"Bisa, Pak! Bisa …." Baru saja mereka akan melangkah menuju tempat yang dimaksud, tiba-tiba tangannya dicekal oleh seorang pria. Dialah Zidane, CEO dari perusahaan Abikasa Permata.
"Maaf! Ada urusan apa, ya? Apakah ada yang bisa dibantu, Pak Rama?" tanya Zidane seraya menarik Esya dengan sangat kencang sehingga wanita itu tertarik sampai menubruk dada bidangnya. Dengan sekali gerakan, tangan Zidane langsung memeluk Esya.
"Maaf, Pak. Kami ini pasangan baru. Jadi, Esya masih kaku. Apa lagi dia suka lupa kalau sudah punya calon suami. Iya, 'kan, Esya?" Zidane meliriknya dengan tatapan tajam. Wanita itu hanya mengangguk cepat karena dia tidak tahu harus bagaimana. Sekarang juga jantungnya berdegup keras. Saat ini dia sangat malu.
"Oh, langgeng selalu ya, untuk kalian. Baiklah, Pak Zidane. Saya akan cari wanita lain saja." Terlihat senyuman itu sangat dipaksakan. Lelaki itu pasti sangat kesal karena rencananya gagal.
"Permisi, Pak. Silakan dinikmati jamuan acara hari ini. Saya mohon maaf tidak bisa menemani. Saya akan terus bersama calon istri saya." Zidane melangkah menjauh pergi bersamanya. Terlihat Bu Hana dari kejauhan semakin geram dengan Esya.
Ternyata Zidane membawanya ke rooftop perusahaan yang dia sendiri tak pernah tahu. "Maaf, Pak. Sampai sini saja. Permisi!" Saat dia berbalik badan, Zidane menahan tangannya lagi.
"Jangan. Jangan ke lelaki itu. Oh, ayolah! Bagaimana caranya saya—"
"Ada apa memangnya? Saya lajang. Saya bisa bergaul dengan pria mana pun! Kenapa bapak seperti ini?" Esya salah sangka. Dia memang tidak pernah tahu kalau dirinya sudah diselamatkan dari sarang buaya hidung belang.
"Ck!"
"Maaf, sebaiknya bapak bersikap lebih profesional. Mohon jangan menghalangi saya—" Baru saja dia hendak melangkah lagi.
"Tapi apakah kamu akan tetap ke pria itu?!" Ini adalah kali pertama Esya melihat Zidane berteriak. Sungguh teriakannya terdengar begitu khawatir. Entah apa yang sedang dipikirkan pria itu.
"Iya, Pak. Saya ada masalah pen—" Wanita itu balik badan karena merasa tidak sopan jika berbicara membelakangi orang berpengaruh.
"Masalah apa?! Hutang piutang?" tanya Zidane lebih mendetail.
"Bukan! Saya telah melakukan kecerobohan. Dan, saya pun sudah berjanji akan menggantinya."
"Esya, kecerobohan apa? Saya harus tahu!" Nada bicaranya terdengar memaksa.
"Saya berjalan dengan gugup. Lalu saya tidak sengaja menabraknya!" Esya tidak terima atas pertengkaran yang seolah-olah dia sedang berhadapan dengan seseorang yang mirip ayahnya. Itu adalah luka batin yang sangat sakit.
"Itu bukan apa-apa! Kamu tahu dia siapa, hah?!" tanya Zidane dengan mimik wajah cemas.
"Dia itu CEO perusahaan sebelah yang suka mainin wanita! Kenapa kamu sulit sekali diaturnya, sih?!" tambahnya.
DEG!
Kalimat terakhir sukses membuatnya terbungkam. Mengenai apa saja yang baru dia lewati hari ini. Benar-benar hal yang buruk. Dan menerima kenyataan kalau dia sudah salah sangka, menanamkan rasa bersalah pada Zidane.
"Saya … saya tidak tahu, Pak. Mohon maaf … sungguh mohon maaf."
"Jangan dekati lelaki itu. Jangan komunikasi sedikit pun dengannya. Dia sudah mengenalmu. Dia bukanlah lelaki yang mudah melepaskan targetnya. Ingat, yang kuucapkan ini fakta. Jadi kamu harus mendengar dan mengingatnya baik-baik, oke?" Zidane memberi nasihat panjang lebar. Rasanya itu bukan seperti seorang Zidane yang dikenal orang-orang.
Lelaki itu benar-benar sudah pergi.
