"Diam! Jangan berlagak paling tahu, deh!" bentak Esya dengan kilatan mata tajam. Kini samar-samar terdengar suara percekcokan kedua orang tuanya yang membuat Esya tersentak.
"Diam, Mas! Kamu jangan nuduh aku sembarangan!"
"Yang selingkuh itu kamu, jalang!"
"Stop! Jangan panggil aku dengan sebutan itu!!!"
"Aku bakalan ceraikan kamu sekarang juga!"
"Jangan!!! Kumohon jangan!!! Kasian Esya …."
BRAK!!!
Dia bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, untuk pertama kalinya, ayah yang dikira sangat mencintai ibunya, ternyata bisa sampai hati memukul istrinya itu. Sebenarnya Esya sendiri juga tidak tahu siapa yang bersalah disini. Seingatnya dia tidak pernah mendengar dialog ini sejak kecil.
Dilirik sinis wanita gaun hitam itu, dia berjalan mendekat padanya yang tengah duduk elegan.
"Keparat!!! Pasti ini bohong, 'kan?! Gak mungkin keluargaku seperti itu!!" teriak histeris Esya seraya menjambak rambut cantik yang telah ditata rapi. Membuat sang wanita gaun hitam berteriak kesakitan.
"Gila! Dasar orang gila! Kukira kita bisa kerjasama! Membatu saja kau di sini!" hina wanita bergaun Hitam yang samar-samar hilang.
Hatinya sangat sakit, terasa sesak yang mendalam seolah menyempitkan kelapangan dadanya.
"Ibu … jadi selama ini, kebahagiaan yang Esya lihat, itu semua hanya bohong?" lirihnya seraya berurai air msta. Bibir dan tangannya bergetar menahan emosi yang meluap. Sebenarnya dia tidak mau menyakini apa yang dilihatnya barusan. Tapi itu semua terasa masuk akal mengingat ada bekas luka di tangan lemah ibunya saat masih koma di ruang ICU.
"Sekarang aku harus bagaimana, Bu? Haruskah kubalaskan dendam ibu? Tapi, apa iya ibu memintaku jadi anak yang seperti itu?" tanya Esya seorang diri dalam ruangan gelap yang sunyi itu.
Otaknya tidak dapat berpikir jernih lagi. Dia semakin menyesal karena mengetahui kebenarannya setelah ibunya sudah pergi untuk selama-lamanya.
"Ibu, harusnya mungkin tidak menikah dengan lelaki biadab itu! Bagaimana bisa dia masih bisa tersenyum tulus hidup berdampingan dengan lelaki keparat itu? Gimana cara dia menyembunyikan semuanya? Bukankah ini terlalu rapi?" Dengkulnya melemas, dia terduduk sendirian di sini dengan pikiran yang berkelana jauh.
"Yagi! Yagi! Unghuhuhuh, di mana lo? Tolong pulangin gue!" pintanya berteriak histeris. Sekarang dia merasa ada banyak mata yang menatapnya. Ruangan gelap ini terasa semakin sempit, seperti ada banyak orang disini. Esya mulai kehilangan kesadarannya. Dia pingsan.
***
"Ca, bangun, Ca!" ucap Yagi yang sedari tadi panik mengguncang-guncang tubuh wanita itu. Terik matahari membangunkan wanita itu. Samar-samar dia dapat melihat bayangan Yagi yang panik bukan main.
"Yagi!" Esya langsung memeluk lelaki itu. Kali ini suhu tubuhnya terasa hangat. Yagi memang sudah berkembang lebih baik. Dia bisa memanfaatkan energinya untuk membuat tubuhnya menjadi nyata dalam beberapa saat.
Terlihat wanita itu kolokan bukan main, sepertinya dia sudah menganggap Yagi adalah orang yang penting untuknya. Mungkin bisa dianggap sosok pelindung untuknya.
"Yagi, hiks … jangan tinggalin gue lagi, dong! Hiks …," lirihnya dalam pelukan lelaki itu.
"Sudah kubilang, kamu akan jatuh dalam pelukanku!" Suara Yagi berubah, suara itu bukannya terdengar tidak familiar bagi Esya. Namun wanita itu mengingat dengan jelas kenangan buruk ketika dia hampir dilecehkan oleh Yagi palsu.
DEG!
Wanita itu segera melepaskan pelukan itu. Bergerak menjauh dari Yagi yang samar-samar berubah menjadi seseorang berpakaian bak pangeran dari sebuah kerajaan. Mahkota yang bertengger di atas kepalanya membuat Esya semakin yakin kalau dia adalah seorang pangeran.
"Siapa kamu! Pergi! Kubilang pergi sekarang!" Nada suara Esya bergetar ketika melihat penampakan yang dejavu baginya.
Alih-alih pergi, laki-laki itu malah berjalan mendekat ke arahnya seraya tersenyum. Tiba-tiba ditangannya muncul sebilah pedang tajam yang sepertinya akan digunakan untuk menyakiti seseorang.
