Chereads / Tears Addict / Chapter 8 - Amanah Mendiang Ibu

Chapter 8 - Amanah Mendiang Ibu

"Sya, saya antar," ucap Zidane tanpa menoleh ke arah wanita itu, dia sudah membuka pintu mobilnya untuk Esya.

Melihat hal itu, Esya tidak tahu harus berkata apa. Jauh di hati kecilnya, dia tidak ingin mengatakan iya. Sebab diantar pulang dengan bos besar tentu bukan hal yang umum. Pasti hal itu akan memicu api di antara para karyawan lama. Esya akan susah kedepannya.

Sekarang saja, Bu Hana sudah berada di belakang wanita itu. Sepertinya atasannya tidak rela kalau Zidane lebih dekat dengan Esya.

Ibu Hana berdeham, "Aduh, kesayangan bos, ya. Enaknya jadi kamu. Karena cantik, jadi apapun bakal mudah. Beda sama aku yang nggak laku-laku—" omongannya terputus ketika tak sengaja bertatapan dengan Zidane. Wanita itu terlihat kikuk karena tatapan direkturnya.

"Jaga bicara Anda! Ini bukan urusan Anda!" bentaknya, terlihat kilat-kilat api begitu membara ketika Zidane berbicara dengan Ibu Hana. Ditariknya tangan Esya. Lelaki itu tidak peduli akan perasaan karyawan barunya. Benar-benar seseorang yang egois.

"Masuk, Sya! Saya ada keperluan denganmu!" perintahnya. Dan beberapa detik kemudian mereka telah keluar dari lingkungan kantor.

***

"Pak, ada urusan apa, ya?" tanya Esya sembari menjentikkan tangannya. Wanita itu grogi setengah mati. Dia takut kalau ada tingkah yang salah menurut Zidane, jadi wanita itu bertingkah sebaik mungkin.

Zidane tersenyum ramah, sekilas melirik Esya. Entah kenapa, suasananya kembali mencair. Zidane bersiul-siul seperti ingin membuyarkan pandangan Esya tentang bosnya yang super arogan dan pemarah.

"Kita akan makan malam bersama, Sya," jawabnya setelah beberapa menit hening. Esya hanya beroh saja.

"Sya, sebenarnya kamu tahu saya, 'kan?" tanyanya yang terdengar cukup misterius. Esya menoleh, dahinya bertaut.

'Maksud Pak Zidane apa, ya?'

"Em, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Esya, kali ini dia menatap mata pak Zidane yang terlihat fokus menyetir.

Alih-alih menjawab, Zidane malah tertawa getir. "Kamu nggak tahu saya? Em, dulu—" omongannya terputus ketika terdengar deringan handphone milik Esya.

"Maaf, pak. Saya angkat dulu," ucapnya sembari merogoh mencari keberadaan handphone di dalam tas kerjanya.

"Halo?" sapa Esya kepada orang diseberang sana.

Entah apa jawabannya, tapi yang jelas raut wajahnya jadi suram sekarang.

Zidane menyentuh paha Esya, sedikit menggoyangkannya. Sepertinya itu isyarat kalau direktur utama itu ingin tahu apa pembicaraan yang membuat raut wajah Esya berubah.

Tapi wanita itu malah mengisyaratkan gerakan tangan seperti "jangan ganggu aku dulu" melihat hal itu, Zidane berusaha memahaminya.

Sampai pada akhirnya, telepon itu terputus.

Mendadak suasananya jadi kurang bagus. Hening.

"Sya, ada apa—"

"Pak, saya mau pulang sekarang aja. Terlalu capek rasanya kalau mampir dulu untuk makan malam. Bisa, ya?" tanyanya dengan nada suara seperti menahan sesuatu di tenggorokannya.

Seperti isak tangis yang tertahan di kerongkongan.

Zidane melanjutkan perjalanannya. Sekarang jalurnya diubah. Dia akan menuruti Esya. Mobil itu melaju cepat ke arah rumah wanita itu.

"Sya, kalau ada apa—" Direktur itu berhenti berbicara.

"Ah, nggak! Lupakan!" ucapnya sembari melajukan mobil tersebut, seketika hilang dari pandangan Esya.

Wanita itu menghela napas, dibukanya pintu rumahnya, dan seketika itu juga wewangian embun berhembus menuuk indera penciumannya.

"Yagi? Di dalam?" tanya Esya sembari celingak-celinguk mengedarkan pandangannya. Tapi nihil. Tidak ada siapa-siapa disini.

Dibukanya high heels sepatu yang baru dibeli seminggu yang lalu, dan sekarang seperti biasa. Wanita itu menghempaskan tubuhnya di atas kasur tanpa bebersih diri dulu.

