"Esya, hari ini kamu sibuk?" tanya Bu Hana yang tiba-tiba sudah di sampingnya. Tangannya terlipat di dada seraya menatap tegas pada Esya yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya.
"Iya, Bu? Ada yang bisa dibantu?" tanya Esya sesopan mungkin dengan nada bicara yang lembut. Dilemparnya sebuah undangan ke atas meja kerja Esya.
"Datanglah. Itu perayaan anak-anak baru yang bergabung di perusahaan ini." Dia tetaplah Bu Hana yang ketus, cuek, dan angkuh. Walaupun cara awalnya menyapa terkesan 'teman'.
Terdengar helaan napas panjang Esya. Tangannya melanjutkan pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini juga.
"Kamu nggak makan siang?" tanya lelaki yang terkenal ramah pada semua rekan kerjanya. Lelaki dengan rambut hitam legam tertata rapi oleh cream Gatsby.
Esya menggeleng cepat tanpa menatap lawan bicaranya. Jarinya masih aktif bergerilya di atas keyboard komputer tempatnya.
"Kerja terus, neng." Terdengar helaan napas panjang dan raut wajah yang sedikit kecewa. Dia langsung melengos pergi begitu saja.
Esya tersenyum remeh seraya ikut-ikutan menghela napas panjang. Hatinya memohon agar dirinya istirahat sebentar. Akan tetapi jarinya tetap bekerja sebagaimana seharusnya.
"Gini ya, jadi orang dewasa. Walaupun hati remuk, pekerjaan harus tetap selesai sesuai deadline. Yang mau nggak mau gue harus kerjain itu. Rasanya bukan terpaksa, lebih ke nggak enak aja sama diri sendiri. Gue udah berjuang sejauh ini buat dapetin pekerjaan kantoran impian ibu. Masa iya gue sia-siakan gitu aja kesempatan ini?" ocehnya dalam hati.
"Gitu aja nangis? Kamu ternyata lebih lemah dari yang saya bayangkan, ya." Tiba-tiba terdengar celetukan dari seseorang ditengah-tengah dirinya yang sedang berkontraksi menyelesaikan pekerjaan hari ini.
Respons yang paling cepat adalah ibu jarinya segera menyentuh kantung matanya. Sebenarnya dia tidak yakin kalau dia telah menitikkan air mata. Sejauh ini, Esya mengingat dengan baik kalau dia tak pernah menangis di ruang kerjanya.
Basah. Benar sekali, entah sejak kapan wanita itu tidak sadar matanya telah menghasilkan embun air mata yang cukup deras. Buktinya sekarang matanya terasa lembab.
"Maaf, saya sangat minta maaf, Pak," lirih Esya seraya menunduk dan menerka air matanya yang masih tersisa.
"Jangan terlalu dipaksakan. Hari ini kamu telah bekerja keras." Jempolnya mengusap lembut pelipis mata wanita itu. Mereka bersitatap dalam beberapa menit. Setelah itu, Zidane menjauhkan jarak diantara mereka.
"Mau makan siang bareng?" tanya bosnya itu yang sepertinya tidak bisa ditolak. Sangat jarang sekali Zidane yang terkenal arogan dan otoriter itu meminta rekannya dengan nada bicara yang bisa dibilang lembut seperti itu.
"Lima menit lagi, ya, Pak. Nanggung," pinta Esya seraya mengetik kembali. Namun kali ini tingkat kecepatannya ditingkatkan.
"Baiklah."
***
"Tadi katanya pekerjaanmu masih banyak? Apa ini? Oh, kamu malah makan dengan bos, ya …," celetuk teman lelaki yang tadi mengajaknya makan siang bersama. Esya tidak menjawab sepatah kata pun. Jangan lupa, selama ini dia tidak punya teman dekat. Bahkan teman untuk sekedar berbicara untuk basa basi saja, tidak ada. Kecuali Anugerah.
"Jangan terlalu di dengarkan. Lelaki memang begitu." Tiba-tiba Zidane mengatakan hal yang membuat kening mereka mengerut bersama.
"B-bukan apa-apa! Jangan—eh! Maksud saya tolong lupakan!" Zidane yang kini dianda kegugupan itu terlihat meneteskan beberapa butir keringat dingin.
"Iya, Pak. Saya pasti akan lupakan itu." Esya berusaha menenangkan Zidane yang sudah sangat panik. Terlihat tangan lelaki itu bergetar hebat. Respon cepat yang Esya lakukan sebagai bawahannya adalah menyentuh tangan lelaki itu. Berharap gemetarnya terhenti. Tapi dugaan wanita itu salah. Zidane malah semakin gemetar. Bahkan itu lebih parah daripada di awal gejala paniknya. Lelaki itu cegukan sekarang.
"Ah, bagaimana ini. Pak, minumlah. Ayo minum," pinta Esya seraya membantunya menyodorkan gelas ke dalam mulut Zidane.
