Chereads / Tears Addict / Chapter 16 - Kencan yang gagal

Chapter 16 - Kencan yang gagal

"Ca! Jangan ikuti! Dia Yagi palsu!"

Tiba-tiba saja, wanita itu terbangun dari mimpinya. Keringat mengalir deras di sekujur tubuhnya. Deru napasnya memburu. Dan belum sampai disitu ….

"Sya …"

Tiba-tiba Esya melirik ke asal suara itu. Tapi, wanita itu tak melihat siapapun disana. Asal suaranya berasal dari sudut kamarnya.

"Siapa?"

Tak ada jawaban. Suasana mendadak sunyi. "Hai?"

Sekarang, suasana hati Esya mulai membaik. "Ca,"

Dia tersentak saat melihat Yagi tiba-tiba ada di hadapannya.

"Kenapa?" Dahi lelaki itu mengerut, dia mencoba mengambil tangan Esya. Untuk mengembalikan kepercayaannya. Perlahan-lahan fokus menatap mata wanita itu. Tapi sayangnya Esya yang sudah terlanjur tak percaya itu menunduk dan beranjak pergi.

"Tunggu! Kamu kenapa, Ca?"

Sesaat langkahnya terhenti, tapi kemudian terus melangkah lagi. "Lebih baik kamu pergi. Jangan muncul lagi."

Dan Esya benar-benar sudah tak ada disini. Yang tersisa hanyalah Yagi yang terdiam, merenung.

'Bagaimana caranya mengembalikan kepercayaannya?'

Dan kemudian dia menghilang, lenyap.

======================

Terlihat Esya yang sedang membasuh wajahnya. Dia terus berpikir keras tentang apa-apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.

"Capek banget—"

Tiba-tiba alarm kamarnya berbunyi. Itu adalah alarm yang sudah di setel setiap pagi, untuk melakukan jadwal yang wajib dilakukannya.

"Hiks …, haaaahhh …,"dia meneteskan air mata. Dari kemarin, kualitas tidurnya tak menentu. Mungkin saja penyakit stress telah melandanya.

Dan tiba-tiba suatu hal terjadi, hal yang tak pernah dia bayangkan.

DRITTT!!! DRITT!!!!

"Halo?" Sapa Esya, ibu jarinya mengusap pelipis mata sisa air mata.

"Heh budak! Besok kesini! Ada kerjaan buat kamu! Jangan santai-santai terus! Ingat, itu rumah ayahmu! Bukan peninggalan ibu kolotmu!" Terdengar makian dari suara perempuan berumur di sebrang sana.

"Brengsek! Dari tadi aku sudah menahan—" Dia tak dapat menahannya lagi. Jika yang dihina hanya dia, itu tak masalah. Namun, tidak untuk orang yang paling dicintainya.

"Sya. Bisakah kamu!!!!!" Matanya membulat dan tangannya menutup mulutnya yang menganga. Dia tak tau kalau disana ada raja jahanam itu.

"Iya, ayah. Maafkan saya. Saya pasti datang besok. Selamat malam." Esya mematikan teleponnya secara sepihak. Dadanya mulai nyeri lagi. Dia tak sanggup hidup dengan cacian seperti ini.

"Uhuhu … ibu …!" Esya memeluk makam mendiang ibunya. Dia terlihat begitu nyaman disitu. Menangis tersedu-sedu sampai terik matahari membangunkannnya. Beruntungnya, hari ini adalah hari libur.

Ditengah-tengah dirinya yang baru mengerjakan mata, tiba-tiba dia melihat seorang pria yang terus menatapnya tanpa melakukan apapun.

"Ah! Pak direktur !" Dia tersentak menarik dirinya. Lalu berdiri. Kepalanya masih pusing karena insiden semalam. Dia segera menunduk.

'Gak sopan banget, Sya! Bisa-bisanya kamu tampil berantakan begini di hadapan Pak Direktur?! Gila ….'

"Maaf pak, saya pulang dulu. Permisi—" Baru saja wanita itu mengambil gerakan untuk balik kanan dan lari secepat mungkin. Tapi tangannya buru-buru ditarik kencang oleh direkturnya. Itu membuat wanita itu terjatuh dalam pelukan Zidane.

Untuk beberapa detik, mereka bersitatap. Lalu Zidane buru-buru melepaskan sentuhannya. "Maaf! Y-ya! Silakan pulang!" Katanya memalingkan wajah. Laki-laki itu sangat malu.

"Baik. Terimakasih, Pak!" Sekilas ditatap atasannya itu, lalu dia segera melangkah cepat-cepat. Baru saja beberapa langkah dia menjauh.

