"Dimana mereka?" gumam Esya celingak-celinguk mencari dua lelaki itu.
"Hey! Pagi sekali? Bareng Zidane?" tanya Gavin menghela napas panjang. Napasnya tersengal-sengal, mungkin dia berlari sejak menuju ke sini.
Esya tertawa getir. Hatinya merasa gelisah karena canggung. Sedangkan Gavin, sejak awal memperhatikan wajahnya terus.
"Halo," sapanya.
Akhirnya, si otoriter datang. Walaupun suasananya masih sama, namun Esya merasa lega karena ada yang dikenalnya.
Dan kini mereka berlari bersama hingga pukul sepuluh pagi. Kini langkahnya memasuki tempat warung makan favoritnya.
"Pak Direktur gak apa-apa, 'kan? Makan di sini?" tanyanya dengan mata melebar. Karena biasanya seorang pejabat tidak berani makan di emperan seperti ini.
Si kaku mengangguk. Dan Esya juga menanyakan hal yang sama pada Gavin, lelaki itu tersenyum manis dan menyetujuinya.
"Ini tempat makan favoritmu?" tanya Zidane yang mulai penasaran. Sedangkan Gavin dari tadi meliriknya dengan senyum manis. Sahabatnya itu berharap rencana hari ini tak gagal dan membuahkan hasil.
"Iya, kebetulan, Pak." Esya tidak terbiasa olahraga pagi. Jadi perutnya saat ini sangat keroncongan. Apalagi tadi pagi dia lupa sarapan karena takut telat dan diberi hadiah yang Gavin bicarakan semalam.
Disaat wanita itu tengah mengobati rasa laparnya, Kedua lelaki yang duduk di depannya itu terlihat gelisah. Bagian bawah yang tak stabil membuat meja restoran itu jadi agak goyang-goyang. Matanya menatap keduanya bergantian.
"Silakan makan, Sya," ucap Gavin tersenyum manis. Lalu matanya beralih pada Zidane yang berwajah polos.
"Apa?" bisik Zidane pada sahabatnya.
"Bodoh! Mana cincinnya?" bisik Gavin.
"Pak, kalian gak makan? Takut dingin makanannya."
Keduanya mengangguk cepat. Lalu melanjutkan pembicaraan penting itu.
"Saya nggak mau di tempat ramai kayak gini!" bisiknya melirik tajam Gavin yang selalu memaksanya.
"Lalu dimana? Hey! Bisa saja setelah ini dia langsung pulang!" bisik Gavin tak sabaran.
Terdengar helaan napas Zidane, membuat wanita di depannya mengerinyit heran.
"Bapak, ada masalah? Bisa saya bantu?" tanya Esya kini memfokuskan pandangannya pada Zidane.
"Tidak ada apa-apa. Cepatlah makan!" perintahnya yang mungkin lupa dengan nasihat semalam dari Gavin. Sahabatnya menginjak kaki lelaki itu, Zidane meringis kesakitan.
"Ada apa?" tanya Esya sekali lagi. Dia benar-benar dibuat bingung oleh keduanya.
"Nggak, nggak ada apa-apa, Sya. Ayo, dimakan." Gavin tersenyum ramah dengan tangan memukul bahu Zidane yang menatap tajam padanya.
"Zidane, ayo," ajaknya kemudian berdiri dan melangkah pergi diikuti Zidane.
***
"Kamu mau gimana? Bukankah itu suasana yang bagus? Kalau kamu menembak di tempat lain, mungkin di tolak! Jangan percaya diri dulu, Esya itu lebih terlihat tertekan dibanding menyimpan perasaan padamu!" ujar Gavin melirik tajam sahabatnya yang kini menunduk. Momen yang sangat langka bagi Gavin, bisa menyuarakan pendapatnya lebih jauh dan melihat Zidane tak berkutik.
"Kalau kamu menembak di rumahnya, peluang di tolak lebih besar. Tapi, kalau kamu menembak saat terdesak seperti ini, mungkin dia akan menerimamu! Yah, mau tidak mau, bisa jadi terpaksa," tambahnya.
"Jadi maksudmu, saya harus menembak dia di sini, gitu?" tanya Zidane dengan mimik wajah polos.
Gavin mengangguk.
"Tapi itu sangat memalukan! Lagian, 'kan, kamu yang memaksa saya untuk menembaknya hari ini! Saya masih perlu waktu!" ucap Zidane membuat orang-orang di sekitar melirik mereka.
"Ck! Zidane, apakah kamu mau bersaing dengan saya?! Saya juga …." Gavin sengaja tidak melanjutkan perkataannya. Membantu mereka supaya menjadi pasangan ternyata membuatnya sakit hati juga. Hatinya tak dapat memungkiri, dia terpikat juga oleh Esya.
"Kamu serius? Kamu benaran jatuh hati? Kukira otakmu hanya terpikir selangkangan wanita," Zidane mengalihkan pandangan.
Gavin tertawa keras, tangannya menepuk bahu Zidane.
