi benar-benar ada di sisinya. Tapi, itu hanyalah ilusi otaknya belaka. Lagi dan lagi, Yagi tak ada di sini. Esya hanya berhalusinasi.
Akan tetapi …, sebenarnya, sosok Yagi memang benar-benar ada disana. Tapi tampilannya memang berbeda dari Yagi yang kemarin ada di kamarnya. Dan, kenyatannya Esya tak bisa melihat makhluk yang mirip Yagi itu. Miris. Jadi wanita itu tetap menyangka bahwa yang tadi hanya halusinasi belaka.