"Yagi, kalo Lo jadi gue, Lo akan milih yang mana?" tanya Esya sembari memperlihatkan layar handphonenya. Wanita itu bimbang, harus memilih disaat dia sedang tak ingin berteman lebih dekat dengan siapapun. Yah, kecuali Yagi. Itu pengecualian yang sempurna.
Entah kenapa, Esya merasa ekspresi Yagi jadi berbeda dengan saat sebelum melihat layar handphonenya. "Kenapa, kok mukanya gitu?" tanya Esya penasaran. Sesekali dia menarik kencang pipi gemas lelaki itu.
"G-gue nggak milih siapa siapa. Buat apa milih cowok lain kalau ada cowok yang selalu ada buat l-lo?" Jawabnya dengan raut wajah cemberut. Entah kenapa suasana hati lelaki itu berubah jadi sedikit tak terima bahwa Esya akan jalan dengan salah satu dari mereka.
DEG!
Matanya membulat sempurna. Sesaat menunjukkan mimik wajah terharu. Dia tersenyum lebar, menatap bangga pada Yagi. Wanita itu menepuk-nepuk bahu lelaki yang tiduran di sebelahnya. Mereka sama-sama dalam posisi tengkurap sembari menopang dagu.
"Yagi … Lo … Lo main kemana aja, hah? Gila … gue kaget banget, lho. Nggak percaya …." Lirihnya masih pada ekspresi yang sama.
"Kenapa? Keliatan kayak cowok nakal, ya? Iya, saya belajar dari cowok-cowok tongkrongan sekitar rumah kamu." ucapnya yang mulai merubah posisi jadi rebahan. Terdengar helaan napas panjang darinya.
"Tapi, gue masih penasaran, deh. Sebenarnya Lo itu sejenis hantu, atau apa? Iya gue tau air mata gue. Tapi kenapa saat diluar rumah ini, gue nggak pernah lihat Lo?" akhirnya wanita itu punya kesempatan untuk berbicara hal yang dapat mengobati rasa penasarannya selama ini.
Yagi hanya menggeleng seraya tersenyum. "Yagi sendiri juga nggak tahu." Dia berbohong. Esya tahu dengan jelas bagaimana nada suara orang berbohong. Tapi, entah bagaimana caranya, pertengkaran mereka yang kemarin seolah-olah terlupakan begitu saja. Yagi memang selalu punya cara cerdik untuk mengambil hatinya.
"Ya udah. Gue tidur deh, ya. Besok aja deh balasnya. Pikiran gue udah butek banget ini." Keluhnya sembari menarik bedcover, menenggelamkan kepalanya agar bedcover itu bisa menutupi sekujur tubuhnya. Esya memang punya ciri khas tidur seperti itu. Dan Yagi sudah pergi dengan sendirinya.
"Syara … Esyara …. Tolong saya …." Lirih suara seorang pria yang terdengar familiar. Lagi dan lagi sepertinya situasi itu akan menghampirinya kembali.
"Yagi?! Itu Lo?!" teriak Esya dalam bedcover. Wanita itu panik. Mendadak perasaannya jadi tak karuan.
"Esya … hiks … tolong ibu, Nak … hiks …." Kali ini lirih suara mendiang ibunya. Esya benar-benar dibuat pusing lagi oleh semua teka-teki ini.
"Ck! Yagi! Gak lucu!!! Gue mau tidur! Stop, okay?!" pekiknya lalu berusaha memejamkan mata, mencoba mengetuk alam bawah sadarnya.
Di sudut kamar, terlihat Yagi berjubah hitam tersenyum jahat. Dia seperti memandangi Esya yang sudah tertidur pulas.
****
Burung-burung berkicauan, sinar matahari mulai menembus jendela kamar wanita itu. Ini adalah hari Minggu. Dimana dia harus segera membalas pesan dari kedua cowok itu. Antara Anugerah dan Zidane, dia harus memilih jalan dengan salah satunya. Sebab jam yang mereka janjikan tidak jauh berbeda.
Setelah selesai mandi, wanita itu sudah memutuskan untuk memilih siapa yang akan dibalas kabar baik olehnya. Karena dia pikir kalau jalan dengan Bos Zidane, pasti suasananya benar-benar rusak seperti kejadian kemarin, akhirnya dia membalas pesan Anugerah. Lagipula lelaki itu sudah punya pacar. Pasti mereka tidak berdua saja.
"Sudah siap! Saatnya chat Anugerah!" Antuasias Esya sembari mengetik sesuatu pada handphonenya. Mungkin wanita itu menghubungi yang punya acara.
Terdengar helaan napas yang sangat dekat dengannya. Esya sontak menoleh ke arah hembusan itu. Ternyata Yagi yang tiba-tiba muncul lagi. Dia menghela napas lega.