Banyak sepasang mata yang melirik mereka, menjadikan mereka tontonan seru pada siang ini. Biasanya Zidane akan berbicara kasar untuk membuat mereka tak menatapnya seperti itu lagi. Akan tetapi sekarang situasinya berbeda. Terlihat dari deru napasnya yang tersengal-sengal itu, pasti jantungnya sedang berdetak sangat cepat.
"Pak, tolong tenang." Esya makin menatap khawatir padanya. Karena gejala penyakit nerfous lelaki itu semakin menjadi-jadi.
"Esya, bisakah kamu membawa Pak Zidane ke klinik langganannya? Ini biaya operasional—" Seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapannya itu adalah manajer informasi yang mengeluarkan beberapa lembar uang padanya.
"Siap, Bu! Saya pasti membantu Pak Zidane!" ucapnya seraya membungkuk sebagai bentuk kesopanan pada senior. Ditariknya tangan lelaki itu, mereka segera pergi menuju alamat yang diberikan manajer informasi itu.
***
"Untung kamu segera membawanya ke sini. Kalau tidak, mungkin anak bodoh ini bakalan pingsan." Dokter muda itu terkekeh geli seraya memeriksa Zidane yang sudah setengah sadar.
Esya tidak begitu menghiraukan omongan tak penting itu. Dia menatap khawatir pada Zidane. Hatinya terus merasa bersalah karena Zidane terlihat sangat tersiksa.
Sampai-sampai dia tidak sadar kalau dokter muda yang ternyata bernama Gavin itu tersenyum ramah meliriknya.
Zidane belum sadar, lelaki itu dibius serta di infus. Esya mengekor di belakang dokter Gavin yang melangkah ke ruang kerjanya seraya melepas sarung tangan dokter.
"Kamu siapanya Zidane?" tanya Gavin seraya mengisi kertas resep dan berkas-berkas penting lainnya.
"Mm, saya karyawan baru di kantor Pak Zidane, Dok," jawabnya yang sedari tadi tak berhenti mengusap-usap telapak tangannya.
"Oh, begitu. Kukira pacarnya Zidane—"
Terdengar dehaman keras dari kamar pasien yang hanya terhalang hordeng. Gavin menggeleng-geleng dan terkekeh kecil. Esya hanya bisa mengamati perilaku keduanya tanpa berani buka suara.
"Maaf, maaf, deh. Oke, baiklah. Tolong kamu urus administrasi dan segera ambil obatnya, ya." Dokter Gavin beranjak berdiri melangkah mendekat pada Zidane yang belum membuka mata.
"Tunggu apa lagi? Ayolah, kita harus memberinya obat." Mendengar hal itu, Esya segera bergegas pergi.
***
"Hey, bangunlah. Tumben kok penyakit lamamu bisa kambuh?" tanya sang dokter seperti sudah kenal dekat dengannya. Sesaat dia mencubit kecil lengannya. Zidane meringis kesakitan melirik tajam pada lelaki berambut pirang itu, membuatnya terkekeh geli.
"Katamu, bagaimana wanita itu?" Zidane mulai membuka topik mengenai Esya. Dia berpikir, ini kesempatan yang bagus. Mereka tidak bisa bertemu lagi semenjak fokus pada profesinya masing-masing.
Hal yang membuat Zidane kesal adalah Gavin yang malah terkekeh seraya menggeleng-geleng kepalanya. Lelaki itu seperti sedang melucu. Apakah dia lupa, itu dapat membuat Zidane badmood?
"Gila … jadi, kamu sudah ingin melepas masa jomblomu, nih?" lelaki itu menatap kagum pada Zidane.
"Tidak juga. Tapi kalau wanita itu pas untukku. Yah, tidak ada pilihan lain," jawab Zidane seraya menghela napas panjang. Mendengarnya Gavin kembali terkekeh.
"Bodoh, bodoh. Mau sampai kapan kamu jual mahal sama wanita? Sampai kapan pun wanita akan kabur bila kamu seperti itu!" ejeknya lalu melangkah keluar dari ruangan itu.
"Hey! Tunggu! Gavin! Ash!"
"Apa? Aku ini sibuk, tahu!" sindirnya kepada sang sahabat lama. Dia berbalik badan, Gavin tidak tega jika terus-terusan memperlakukan sahabatnya yang polos akan dunia percintaan seperti itu.
"Apa kamu mau belajar dengan suhu of romance?" tawar Gavin seraya menaikkan satu alis. Dia kembali terkekeh karena merinding dengan sikapnya barusan.
"Ya, ya. Malam ini kamu ada acara? Mari ngobrol-ngobrol santai. Sudah lama, 'kan …."
"Bocah bodoh ini! Kalau ada maunya saja, ya! Dasar …." Tangannya mengacak-acak rambut Zidane.