"Ayah gasuka kamu jalan sama cowok! Kamu mau jadi jalang, hah?!" bentak sang ayah sembari melayangkan sebongkah besi yang dengan jarak sepersekian meter akan mengenai kulit wanita itu. Tapi mendadak lampu kamar itu meredup bak di film-film horor.
Kebetulan, ayah Esya punya semacam trauma akan hal-hal mistis seperti itu. Jadi beliau tanpa pikir panjang langsung menjejakkan kaki keluar dari kamar putri semata wayangnya itu.
Dan sekarang yang tersisa hanyalah wanita itu. Dengan tubuh membungkuk akibat menahan rasa sakit akibat hantaman amukan ayahnya, wanita itu mulai berbaring di ranjangnya. Menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Mengeluarkan semua Isak tangis yang terpaksa ditahan sejak tadi.
"Ca," sapa seseorang dari luar selimut. Tangannya menarik-narik agresif dari luar selimut itu. Berkali-kali dipanggil nama panggilan kecilnya, tapi wanita itu tetap bersikukuh tidak menghiraukannya.
Sampai pada akhirnya …
PRANG!!!
Esya tersentak membuat selimut itu tertarik menampakkan wujud Yagi yang tengah memeluknya dengan erat.
"Jangan berisik bangsat! Bisakah kau tidur dan diam saja?! Kalau perlu mati saja! Menyusul ibumu yang bodoh itu!" bentak sang ayah dari ruang tamu membuatnya menangis dalam diamnya. Ditahannya Isak sesenggukan yang tercekat di tenggorokannya. Tangannya bergetar menahan emosi yang memuncak.
Dia berbisik dengan nada tertahan, "Yagi … gue gak kuat lagi! Gue mau ikut ibu aja … hiks … tolong bantu, ya …."
Wanita itu memukul-mukul punggungnya. Membuat yang memeluk terbawa suasana. Ini merupakan pertama kalinya Esya melihat Yagi ikut menangis.
"Ca, hey, tenang ya, tenang. Gue udah bantuin lo supaya nggak kena pukul bokap lo. Jadi tolong berjuang terus. Hidup terus," ucap suara hati lelaki itu seraya mengusap punggung Esya.
"Kan ada gue, Ca. Gue bakalan selalu ada buat lo. Gue bakalan selalu jadi orang pertama yang dukung lo. Dan gue yakin lo pasti bisa ngelewatin fase ini," tambahnya seraya mengeratkan pelukan itu.
"Fase ini? Fase ini kata lo?! Jelas-jelas setiap hari, dari gue kecil sampai sekarang, penderitaan gue tetap sama porsinya, Gi!" umpatnya dalam hati tak terima. Deru napas membaranya telah terdengar. Dia pasti sudah terpancing emosi akibat ulah Yagi.
"Gue benci diri gue sendiri, Gi! Gue benci! Udahlah emang gak ada yang harus dipertahankan lagi! Gue mau mati aja!" kata Esya dalam hati, wanita itu memilih untuk berkomunikasi dengan cara seperti ini. Karena ayahnya tidak pernah tahu tentang Yagi. Jadi itu akan menjadi suatu keanehan jika dia berbicara sendiri. Bisa-bisa pertengkaran berujung main tangan itu bisa terulang lagi.
"Ca, lo mau ketemu ibu lo kah? Sekali ini aja tapi," celetuk Yagi dalam batinnya. Karena mereka berpelukan, suara hati mereka terasa lebih mudah terhubung.
Esya mengangguk cepat, diusapnya linangan air mata itu. Ada secercah harapan dari sorot matanya yang rapuh. Dia tidak tahu hal buruk apa yang akan terjadi di masa depan karena perbuatan mereka hari ini.
"Tapi ada resikonya. Nggak apa-apa, kah?" tanya Yagi, mulai melepaskan pelukan itu.
Lagi-lagi Esya hanya mengangguk cepat. Dia tidak mau tahu kalau kemarin Yagi bersikeras untuk tidak menyuruhnya memanggil arwah ibunya lagi. Yang gadis usia sembilan belas tahun itu tahu adalah dia akan segera bertemu dengan ibunya.
"Ibu? Emang lo bisa manggil ibunya yang terperangkap jiwa perjanjian terlarang itu?" tanya salah satu roh yang menembus dinding rumah Esya.
"Ya, jelaslah! Mana mungkin saya bohong? Yuk, Ca." ajak Yagi dalam batinnya, dia menatap mata wanita itu seraya menggenggam tangannya.
***
Mereka sudah tiba di ruangan ICU persis dimana ibunya dirawat. Ini sudah sebulan dari hati pemakaman ibu. Esya mengingatnya dengan sangat detail.
Dengan berurai air mata, derap langkahnya pelan-pelan mendekati wanita paruh baya yang terbaring lemah. Dicium kening sang ibu dengan sangat lembut. Isak tangisnya ternyata tak membangunkan sang ibu.