"Wah, begitu, ya? Benar katamu, Esya terlalu berharga untuk jadi jalang murahanku," ucap Zidane tersenyum ramah.
"Sudah, mengalah saja. Saya yang pantas untuknya," Zidane tersenyum meremehkan.
"Iya, itu buatmu. Tenanglah, aku bisa cari wanita lain yang tentunya lebih seksi darinya. Kupikir Esya agak kurang—" Gavin mulai memancing percikan api pada sahabatnya.
"Apa! Jangan lanjutkan ucapanmu atau …." Tangannya sudah terkepal sempurna. Siap membuat bonyok wajah tampan Gavin. Kalau dia tidak ingat Gavin adalah sahabatnya sejak bayi, pasti pipi mulus itu sudah babak belur dari tadi.
Gavin terkekeh ramah, mengedipkan mata. "Sudahlah ayo. Yang penting, kamu jangan sampai tidak menyatakan cintamu hari ini, ya!" Gavin memimpin jalan lebih dulu.
"Pak bos, pak dokter, maaf, saya sungguh minta maaf. Sepertinya saya harus pergi karena ada urusan—"
"Ah, begitu …." Zidane memelankan suaranya. Melihat itu, Gavin sudah tahu apa yang Zidane inginkan. Namun lelaki itu urung mengucapkannya. Gavin yang peka langsung ambil alih agar semuanya tetap berjalan lancar.
"Esya! Biar diantar Zidane saja, ya? Jangan menolak, kita tahu sendiri Zidane itu—" Entah ini membantu atau tidak. Yang pasti, mendengar kalimat terakhir, Zidane langsung melirik sinis padanya.
"Iya! Ayo, pak! Saya buru-buru sekali—" Terlihat raut wajahnya cemas. Mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya.
Setelah membayar semua pesanan, Zidane naik busway bersama Esya. Mereka duduk di sisi kanan paling depan dekat pintu busway.
Sesekali Zidane meliriknya. Namun raut wajah cemas itu terlihat semakin jelas. "Sya," sapanya dengan suara pelan.
"Sya!" Satu panggilan lagi membuatnya tersentak. Dadanya kembang kempis pertanda kondisinya benar-benar mengkhawatirkan sesuatu. Esya menekan jari jemarinya.
"Ada masalahkah?" tanyanya yang tak sadar menggenggam tangan wanita itu.
Esya terbatuk-batuk kecil, lalu menarik tangannya dari genggaman Zidane membuatnya salah tingkah.
Kini mereka sudah sampai di halte dekat rumah Esya. Langkahnya yang gemetar hampir membuat Esya terjatuh. Beruntung Zidane menarik tangannya, dan kini menggenggam erat.
"Pak, sebaiknya Anda pulang saja," ucap Esya gemetaran.
"Kenapa begitu? Cobalah tenang. Oh, apa kamu merasa tidak nyaman jalan dengan saya? Begitu?" tanyanya. Zidane semakin penasaran karena Esya sepertinya menyembunyikan sesuatu darinya.
"Bukan, b-bukan begitu …." Esya menelan saliva dengan tubuh yang tak berhenti gemetaran.
"Lalu?" tangan Zidane mulai memimpin jalan menuju rumah Esya.
"Saya pasti benar-benar khawat—ah, bukan. Maksud saya, saya cuma mau melihat kamu masuk rumah dengan aman." Tangan Zidane mengusap tengkuknya, jantungnya berdegup kencang dari tadi.
Berbeda dengan bosnya yang tengah jatuh cinta, Esya mengkhawatirkan imbasnya jika dia memperlihatkan lelaki pada orang yang sangat pemarah. Tadi, setelah Zidane dan Gavin pergi, dia mendapat telepon rumah. Itu ayahnya.
Bulir-bulir air mata di wajah yang sangat cemas itu sangat membuat Zidane iba. Dia tidak kuasa memaksa Esya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Sepanjang perjalanan, Esya tidak behenti untuk meminta Zidane pulang. Wanita itu takut aibnya terbongkar. Baginya, ketidakharmonisan adalah sebuah aib.
Kini mereka sudah sampai di depan rumahnya. Namun, baru beberapa detik menjejakkan kaki di situ, seorang lelaki berperawakan seram menarik tangannya. Dialah ayah Esya.
"Esya, sebenarnya saya ingin—" misi Zidane sepertinya akan terhalang lagi. Dia belum kenal dengan ayah Esya. Setahunya, Esya tinggal sendiri di rumah yang cukup besar ini.
"Dasar jalang! Kamu melacur dengan siapa lagi, hah?! Anak perempuan macam apa kamu?! Diantar pulang pria?! Apa dia simpananmu atau lelaki yang kamu porotin, hah?!" Lelaki berwajah penuh brewok itu tak henti-hentinya melambungkan tendangan pada putrinya. Esya tak henti-hentinya berurai air mata. Kondisi saat ini sukses membuat Zidane tercengang.
Sepertinya, rasa gundah gulananya terhadap rahasia yang disembunyikan wanita itu telah terungkap. Zidane tak pernah tahu kondisi Esya seburuk ini.