Chereads / Tears Addict / Chapter 29 - Indentitas Sosok misterius bersayap hitam

Chapter 29 - Indentitas Sosok misterius bersayap hitam

"Uang siapa lima ratus juta?"

Pertanyaan itu membuat Alfaruk melirik sinis ke arah putrinya. Ayahnya tak menjelaskan apapun sampai mereka tiba di sebuah kafe bintang lima. Akira back restaurant yang berjarak lumayan jauh dari rumah mereka.

"Ayo. Jangan tunjukkan wajah murung! Mereka sudah membayarnya!" Lagi dan lagi pukulan itu terasa perih, hinggap membentuk sebuah sarang kebencian dalam hatinya. Dengan pandangan menunduk, Esya berjalan penuh kepasrahan.

Orang-orang dengan pakaian elegan dalam toilet melirik sinis padanya. Ciri khas perempuan yang lahir dari keluarga terpandang, biasanya tidak membungkukkan bahu. Mereka akan berjalan tegap penuh rasa percaya diri tinggi sama halnya seperti seorang pria.

"Permisi …." Lirihnya menerobos ke dalam bilik toilet yang kosong.

"Menangis? Perempuan kok lemah!" Celetuk seorang wanita cantik berpoles makeup elegan. Warna dress-nya yang putih dan beberapa disain corak mengkilap itu tampak cocok untuk proporsi tubuhnya yang ramping.

Namun, sayang sekali. Antara penampilan dan sifatnya bagaikan bumi dan langit. Sangat bertolak belakang. Dan diantara semua wanita di sana, dialah yang paling cantik. Nyaris sempurna. Makeupnya pun terkesan mahal namun tak menghalangi aura kecantikannya.

"Ayo, Barga sudah menunggu lama." Seorang wanita menarik lengannya. Sebelum keluar, wanita cantik itu melempar lirikan tajam pada Esya yang sedang mencuci wajahnya.

Esya tidak peduli itu.

Terdengar helaan napas panjang darinya. Kini dalam toilet wanita itu hanya dia seorang diri. Esya memoles make-up tipisnya kembali.

"Sudahlah, Bu. Aku pasrah. Mungkin memang ini jalannya. Aku pun tak tahu. Toh mahkotaku telah diambil olehnya. Maka aku akan melemah," ucapan Esya membuat dirinya terlihat semakin menyedihkan. Segera dia Hela air mata yang hampir tumpah itu.

"Ca! Kenapa disini?" Tiba-tiba suara lelaki yang tak asing mengagetkannya. Saat dia menoleh, ternyata itu Yagi.

"Apa?" tanyanya dingin. Tangannya memunguti beberapa peralatan makeup yang berjatuhan.

"Ca, lo kenapa ada di sini? Bukannya ini kafe tempat …." Dia ragu melanjutkannya. Tangannya menekan-nekan jarinya sendiri.

Esya mengehela napas dengan wajah kikuk. Dia yakin, Yagi sekalipun tidak dapat membantunya saat ini. Karena

"Gue duluan, ya. Permisi …," Selorohnya melewati Yagi dengan wajah menunduk.

"Ca, waktu itu lo salah paham—" dia mencekal tangan Esya. Namun segera ditepis dan bergegas keluar dari salam toilet itu.

Yagi mendengus kasar, dia menghilang. Makin lama, sifatnya makin terlihat berubah. Atau, jangan-jangan itu adalah sifat aslinya? Tidak ada yang tahu.

"Ikut saya." Seseorang menarik tangannya dan masuk ke dalam sebuah ruangan kecil yang gelap.

"Siapa?" Esya berusaha menetralkan rasa takutnya. Dia tahu, jika berontak sekarang, mungkin orang gila ini akan bertindak lebih buruk.

"Diam." Tangannya langsung membekap mulut bawel itu. Karena ruangannya sangat gelap, dia jadi tidak bisa melihat wajah lelaki ini. Malah, kini jarak wajah mereka hanya berkisar 5 cm.

"Halo, tolong beresin yang di depan, ya." Dia terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang. Namun Esya tidak dapat melihatnya.

"Iya, Pak!" jawab seseorang dari depan sana. Esya semakin dibuat bingung dengan semua ini. Namun, dia memilih bungkam seperti permintaannya.

Sekarang mereka bersitatap. Lelaki itu mendekatkan wajahnya. Hal itu membuat Esya memejamkan mata.

"Bukan. Saya hanya ingin memastikan keadaanmu. Apakah pukulan Alfaruk brengsek itu membuat wajah bidadari saya ini terluka atau tidak. Ternyata baik-baik saja. Syukurlah."

Sekarang, beribu-ribu pertanyaan mengusik pikirannya. Namun, dia masih bungkam suara. Esya tak mau terlibat lebih jauh dengan lelaki ini. Cukuplah misteri Yagi dan seseorang yang misterius itu masuk dalam hidupnya. Dia tak ingin memancing makhluk astral lain.

"Jangan takut. Saya antar pulang."

Kening Esya mengerut sempurna, sesaat tangannya bergerak-gerak dalam genggaman lelaki itu.

"Maaf, tapi saya harus—" Baru saja dia ingin bergerak, sosok itu langsung mendekapnya erat-erat.

"Apa kamu tidak ingin bersama sosok misterius?" Mata hitam bulat itu menatapnya dalam-dalam. Esya seperti familiar dengan matanya. Namun, sayang sekali, dia pelupa.

DEG!

"Maksudnya?" tanya Esya tak mengerti maksud dari ucapan sosok di depannya.