"Jangan di ganggu dulu. Mungkin ibumu masih butuh istirahat." Yagi menghampirinya seraya mengusap-usap punggungnya. Sepertinya lelaki itu sudah terbiasa melakukannya.
"Ibu, ibu harus bertahan, ya … unghuhuh …." Seakan-akan Esya tidak menghiraukannya. Perasaannya kacau balau. Seolah tidak sadar kalau ini hanyalah ilusi yang lelaki itu buat.
"Yagi, ini udah lama banget kita disini. Kok ibuku belum bangun juga?!" desak Esya masih berurai air mata. Tangannya bergetar menggenggam tangan hangat sang ibu. Sesaat dia mencoba mencari urat nadi sang ibu, hendak memeriksanya.
"Saya bisa membuat ibumu bangkit kembali. Itu pun kalau kamu mau," celetuk salah-seorang yang memakai gaun hitam pekat serasi dengan lipstik hitam yang dia kenakan. Tiba-tiba wanita itu muncul begitu saja.
Esya melempar pandangan heran pada lelaki itu. Tapi, saat dia menoleh, Yagi sudah tidak ada di sisinya.
"Y-yagi?! Lo di mana? Yagi?!" sapa Esya seraya menggenggam tangan ibunya erat-erat. Saat ini sepertinya wanita itu merasa posisinya terancam.
Wanita bergaun hitam itu tertawa cekikikan. "Aku sedang mengajakmu berbicara, lho! Hey!" dia melangkah mendekat pada Esya yang melihatnya dengan ketakutan.
"Jangan takut, gadis cantik. Aku tidak akan menyakitimu, kok!" Sekarang dia sudah duduk di sofa ruangan ICU itu.
Bertopang dagu dengan manis, dia tersenyum melihat Esya yang tampak khawatir membangunkan ibunya yang sudah tidak ada.
"Percuma kamu mengguncangnya seperti itu. Dia nggak akan bangun, kok—"
"Diam! Jangan berbicara lebih jauh! Hiks … kita nggak kenal!" bantah Esya dengan tangan bergetar menahan emosi.
"Kamu mau saya bantu, tidak?" tanyanya sekali lagi, dia melangkah mendekat pada Esya. Sesaat tangannya mengelus lembut rambut Esya.
"Cantik, kau malang sekali. Karena aku sedang bersuasana hati bagus, jadi kubantu," ucapnya sembari tersenyum tulus, "kita bangkitkan ibumu, ya."
Tangannya menggenggam tangan wanita tua yang lemah itu. Esya membiarkan tangan wanita itu menggantikan posisi tangannya.
"Bangkitlah wahai roh jauh. Disini ada yang merindu. Siapa pun yang bisa membuat keajaiban, kan kuberikan sesuatu," kata wanita itu dengan suara lantang. Dia tersenyum lebar, sesuatu seperti urat muncul menghiasi permukaan wajah cantiknya.
Esya bergidik ngeri melihat perubahan pada wajah wanita itu. Dia seolah tak percaya dan bersugesti negatif terus-menerus, tapi pada kenyataannya sang ibu telah membuka mata. Walaupun sorot matanya terlihat sangat rapuh.
"Bu, ini aku …," lirihnya sembari mendekat lagi "ibu nggak akan pergi, 'kan?" tanyanya seraya berurai air mata.
"Bicaralah apa yang ingin kalian perbicarakan. Waktunya hanya sepuluh menit!" Dia kembali duduk di sofa, bertopang dagu seraya memperhatikan mereka.
Tangannya yang rapuh mulai menyentuh wajah anak kesayangannya. Kemudian sang ibu tersenyum sederhana, lalu berkata, "Sya, hiduplah dengan baik. Semuanya akan terungkap bila sudah waktunya. Aku tak bisa memberitahu lebih jauh."
Suara lirihnya yang menerobos indera pendengarannya seolah menyayat hati. Rindu lama yang bersemayam dalam batinnya seolah sedikit terobati."Aku sayang ibu. Aku ingin ibuku sehat kembali. Bu …."
Dan ibunya benar-benar pergi lagi. Tidak ada pembicaraan serius yang mereka bicarakan. Matanya tertuju pada wanita yang sedang duduk santai itu. "Aku yakin ini belum sepuluh menit! Kenapa kamu ingkar janji?!" nadanya meninggi karena gejolak emosi yang tak tertahankan itu meluap.
"Tunggu dulu, gadis malang. Kita, 'kan belum buat perjanjian mutlak!" ocehnya tak mau kalah dengan nada yang lebih tinggi. Dia berdiri, menghampiri Esya yang menggertakkan giginya akibat menahan emosi.
"Apa kamu nggak tahu penyebab ayahmu marah, hah?! gadis bodoh!" hinanya dengan memojokkan Esya.