"Bagaimana ini? Ternyata ini hanya kesalahpahaman. Tapi, seharusnya saya nggak begitu sama dia, 'kan? Rasanya nggak enak banget …." batinnya.
***
Acaranya sudah selesai. Sekarang sudah pukul 22:30
Dengan langkah tertatih-tatih, setengah sadar, dia mencari tempat menunggu angkot. Belum lagi kondisi perutnya setelah meminum bir. Esya tidak menghiraukan kondisi sekitar. Dia hanya berfokus mencari angkot di tengah malam ini.
"Hey! Tunggu!" Dia menoleh, samar-samar dia dapat melihat bayangan lelaki yang terlihat familiar.
Matanya sudah sangat berat, dan kepalanya juga pusing. Jadi wanita itu tidak bisa melihat dengan jelas siapa pria yang menggendongnya.
"Wanita seperti apa sih?! Cantik-cantik kok—" Zidane menutup mulutnya.
"Aku! Aish! Barusan … nggak, bukan begitu. Iya pasti bukan begitu!" Dia jadi kesal sendiri akibat kesalahpahaman hari ini.
"Hiks, hiks, ibu … ibu di mana? Ibu … hiks … jangan tinggalkan Esya … hiks … ayah jahat, Bu … Esya takut …." Tiba-tiba terdengar suara tangisan seorang wanita dari dalam kamar. Zidane yang panik segera meninggalkan potongan daun bawang yang sedang dipotongnya.
"Kenapa?! Ada apa?" tanya Zidane ketika membuka pintu kamarnya. Ternyata Esya mengigau malam itu. Kasurnya jadi basah akibat ulah wanita itu. Karena khawatir, Zidane mulai mendekati wanita itu.
Dia berjongkok, melihat lebih detail mimik wajah itu. Esya tidak berhenti membongkar rahasianya sendiri.
"Ibu … hiks … apakah sudah tenang di sana? Hiks … akhir-akhir ini banyak hal gila hampir merenggut nyawaku, Bu … hiks …."
Zidane tidak sadar kalau sedari tadi tangannya sudah bertengger di pucuk kepala wanita itu. Dia baru tersentak ketika acara ngigau-ngigau itu selesai.
"Ah! Gila … apaan sih!" Dia menyalahkan tangannya yang bergerak tanpa kendali. Rasa empati begitu besar yang disembunyikan Sang CEO akhirnya meluap juga. Hatinya tersentuh ketika mendengar semua ocehan Esya. Dirinya merasa sakit hati ketika tahu wanita itu telah menjalani kehidupan yang sangat keras. Apa lagi ayahnya ….
"Selama ini kamu menjalani hidup yang bagaimana, hah?!" tanya Zidane ditengah keheningan suasana malam.
"Sialan … ini membuatku terbebani lagi …." Zidane menekan kedua pelipisnya seraya menghela napas panjang.
Ternyata benar soal firasatnya. Sejujurnya dia tidak mau membawa wanita itu ke rumahnya. Tapi dia juga tidak yakin kalau Esya akan aman bila tidur di rumahnya. Apa lagi ini sudah terlalu larut malam. Pasti pintunya tidak dikunci.
PSSSHH! PSSSHH!!!
Suara dari arah dapur mengagetkannya. Lelaki itu beranjak melangkah cepat. Dia hampir melupakan masakannya dengan kompor masih menyala.
"Setelah menggendongnya, napsu makan saya naik begini. Padahal akhir-akhir ini saya tidak rajin olahraga." Dia menyentuh perut sixpacknya. Berharap agar makan malam dengan menu mie ramen dengan berbagai topping itu tidak menambah karbohidratnya.
"Pak ...."
DEG!
Inderanya bisa mendengar jelas di keheningan malam. Suara serak akibat terlalu lama menangis itu milik Esya.
Dengan segenap ketakutan, Zidane memberanikan diri untuk menoleh ke arah pintu kamarnya. Namun anehnya dia tidak melihat siapapun di sana.
"Esya di mana? Lalu tadi itu suara siapa?" tanyanya dalam hati. Dia bangkit melangkah ke arah kamar. Rasa penasaran terus mengerubunginya.
Saat dibuka, wanita itu masih tertidur dengan kening mengerut seolah banyak pikiran.
"Esya?" Zidane mencoba menyapanya. Dia ingin menguji apakah Esya sudah sadar atau belum. Namun di keheningan malam, tak ada sepatah kata pun yang menjawabnya. Sudah pasti Esya masih mengigau.