Chereads / Tears Addict / Chapter 28 - Seharga Lima ratus juta

Chapter 28 - Seharga Lima ratus juta

"Maaf, pak. Saya tidak ingin membawa masalah untuk Anda." Kelima jarinya menutup mulutnya. Dia berjalan tertatih-tatih menyusuri jalanan yang kosong. Uluh hatinya sangat nyeri dan panas serta sesak mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.

Mau tidak mau, suka tidak suka, beginilah takdir hidupnya. Esya harus tegar menjalani semuanya. Ini demi mengungkap kasus kematian ibunya. Kunci utama ada pada Yagi. Namun, karena sering tertipu oleh pangeran Iblis William, dia merasa kurang percaya padanya.

"Ibu, kemana aku harus pulang? Ibu … ibu … ibu …." Isak tangis yang ditahan di kerongkongan membuat kebisingan di tengah jalan. Sampai dia tak sadar sebuah mobil melaju ke arahnya. Sinar mobil itu membuatnya menyipitkan mata.

Mobil itu berhenti, ternyata itu adalah mobil Zidane. Lelaki itu langsung memapah Esya dan memaksanya untuk masuk mobil. Setelah itu Zidane mengambil jaket besar di bagasi mobil, memakaikan padanya. Suhu tubuh Esya sudah sangat dingin.

Zidane melajukan mobil sesuai permintaan Esya, ke rumahnya. Jalan Angkasa no. 18.

Meskipun hatinya cemas meninggalkan Esya di sana. Namun, setidaknya esok mereka akan bertemu dan jika Esya tak masuk, Zidane sendiri yang akan turun tangan pada karyawannya itu.

"Kamu hati-hati, ya," lirihnya dengan mata yang sayup-sayup tertiup embusan angin malam.

"Kalau ada apa-apa, kamu harus—"

"Permisi, Pak! Terimakasih untuk hari ini!" Berkali-kali dia membungkukkan badan sebagai bentuk kesopanan pada atasannya.

"Hati-hatilah! Kalau ada apa-apa harus kabari saya, ya!" Tak terasa, Zidane sudah mengucapkan kalimat yang isinya sama sebanyak dua kali. Dia gugup untuk belajar berbicara dengan kata-kata yang lebih lembut khusus untuk Esya.

"Anda sudah bicara dua kali, pak! Saya pasti ingat, kok! Terimakasih banyak! Hati-hati di jalan!" ucap Esya dengan suara lebih keras. Setelah melihat mobil Zidane pergi, pintunya langsung terbuka dan pertengkaran hebat itu dimulai lagi.

"Habis dari mana?! Oh … apa begini cara balas budimu pada ayah yang telah menafkahimu?!" tanyanya seraya melayangkan sebuah tamparan pada Esya.

Sakit, perih, tak terasa bulir-bulir air mata mengalir deras pada wajahnya yang sudah babak belur akibat pelampiasan emosi ayahnya malam ini.

"Ibu … aku tidak kuat lagi … a-aku ingin pergi …." Lirihnya di depan sang ayahanda yang sedang menenggak sebotol minuman keras.

Mendengarnya membuat sang ayah naik pitam. Dia menatap tajam putrinya yang malang. Lalu menggebrak meja.

"Besok malam! Kamu harus ikut saya!" Matanya melebar memperlihatkan kilat-kilat api ganas yang siap menerkam jika ucapannya dibantah.

"Kemana?" lirih Esya di sela-sela Isak tangisnya. Sorot matanya sangat rapuh. Matanya membengkak memerah. Tangannya mengepal kuat-kuat.

"Kamu akan saya jodohkan. Ini untuk kebaikan bersama. Apa kamu tahu, uang simpanan dan warisan dari wanita jalang yang kau sebut ibu itu telah habis! Oh, apakah gajimu sudah keluar? Ayah pinjam dululah," ucapnya dengan tangan mengadah.

"Belum, aku belum gajian." Terpaksa dia berbohong. Esya sendiri pun tidak punya uang simpanan lagi. Terakhir, celengannya sudah minus.

"Jangan berbohong! Kamu mau nasibmu sama seperti ibumu?!" Dia menghardik putrinya lagi. Menendang bokongnya, membuat beberapa bagian tubuhnya memar. Itulah watak asli Alfaruk Mahjong.

Ucapan yang sangat rahasia telah terlontar secara tak sengaja. Namun, biarlah. Esya juga pasti tak akan mampu menguak masa kelam itu. Sekarang, Alfaruk hanya fokus pada keinginan sekretarisnya agar bisa menjadi istri sah dan jadi nyonya satu-satunya dalam keluarga Mahjong.

"Apa ayah bilang?" tany Esya bangkit.

"Sudahlah! Sana tidur cepat! Besok, dandan yang cantik! Pakai pakaian yang paling indah! Kalau tidak …."

"Baik, ayah." Esya tak punya perlawanan yang cukup untuk melawan ayahnya yang telah menzoliminya. Dia masih harus menguak misteri kematian ibunya dan juga rahasia-rahasia lainnya.