"Ey, jorok kali, bah!" ucap pria yang tiba-tiba muncul di samping Esya. Posisi mereka sama. Bedanya, Yagi menatap Esya, dan wanita itu menatap langit-langit kamarnya.

Wanita itu melirik ke arahnya. Dia harap itu hanya halusinasi belaka. Atau, wanita itu akan berpikir adanya hantu di kamarnya yang biasanya damai tentram itu.

"Hah?" gumam Esya menatap bola mata hijau Yagi, pria itu tengah tersenyum manis bak bayi yang baru berumur setahun.

"Ahh!!" pekik Esya, wanita itu terlonjak kaget, seketika bangun dan duduk.

"L-lo, lo Yagi?" tanya Esya yang tengah ketakutan, dia menelan salivanya, perlahan-lahan dia memundurkan langkahnya. Tapi, Yagi berhasil menarik tangannya dengan sekali tangkapan.

"Mau kemana? Yagi boleh ikut, nggak?" tanyanya dengan tatapan seperti seekor anjing yang menyedihkan. Esya benar-benar tidak suka tatapan itu.

"Ah! Lepas!"

"Gue nggak kemana-mana! T-tttapi, lo jelasin dulu, Lo itu makhluk aneh apa?!" tanyanya.dengan tatapan seperti ingin menguak setiap rahasia yang lelaki itu miliki.

"Kemarin, kemarin kamu sama saya ngobrol. Eh? Curcol maksudnya! Em, nggak juga, sih?!" Gelagat lelaki itu seperti bertanya pada diri sendiri. Esya menggeleng-gelengkan kepala.

'Lelaki aneh!'

'Sebenarnya lo siapa?'

'Ah …!'

'Apa orang gila yang kabur dari Rumah Sakit Jiwa, ya?!'

'Hah, bisa jadi! Coba telepon—'

'Ngapain?'

Seketika mata Esya membelak. Dan orang yang dipanggil Yagi itu tersenyum mengejek.

"Capek tahu, gunain kekuatanku cuma buat ngobrol di dalam hati! Padahal kamu dan saya bersama-sama!" protes Yagi, cowok itu memanyunkan bibirnya, tingkah lakunya benar-benar seperti anak kecil. Esya benci pria seperti itu.

"Aish! Siapa yang suruh kamu kesini? Lagian, kamu itu apa, hah?!" pekik Esya yang sudah berapi-api, dia menarik paksa tangan Yagi.

"Sekarang, kamu keluar dari sini! Saya lagi capek! Cepat!" Kali ini sepertinya emosi Esya benar-benar sudah di puncak. Wanita itu menarik tangan Yagi keluar dari kamarnya. Dan cepat-cepat ditutup juga dikunci pintu kamarnya itu.

'Njir, sampe ngikut ngomong Saya-sayaan gini, dong …'

"Ah … padahal ini nggak ada gunanya, hihihi." Suara Yagi terdengar lagi. Esya yang tengah berbalik badan itu tersentak karena tiba-tiba saja Yagi sudah berada di depannya.

"Anjir! Ngapain, sih?!"

"O-oke! Gue telepon Rumah Sakit Jiwa sekarang—" ucapannya terpotong ketika Yagi menarik handphone itu, membantingnya ke kasur dan menarik tubuh Esya untuk merapat padanya. Tanpa ada jarak, tubuh mereka bersentuhan sekarang. Hembusan napas Yagi begitu terdengar karena posisi mereka yang sangat dekat.

Mereka bersitatap, perlahan-lahan, Yagi memeluk Esya, mengusap pucuk kepala wanita itu, membiarkannya tidur di dada bidangnya.

"Ca, kata mendiang Ibu, saya dititip buat jagain kamu sebelum kamu bertemu pria yang benar-benar tulus mencintaimu. Boleh, 'kan saya tetap disini? Hihihi," ucap Yagi, seperti biasa, suaranya sangat mirip dengan mendiang Ibu, indera Esya mendengar suara itu dengan baik. Sampai-sampai Isak tangis yang sedari tadi ditahannya keluar lagi.

"Umhuhuh … Ibu gue dimana?" lirih Esya yang semakin tenggelam di dada bidang Yagi. Gusrakannya membuat baju lelaki itu basah akibat ingus Esya.

Sepertinya wanita itu sudah lupa kalau dia masih menaruh tanda tanya besar pada Yagi. Esya tidak pernah dengan mudahnya percaya pada orang lain. Apalagi orang yang tiba-tiba muncul dihadapannya.

"Gi, lo bisa nggak, bawa Ibu kesini?" Esya menatap Yagi, wanita itu tidak bisa berhenti meneteskan embun air matanya. Semakin dieratkan pelukannya pada Yagi. Ah, Esya sepertinya akan rapuh di depan Yagi pada malam ini.