"Esya! Saya tunggu kamu dirumah, ya!" Teriak Zidane masih dengan wajah memerah. Dia terus menyangkal perasannya. Semua itu tentang harga dirinya yang terlalu tinggi. Seketika itu Esya sudah tak ada dalam jangkauannya lagi.

"Jalannya cepat banget. Padahal saya mau nawarin naik mobil aj—"

"Bicara apa, Zidane?! Mana mungkin Esya mau dengan lelaki aneh seperti dirimu?! Gila … saya pasti sudah gila, deh …" Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Lalu cepat-cepat masuk ke dalam mobil.

"Ini semua karenanya! Coba saja saya tidak mengikuti sarannya, pasti semua ini takkan terjadi! Ah … tadi … apa-apaan—"

CKIT!!!

Dia hampir saja menabrak seorang anak kecil yang bermain sembarangan. Zidane menghela napas. Memilih diam, tak berbicara sendiri lagi. Dia tampak seperti orang stress.

"Sya? Ayo," ajaknya seraya mencoba meraih tangan wanita itu. Tapi sayangnya Esya yang berjalan lumayan cepat sudah berjarak lumayan jauh. Saat kesalahan pahaman itu terjadi, mereka hanya saling tukar pandangan kikuk.

"Ah …." Terlihat jelas raut wajah Zidane yang murung. Dia membawa mobilnya ke dalam sebuah pekarangan sederhana. Esya tak tahu itu tempat apa. Sebab, selama hidupnya, dia tak pernah ke tempat seperti ini.

"Tempat apa ini, Pak?" Tanyanya sembari melirik-lirik tempat tersebut.

"Saung. Tempat favorit saya. Jangan bilang siapapun. Hanya kamu yang tahu." Kali ini Zidane berbicara dengan nada yang datar. Itu sangat jarang didengar oleh Esya. Karena memang sifat Zidane yang kurang bagus, terkenal dengan sebutan 'bos dingin', 'bos kaku', 'bos otoriter'. Begitulah rumor yang beredar.

"Ah …" Esya langsung ambil posisi tempat duduk ternyamannya. Dia tampak sangat gembira. Mungkin karena ini pertama kalinya untuknya.

Zidane yang senang tetap bersikukuh menunjukkan ekspresi datar. Dia tak tersenyum sedikitpun. Esya yang melihat itu hanya bisa memandangnya penuh gurau. Entah kenapa, malam ini sepertinya wanita itu lupa kalau mereka adalah sepasang bos dan atasan.

"Mana pekerjaannya?" Dari cara bicaranya, Esya seperti ingin menyesuaikan dengan Zidane. Ingin bersantai-santai sedikit dari bosnya yang terlalu otoriter. Tapi sayangnya ….

"Bisakah Anda bersikap profesional? Jangan memandang saya seperti itu! Tak sopan!" Kata Zidane yang membuang muka saat mengatakan hal menyakitkan itu.

"Maaf, Pak. Baik, saya akan merubahnya." Kata Esya dengan suara parau.

Setelah itu, tak ada yang berbicara lagi. Mereka diam-diaman selama kurang lebih tiga puluh menit.

"Sudah selesai, Pak. Terimakasih. Saya izin pulang—" Baru saja dia beranjak berdiri, tapi lagi-lagi Zidane menahannya.

"Jangan dulu! Saya sudah pesankan makanan untukmu! Bagaimana kalau itu basi?" Kata Zidane dengan polosnya. Wanita itu tak mengerti dengan ucapannya.

"Apanya yang basi, Pak?" Dahi Esya mengerut.

"Saya sudah pesankan buat anda juga. Jadi tolong makan dulu." ucapnya dengan suara pelan. Kali ini lebih terdengar lembut. Wanita itu sedikit menyukainya.

"Oke." Dia duduk lagi.

"Ah, Zidane. Harusnya kamu nggak kayak gitu …." Gumamnya mengusap wajahnya dengan kasar.

"Gitu gimana, pak?" Kata Esya yang ternyata mendengar omongannya.

"Nggak! Lupakan! Jika saya tidak bicara lantang, sebaiknya Anda diam saja!" Perintahnya dengan tatapan tajam tak suka.

"I-iya, pak. Maaf …."

Dan, hari itu Zidane tak menjalankan rencananya sesuai apa yang direncanakannya kemarin. Tak ada kencan, wanita itu pasti merasa ini hanyalah sebatas pekerjaan lembur yang harus dibahas diluar jam kantor. Tak kurang tak lebih.

Zidane mendengus meredam emosinya. Ditatapnya langit-langit kamarnya. Di ambilnya handphonenya, dia mencoba menelpon seseorang.

"Halo?"

"Saya ada pekerjaan untuk kamu. Cepatlah kesini." Laki-laki itu semakin mengupayakan cara-cara diluar nalar. Benar-benar ciri khas Zidane.