Melangkah masuk, mengunci pintu kamar, dia merebahkan diri dengan menutup mulutnya dengan bantal. Tangisannya semakin meluap-luap. Hingga dia tertidur dalam keadaan mata membengkak.

"Ibu … aku ingin dipelukmu … aku sangat ingin … memelukmu, walau sekali … ya, sekali saja …." Matanya yang memberat membuatnya mulai kehilangan kesadaran. Namun, Esya mengingat jelas kalau semalam ibunya datang dan memeluk serta mencium keningnya penuh kasih sayang.

"Anakku, kuatlah. Kuatkan batinmu, Nak. Kita harus berjuang bersama-sama untuk menguak kejahatan keluarga ayahmu. Jangan sampai diriku menjadi korban sepertiku" Suara itu sangat pelan, tersimpan jauh di lubuk hatinya. Esya akan mengingatnya suatu hari nanti.

***

Esya termenung di depan meja rias kamarnya. Pikirannya menduga-duga kalau ayahnya akan menyuruhnya melakukan hal buruk lagi. Meskipun dia berusaha kabur, Alfaruk pasti akan menemukannya. Entah bagaimana caranya. Mungkin karena dia seorang detektif yang diagung-agungkan oleh para kliennya.

Jauh dari kata ayah yang baik, kini Alfaruk memperlakukan Esya bak budak kerja rodi. Sepulang kerja, dia harus mencuci semua pakaian kotor yang telah disiapkan, mengelap semua bagian rumah itu. Anaknya telah menjadi babu tanpa upah.

Lalu, jika belum larut malam, ayahnya akan berpesta barang haram dengan beberapa wanita cantik yang membuat kegaduhan di rumah itu semakin gaduh. Musik kelap-kelip seperti ciri khas diskotik juga dipasangnya. Esya hanya bisa berdiam diri di kamarnya. Rasa takut menghampirinya setiap kali beberapa teman pria ayah mengetuk pintu kamarnya, untuk mengajaknya ikut bersenang-senang.

Esya memendam semuanya sendirian. Wajar bila dia tak mau menceritakan sedikitpun rahasia buruk keluarganya. Namun, kini Zidane mulai mengetahui mengapa Esya sangat menutup rapat mulutnya. Dia adalah korban kekerasan orang tuanya.

"Cepat! Di mana sih, kau!!" Hardik ayahnya lalu mendobrak pintu kamar itu. Matanya langsung mendapati Esya dengan sorot mata rapuh. Namun kali ini dia tampil sangat cantik. Ayahnya mendekat seraya tersenyum dengan mata berbinar-binar.

"Bagus! Sangat bagus! Kamu sangat cantik, Nak!"

Alfaruk terkekeh gelap mata. Sebelum menyerahkan anaknya pada seseorang, dia melecehkan putrinya sendiri.

Dengan rasa takut, Esya berusaha memberontak berulang kali menyadarkan ayahnya yang telah terkekang napsu yang membara.

"Hey, tidak apa! Kamu itu anak saya! Jadi, wajar bila saya ingin 'menikmati' sedikit saja parasmu!"

Alfaruk terkekeh gelap mata.

Dia terus menerus menikam anaknya dengan perlakuan yang sangat kasar jika Esya memberontak.

Walaupun sudah tua, hasrat prianya pasti bangkit ketika melihat anak gadisnya yang mulai tumbuh jadi seorang wanita cantik dengan tubuh bak gitar spanyol.

"Ampuni aku, ayah … a-aku akan mematuhi semua aturanmu …."

"Aturan yang mana? Oh, apa kamu akan melayani pria tua seperti saya setiap saat? Iya? Begitu?!" Esya sangat jijik mendengar tawaan ayahnya.

"B-bukan, selain itu …." Ucapan itu berhasil membuat ayahnya semakin naik pitam. Berkali-kali beberapa bagian sensitifnya di pukul begitu keras. Membuatnya merasakan sakit batin dan juga fisik yang bersamaan seakan-akan menusuknya bertubi-tubi.

Sakit? Sangat. Sangat sakit ketika kehormatannya sendiri yang dia jaga dan rawat baik-baik kelak untuk calon suaminya. Kini telah direnggut paksa oleh ayahnya sendiri.

Dia menyimpan dendam pada Alfaruk. Suatu saat, Esya berjanji akan menghancurkan pria itu sehancur-hancurnya. Selain mencari pembenaran fakta atas kematian ibunya yang masih terasa janggal, Esya berjanji untuk menghabisi lelaki itu dengan tangannya sendiri.

Dendam yang tumbuh dari hatinya semakin besar. Pelan-pelan dia akan merancang suatu rencana untuk membalaskan semua rasa sakitnya.

"Jangan menangis begitu, jalang! Cepatlah! Klienku sudah menunggumu!" Dia memasukkan Esya secara paksa. Lalu melajukan mobilnya. Terlihat raut wajah Alfaruk sangat bahagia ketika melihat pesan dalam ponselnya.

"Wah, lima ratus juta? Yah, tak apa. Toh aku jual barang bekas padanya. Dan dia tak tahu itu."