"Gue kira siapa. Ternyata lo." Kata Esya menghembus napas dan kembali melanjutkan ketikannya. Sesaat suasananya jadi hening dan terasa canggung. Baik Esya maupun Yagi, keduanya memilih diam-diam misterius.
Saat dia sudah beranjak berdiri melangkah keluar rumah, tiba-tiba Yagi berdiri dan mencekal tangannya. "Ca, kamu yakin mau pergi?" tatapanya seolah-olah mengatakan kalau dia berat hati menerima keputusan Esya.
"Kamu kalau mau ikut, ikut aja. Gapapa, kok." Sungguh wanita yang sangat polos. Dia tak tahu apapun tentang lelaki.
"Ca … kamu gak paham, ya …." gumamnya seraya menundukkan pandangan. Tangannya pelan-pelan melepas genggamannya. Dia seperti orang mulai pasrah kehilangan arah.
"Jangan gini. Ayok masuk dulu, deh." Langkahnya mengantarkannya ke ruang tamu. Diikuti olehnya.
Terdengar helaan napas sebelum sesaat kemudian melirik jam tangannya.
"Saya ganggu waktu kamu, ya. Silakan pergi, saya gapapa—"
"Yagi. Dengar gue baik-baik. Kalau ada masalah, yang diselesaikan itu masalahnya. Bukannya malah mengindari masalah kayak gini, Yagi!" tuturnya seraya menggenggam erat tangan lelaki itu. Sepertinya dia tak menyadari perubahan pada dirinya sendiri.
"Ca, gue suka sama lo." ucapan Yagi kali ini berhasil membuatnya diam membeku.
DEG!
"L-lo … gak lucu! Meskipun lo tau kisah hidup gue! Tapi candaan lo garing banget!" Katanya tetap dalam posisi yang sama. Degupan jantungnya terasa sangat cepat. Keringat dingin mulai menetesinya. Rasanya ingin sekali memaki lebih jauh, tapi ketegangan ini juga kerap menghantuinya.
Set!
Tiba-tiba Esya tergelincir sesuatu yang licin. Padahal dia memakai sepatu kets hari ini. Dia bergerak panik karena kehilangan keseimbangan. Tiba-tiba ditengah kepanikannya, dia merasakan ada tangan menjalar di sekitar pinggangnya.
Yagi berhasil menopang tubuh kecil itu. Mereka bersitatap sepersekian detik. "Ah … maaf, Ca." katanya dengan memalingkan wajah sebab malu.
Pelan-pelan degupan jantungnya mulai mereda. Esya melangkah pelan untuk duduk disana.
"Maksud lo …." Esya meragukan perkataannya. Dia sendiri juga tak percaya kalau Yagi bisa berbicara seperti itu. Entah hanya sekedar bergurau atau akan menjadi awal mula suatu keseriusan.
"Gue—suka!!!—Banget!!!—Sama lo!!!!—Esyara!!!!!" ucapnya sembari merogoh sakunya. Dia memberikan beberapa kepingan cokelat di telapak tangan wanita itu.
"Hah? Apaan sih, Gi! Gajelas banget, deh! Udah, ya. Lanjut nanti!" ucapnya seraya jalan terburu-buru menuju gerbang luar rumah.
Walaupun perasannya masih merasa ada yang aneh dengan sosok itu, Esya memilih untuk mengabaikannya.
"Hei!" sapa Anugerah dengan motor Vespa berwarna hitam. Laki-laki itu tampak tampan mengenakan pakaian simple serba hitamnya. Terukir senyum indah di wajahnya.
"Eh? Kita nanti jemput cewek Lo dulu?" Tanya Esya dengan kening mengerut. Tangannya mengambil helm dan memakainya.
Bukannya menjawab, dia malah tersenyum begitu saja. Entah mengapa pagi ini Esya dapat merasakan aura negatif yang dominan dari lelaki ini. Tangannya melingkar sempurna di perut sixpack itu.
"Kok kesini, sih? Bukannya jemput cewek lo dul—"
"Cewek gue naik dimana? Kursi penumpang cuma satu!" Anugerah tertawa terbahak-bahak, sekilas melirik penuh maksud pada Esya yang sedang kebingungan itu.
"Terus ini jadi cuma berdua?" Tanya Esya dengan wajah polos tanpa dosa.
"Lo maunya ber-berapa emangnya, hah?" Lagi dan lagi Anugerah tertawa, dan akhirnya dia duduk di kursi taman itu.
Terdengar helaan napas dari lelaki itu. "Nih, udah gue gelar tikar. Silakan duduk, cewek galakku." gombalnya yang pada kenyatannya dia duduk duluan di sana.
DEG!
Seketika wajah Esya memerah padam. Dia berjalan seperti orang tak tahu arah akibat terlalu parno.
"Woy! Cok! Ngapain kesana?! Duduk sini, neng geulis!" teriaknya sembari menyusul karena firasatnya mulai tak enak.