"Kuberi dua pilihan. Jawablah dengan cepat! Mau 'berhubungan' denganku, atau masih tetap keras kepala seperti pertemuan kemarin?!" Pertanyaan yang dilontarkan lebih terdengar seperti sebuah paksaan. Ditangannya ada sebilah pedang, 'kan?
Esya menatap ngeri pada lelaki itu. Sesaat dia menelan salivanya. "Yagi! Yagi!! Yagi!!!" teriaknya histeris berharap ada secercah harapan dari kedua pilihan biadab itu.
Melihat Esya melakukan tindakan bodoh, lelaki itu mengasah pedangnya pada batu purba yang ada di sana.
"Menyerahlah, gadis kecil. Kau cantik, seharusnya umurmu masih panjang. Pilihlah aku daripada si bangsat Yagi. Tak ada yang bisa masuk dalam dimensi yang kubuat. Ayolah cepat pilih!" desaknya berjalan semakin mendekat ke arah Esya yang melangkah mundur perlahan-lahan.
Terlihat tangannya bergetar, sorot matanya yang rapuh seolah meminta pengampunan dari pangeran iblis di hadapannya itu.
"Siapa pun, tolonglah aku. Aku janji akan membalas kebaikanmu!!!" Esya membatin dengan insting menutup mata. Wanita itu tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dari kecil, Esya selalu berperilaku begitu jika dihadapkan suatu masalah. Keajaiban pasti terjadi.
Terdengar kepakan sayap dan beberapa bulu rontok yang menggelitiknya. Seseorang mendekap tubuh mungil Esya. Dia sudah pasrah. Apakah itu pangeran iblis yang akan melakukan hal tak senonoh dengannya, atau seseorang yang menyelamatkannya. Dia memilih untuk tetap menutup mata.
"Takut … tapi sepertinya saat turun dari pelukan pria itu, rasanya tubuhku tidak disentuh lagi? Apa memang aku sudah selesai 'dipakai' ?" tanyanya dalam batin.
"Lain kali, hati-hati. Saya tahu, Yagi lelaki yang baik bagimu. Tapi musuhmu tidak hanya satu. Banyak yang mengincar anak Mahjong. Hati-hatilah, saya tidak bisa selalu menjagamu!" Esya merasakan hembusan napas dari seseorang di dekat telinga kanannya. Wanita itu masih belum mau membuka mata. Dia masih takut, jika itu adalah pangeran iblis yang tengah menyamar. Lelaki itu sukses membuat Esya trauma.
"Saya bukan William! Kamu dan saya sudah lama saling kenal! Tapi jangan pernah cari saya! Camkan itu." Terdengar suara serak lelaki yang mengepakkan sayapnya. Tapi Esya tidak bisa melihat wujudnya. Siapa dia?
***
"Ca, maaf—"
"Udahlah, Gi. Gue udah nggak respect sama lo," terdengar dengusan napas Esya yang menandakan kalau dirinya benar-benar pasrah dengan sikap labil Yagi.
"G-gue minta maaf—"
"Percuma, lo mau bilang berapa kali juga, cewek keturunan Balvin itu nggak akan mudah di luluhkan. Makanya saat dia lahir di dunia ini, energi perasaan negatif mengerubunginya." Seseorang ikut masuk dalam pembicaraan mereka. Sayangnya wanita itu bisa menyembunyikan dirinya sebagai salah satu 'ghaib' di rumah itu.
Kening Yagi mengerut, dia membiarkan Esya yang telah pergi jauh masuk ke dalam kamarnya. "Kamu siapa? Kayaknya rumah ini sudah dibentengi—"
"Oh, kamu mau pura-pura lupa?" sindir wanita yang sedang bersandar di tembok itu. Dia menampar Yagi seraya mengucap mantranya, "Balhon!"
Seketika fisiknya berubah menjadi seorang nenek tua bungkuk yang sudah sangat renta, sesaat dia tersenyum menatap Yagi.
DEG!
"Keparat! Ngapain masuk tanpa seizin?! Ngikut dari mana arwah gila ini?!" Terdengar deru napas membaranya dengan tangan mengepal kuat. Dia siap mengeluarkan energinya untuk mengusir nenek peyot itu.
BLAR!!! BZZZT!!
"Hey, fisikmu juga tidak sebagus itu, bangsat!" hinanya seraya melempar tongkat yang tadi digunakan untuk menopang tubuhnya. Seketika fisik lelaki itu berubah jadi kakek-kakek jelek buruk rupa yang sudah renta.
"Anjing! Ini hanya ilusi kau saja! Dengar, ya! Aku ini sudah mengganti permanen fisikku! Lagi pula fisikku tidak sejelek ini, bangsat!!!" Yagi mulai menyerang nenek itu lagi. Mereka bertengkar tanpa tahu tindakan mereka dilihat oleh seseorang yang seharusnya tidak boleh melihat atau pun mendengarnya.