Yagi menggeleng lemah, "Nggak bisa, Ca. Maaf ya," tuturnya sembari mengusap pucuk kepala wanita itu. Dikecupnya dahi Esya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Akan tetapi tiba-tiba saja Esya berubah pikiran, dia kembali seperti semula. "Apaan, sih! Jangan sentuh-sentuh gue!" larangnya menjauhkan diri dari Yagi. Lelaki itu ternganga.
Dahinya bertaut, "Hah? Kenapa? Caca ngambek—"
"Gak! gue nggak ngambek sama sekali! Tapi lo! Lo bisa aja, 'kan bukan orang baik-baik! Bisa aja lo nipu gue!"
Lelaki itu tersenyum, seakan-akan dia sudah paham dengan gelagat aneh wanita dihadapannya.
"Ca, saya orang yang di kirim ibu, masa kamu nggak percaya, sih?"
"Gak! Gue gak percaya siapapun!" Esya menangis sejadi-jadinya, sepertinya ada hal lain yang dia takuti selain kebohongan Yagi. Masa lalu yang begitu pilu, begitu menyakitkan, dia mengingat semuanya. Ingatannya itu terasa sangat lancar.
Dia terlihat seperti wanita yang depresi. Gelagatnya, memukul-mukul bantal, membuang-buang benda apa saja yang ada di dekatnya. Yagi yang melihatnya terhenyak pada pemandangan suram itu.
"Ca …."
"Diam, Gi! Diam! Uhuhuh …."
"Kenapa sih, kenapa ibu harus pergi?! Kenapa! Padahal, gue mau lihatin nilai gue yang mendadak naik!" ucapnya, diambil map merah berisi berkas-berkas penting mengenai kelulusannya. Ditarik paksa dan di tunjuk-tunjuk beberapa nilai tertinggi yang tertulis di berkas itu.
"Gue peringkat tiga, Gi! Lo tahu? Gue hampir stres mikirin gimana caranya supaya orang yang otaknya pas-pasan kayak gue ini bisa raih lima atau tiga besar! Dan, sekarang? Apa? Ibu … uhuhuhu …, hiks, gue cuma punya Ibu, Gi! Gue nggak punya siapa-siapa lagi!" Esya terbaring lemas, sepertinya dia terlalu over menggunakan tenaganya hari ini.
"Ada saya, Ca," jawabnya lembut. Kali ini Yagi ikut berbaring juga, dan tangannya menggenggam tangan Esya. Memberikan dukungan untuk wanita malang itu.
"Maksud lo?" tanya Esya yang menatap Yagi dengan tatapan bingung. Bagaimana tidak bingung, mereka saja baru bertemu beberapa hari, Esya tidak mungkin berteman bahkan percaya pada orang baru. Wanita itu selalu privasi.
"He'em, gue yang akan jagain lo, mulai sekarang sampai nanti."
'Dia gila, ya?'
'Buat apa juga dia jagain orang nggak berguna kayak gue?'
'Apa dia punya maksud tertentu kayak David?'
Dan kejadian aneh yang kemarin terjadi lagi. Jujur, wanita itu belum paham dengan semua yang terjadi belakangan ini. Karena otaknya memang lemot.
'Kamu berguna, Ca.'
'Jangan bicara gak baik kayak gitu.'
'Hidupmu itu penting. Hidupmu juga berharga. Kamu pantas dapat hak hidup yang adil.'
'Saya datang kesini, dikirim kesini bukan hanya karena menemani kamu. Tapi, saya juga harus menyelamatkan kamu.'
Esya tersentak, perlahan-lahan tubuhnya bergerak menjauh dari Yagi yang tengah tersenyum menatapnya.
"L-lo, ya?" tanyanya dengan deru napas cemas.
"Apanya?" berbeda dengan Esya, Yagi selalu santai dalam semua situasi.
"Iya … yang tadi itu …," jawabnya terbata-bata.
Yagi mengangguk pelan, lelaki itu selalu terlihat kalem, tenang dan damai.
"K-kenapa lo bertingkah aneh gini, sih?!" tanya Esya dengan nada melengking di akhir kata.
"Aneh gimana sih, Ca?" Lagi dan lagi, nada bicaranya itu sangat enak didengar. Sepertinya dia piawai menggunakan intonasi suara. Padahal, dia pria.
"Yang tadi, yang suara di dalam hati gue!" Esya membentak lelaki itu, tampak raut wajah sedih karena sepertinya kalau dilihat-lihat dari bobot bicaranya, Yagi tidak pernah dibentak sebelumnya.
"Iya, itu wajar, kok?" matanya tidak bisa fokus, melirik-lirik ke sembarang arah. Dia tak menatap Esya.
"Hah? Di dunia gue, itu aneh! Paham nggak, 'sih!" Suara Esya meninggi.
"A …, em … gimana ya, jelasinnya …, tapi dari kecil kemampuan itu udah melekat pada saya," ucapnya terputus-putus. Lelaki itu tidak sadar telah menceritakan sedikit keanehan yang dimilikinya.