"Kamu menyukainya, 'kan? Diam-diam … saya tahu itu," bisiknya dengan embusan napas membara pada telinga Esya. Hal itu membuatnya merinding. Di dukung suasana restaurant ini bersuhu dingin.

"Jika kamu macam-macam, saya akan—" wajahnya ditarik oleh sosok itu. Kali ini dia memotong jarak di antara mereka. Hingga hidung mereka bersentuhan.

"Diamlah! Jika kamu tidak bisa mengurus hidupmu sendiri, jangan membuat rencana saya kacau!"

DEG!

Mata Esya membulat sempurna. Dengan kata lain, sekarang mereka bersitatap lagi.

"Kamu …." Esya ragu melanjutkan ucapannya. Dalam dugannya, sosok di hadapannya ini adalah sosok yang selama ini selalu menolongnya.

***

"Lain kali, jangan terlalu percaya sama cowok ya! Mereka berbahaya dan manipulatif. Dan saya tidak bisa selalu menjagamu! Jaga diri baik-baik, beruang kutub!" Entah kenapa, suara itu terus menggema di indera pendengarannya.

"Muncullah! Jangan menyiksaku seperti ini! Apakah kamu berpikir, aku akan mempercayai perkataanmu? Sialan … kamu juga cowok!" teriak Esya.

Sosok itu berdiri di sebelahnya, sesaat ingin sekali menyentuh tubuh Esya. Dia sudah mencobanya, namun energinya selalu tak mampu bila perasannya melemah. Dia sedang jatuh cinta.

"Percuma. Bahkan cara mengendalikan kekuatan saja, kamu tidak tahu …." Sesosok orang bersayap putih terang benderang itu duduk di meja belajar Esya. Makhluk itu tiba-tiba muncul begitu saja. Dia tersenyum menatap keduanya.

Sesaat menyibakkan rambut panjangnya yang berwarna pirang. Sekilas menatap Halua, malaikat maut di samping Esya.

"Hey, malaikat maut sepertimu tidak cocok untuknya—"

"Oh, kalian–bagaimana caranya bisa mengakses tempat ini?" Tiba-tiba Yagi muncul. Saat ini, Esya sudah tidur pulas. 'Mereka' yang ada di sini mengeluarkan energi yang sangat sedikit, sehingga walaupun Esya bangun, dia tetap tak bisa melihat satu pun diantara mereka.

Dengan kata lain mereka seolah tidak nyata atau tidak dapat dilihat.

"Dia sudah sedikit berkembang, bodoh! Kamu pikir kamu selamanya akan berkuasa atas gadis malang ini? Sialan … otakmu pendek sekali, ya …." Senyumannya melengkung sempurna bak wanita cantik dari khayangan.

Sementara dari tadi Halua tidak berhenti melirik tajam pada Yagi. Seperti ada peperangan dingin diantara mereka. Baik Yagi maupun Halua, tatapan mereka seperti menyiratkan kebencian masing-masing.

"Sudahlah, aku pergi dulu—"

Bersamaan dengan itu, Yagi mengulur tangannya ke arah Fhan, sang malaikat putih. Seketika dia tersetrum aliran listrik yang dibuat lelaki itu.

Dengan langkah yang gondok, Fhan melangkah cepat dengan sorot mata yang berapi-api.

"Apa-apaan?! Kau mau cari mati, ya?!" Beruntung, Halua menghalanginya.

"Sebaiknya kau pergi. Sebelum kita ketahuan menerobos rumah ini. Lagipula sekarang Alfaruk itu tinggal di sini." Ucapan Halua berhasil membuat Fhan yang terkenal keras kepala itu pergi. Sebelumnya dia mengatakan akan menghabisi Yagi saat bertemu lagi.

Sekarang yang tersisa di kamar Esya hanya dua pria. Yagi, lelaki yang katanya ditakdirkan untuk menemani Esya dari marabahaya. Yang pada kenyatannya, Haluan yang akhir-akhir ini lebih sering menyelamatkannya.

Halua tersenyum sinis, alis elangnya membuat sosok itu tetap tampan walaupun tanpa setitik cahaya menyinari wajahnya. Berbeda dengan Yagi yang selalu terlihat bersinar karena terbuat dari Air mata bening. Lelaki itu tak kalah tampan.

Mereka saling membuat bola kekuatan untuk menyerang satu sama lain di waktu yang tepat, ketika prediksi waktu mencari kelemahan sang lawan.

"Kita bertemu lagi, Makhluk aneh! Kali ini, aku yang akan memenangkan jiwa ini!" ujar Yagi tersenyum sinis. Semakin memperkuat asesmen bola air di tangannya.

"Jangan banyak bicara. Saya termasuk pria yang membenci omongan pria penuh tipu daya sepertimu!" Hina Halua yang mempunyai karakteristik bertolak belakang dengan Yagi. Mereka itu ibarat air dan minyak. Tak pernah bisa bersatu rukun sentosa.

"Oh, maksudmu aku buaya? iya? Kenyataan kalau aku lebih disayang semua perempuan membuatmu begitu iri kah?" Yagi tertawa renyah. Dia masih menyepelekan Halua yang sekarang mulai ada perkembangan. Lelaki embun itu tidak tahu badai di depan akan segera menghadang kesombongannya.

"Diamlah. Aku tidak suka mendengar suaramu!" ucap Halua yang menekankan kalimat akhir. Nada suaranya masih sama seperti dulu. Begitu Menyeramkan.