"Sebenarnya lo itu dari mana? Ah, coba jelasin yang detail, deh! Mungkin gue bisa paham!" Esya semakin tak paham dengan semua ini. Dia berpikir bahwa seharusnya ibunya lebih banyak meninggalkan clue dalam permasalahan embun air mata. Ah, mengingat mendiang ibu, wanita itu jadi sedih lagi.
Yagi menghela napas, "Saya itu embun air mata yang selama ini kamu kumpulkan. Lalu, kemampuan saya memang bisa mendengarkan isi hati seseorang yang saya anggap teman atau kenalan."
"Ah, apa sih! Ini diluar nalar manusia! Nggak-nggak mungkin!" Esya menggerutu, dia meninggalkan Yagi sendirian di dalam kamarnya. Wanita itu sudah tak tahan dengan rasa lapar yang terus menyakiti lambungnya.
"Ca!" terlambat, Esya sudah pergi keluar.
=======
Segera diambilnya mangkuk, wanita itu memilih memasak mie untuk makan malam kali ini. Ah, karena Esya benar-benar pengatur keuangan yang baik. Dia juga mampu berpikir kritis agar tetap bisa bertahan di tengah dunia yang kejam ini.
Menurutnya, sebelum uang gajian pertama digenggam, dia akan mengirit uang peninggalan ibunya.
Kali ini Esya tak makan di kamar. Langkah kaki itu mengantarkannya ke ruang keluarga. Ruang dimana biasanya ibunya terlihat bersantai-santai setelah melakukan segenap aktivitas rumah yang melelahkan.
"Jangan sedih, oke. Jangan sedih," Esya berusaha menyemangati dirinya. Beberapa menit mie itu sudah habis beserta kuahnya, karena Esya suka sekali menonton Asmr makanan di YouTube. Jadi, wanita itu mencontohnya.
Setelah menaruh mangkuk bekas mie di dapur, sekarang wanita itu melangkah kembali ke arah kamarnya. Tapi …
Esya ragu, wanita itu terus memikirkan apakah Yagi itu bukan makhluk yang berbahaya untuknya?
Esya bingung, apakah dia akan melangkah masuk ke dalam kamarnya, atau kembali ke ruang keluarga sambil menenangkan pikiran.
Sekarang dia sudah berada di depan pintu kamarnya. Wanita itu terlihat ragu untuk membuka pintu. Seperti ada yang mengganjal di lubuk hatinya.
'Gue takut, Yagi itu bukan orang baik.'
'Kalo ternyata dia suruhan keluarga ayah, gimana?'
'Atau, dia di utus seseorang untuk menyakiti gue?'
'Ah, gimana ini? Badan gue lelah banget. Pengen langsung tidur supaya besok nggak telat berangkat kerja.'
Esya mendengus, wajahnya telah ditekuk sejak tadi dia di depan sini. Tanpa menyadari, kakinya perlahan-lahan melangkah ke dalam kamarnya.
Tunggu ….
Apakah dia benar-benar sudah yakin?
Matanya membelak ketika tangannya hampir menggenggam gagang pintu. Tapi sepertinya dia kesusahan untuk menahan gerakan tangannya. Sepertinya semua gerakan tubuhnya telah dikendalikan seseorang.
'A-apa-apaan ini?!'
'Gila! Hey! Siapapun tolong hentikan!'
'Heh!! Gimana ini!!! Ah!!!'
Karena terlalu panik, saat tangannya membuka pintu kamarnya, wanita itu langsung memejamkan matanya. Tapi, tiba-tiba tangan itu disentuh oleh seseorang. Lagi dan lagi dia seperti dejavu, jatuh ke dalam pelukan dada bidang dari seorang lelaki yang bau tubuhnya terasa sangat familiar.
Esya mengendus-endus bau tersebut. "Kayak kenal?"
"Hihihi, kenapa diam di depan pintu kamar? Ca, ini, 'kan kamarmu! Kenapa takut-takut gitu, sih?"
Lelaki itu banyak omong. Dia seperti berbicara dengan temannya yang sudah kenal lama. Jadi terasa sangat akrab.
"Jangan sok dekat! Iiihh! Kenapa sih! Dibilang jangan peluk sembarangan tanpa seizinku! Kau dengar gak, sih!?"
"Dasar gila …."
Lagi dan lagi, seperti terasa Dejavu, Esya memarahi lelaki itu, dan yang dimarahi tampak begitu sedih, sampai-sampai sorot matanya terlihat berkaca-kaca. Sebentar lagi air matanya pasti jatuh.
"Haish …, jangan menangis kek! Lelaki kok nangis begitu—" Esya medongkol, dia sepertinya sangat terusik sampai-sampai metode halus untuk mengusir seorang teman itu digunakannya kembali.
"Ca, saya salah apa? Hiks, hiks," lelaki itu sudah menangis. Merengek seperti bocah kecil. Dia sudah berlutut, memandang Esya dari kerendahannya.
"Maaf …," lirihnya, mendekati Esya.