Chereads / Tears Addict / Chapter 11 - Mulai merasa nyaman

Chapter 11 - Mulai merasa nyaman

Setelah pulang kerja, tepatnya hari kelima dia bekerja di perusahaan bos absurdnya itu, Esya menghempaskan tubuhnya di atas kasur bahan utamanya kapuk. Tidak empuk. Sekarang ini uluh hatinya terasa panas, begitu nyeri.

Semalam, entah bagaimana caranya–wanita itu sudah tidur sejak terakhir kali mengingat pembicaraannya dengan Yagi. Tak mau ambil pusing, dia bergegas pergi ke kantor.

"Gapapa. Nangis aja, Ca. Kadang kala, nangis itu obat buat kamu," ucap seseorang yang bernama Yagi. Nama itu adalah nama buatan Esya.

Esya menoleh, dia mendengus, ternyata Yagi sudah berubah wujud pria tampan seusianya. Dia belum pernah cerita atau pun keluh kesah pada Yagi. Dulu, David pacarnya yang super kasar telah banyak menaruh goresan luka dalam di lubuk hatinya. Bahkan untuk mengingatnya saja terasa perih. Esya sudah melupa.

Nanar matanya rapuh. Berjalan gontai ke arah setumpuk pakaian kotor. Kemudian jari-jemarinya mulai menyentuh kancing pertama yang akan dibuka. Ups! Esya melupakan sesuatu!

Segera menoleh ke belakang. Dan benar saja. Cowok yang namanya Yagi itu belum menghilang. Dia terdiam menatap Esya yang sedang menatapnya juga.

"Apa? Jadi curhat kah?" Yagi berjalan mendekati Esya. Tapi gerak jari telunjuk Esya memberi isyarat rahasia. Dia menunjuk kemejanya sendiri. Esya yakin sekali kalau semua makhluk bernama cowok selalu peka terutama terhadap hal-hal sensitif terbilang vulgar itu.

Diluar dugaannya, cowok yang baru dia temui dua hari yang lalu itu malah mengerutkan dahi. "Hah? Apa Ca? Biasanya kamu selalu berbicara walaupun sedih," tanya Yagi terang-terangan. Dia memang selalu berbicara sesuai hatinya. 

Esya menghela napas. Tangannya mulai membuka kancing baju itu satu persatu dari yang paling atas. Moodnya sedang sangat buruk. Berbicara saja rasanya bisa membuatnya mual seperti orang hamil. Dia sedang malas berbicara pada saat itu.

Akan tetapi, siapa sangka Yagi malah berjalan mendekatinya sebelum beberapa saat berhenti. Esya membelakkan mata dan Yagi pun tersenyum dengan kemunculan asap abu-abu seperti biasa. Dia hilang seketika.

Esya mengelus dada. Dia kira Yagi akan melakukan tindakan gila seperti cowok umumnya. Dibuangnya sembarang baju serta rok hitam bekas kerjanya hari ini. Dengan sekali gerakan, baju rumahan sudah terpasang rapi di tubuh kecil berwarna tan. Tak lupa mengikat rambut gaya cepol andalannya. Tetap terlihat cantik meskipun belum mandi. Itulah Esya.

Kembali membaringkan tubuh, mendesah pelan akibat aktivitas hari ini yang terlalu over. Hari kelima masuk magang di sebuah perusahaan yang ternyata menuntutnya banyak hal. 

Selang beberapa detik terdengar suara cowok mendesah. Esya menoleh. Ternyata Yagi. Biar bagaimanapun dia tetap belum terbiasa atas keberadaan Yagi yang bisa muncul kapanpun di dalam kamarnya.

Ditatapnya Yagi tanpa sepatah katapun. "Ca, kalau ada masalah cerita. Apa gunanya Saya disini?" Ucapan Yagi terdengar lembut menusuk-nusuk bagian hati terdalam. Mengorek sejumlah masalah yang sudah dikunci rapat saat masuk kamar ini.

Esya belum mau cerita. Dia masih bungkam soal masalah kesehariannya. Menceritakan pada cowok yang belum lama dikenalnya bisa membuat hal itu sebagai aib terbesar dalam hidupnya. Esya tidak mau mengulang kesalahan lagi seperti waktu bersama si brengsek David, mantan pacarnya. 

'Cerita aja apa susahnya sih? Saya nggak bakal ngalah kalau kamu nggak cerita apapun tentang hari ini,' batin Yagi.

Yagi juga memiliki kemampuan khusus utama. Ternyata ucapan batinnya bisa terkoneksi dengan omongan batin Esya ketika dia bungkam seperti sekarang. Mereka seperti berkomunikasi dalam hati.

Yagi tersenyum ketika melihat kedua mata indah Esya mulai menampung bulir bening yang beberapa kali sudah tumpah. Sekarang posisi Esya tidur miring menghadap Yagi. Begitupun sebaliknya.

"Apa?" Pancing Yagi sekali lagi. Dia begitu penasaran tentang kejadian apa saja hari ini. Karena Esya tidak pernah nangis di tempat selain kamarnya. 

Jauh di lubuk hati, Esya berusaha mati-matian untuk menahan ocehan keluh kesah batinnya. Dia pasti akan sangat malu pada Yagi. Terjaga dari diamnya, tapi terus mengoceh di dalam hati sudah bisa dikatakan pengecut. Akan jatuh harga dirinya.

Sampai di titik dimana batinnya sudah tidak kuat menahan berbagai pancingan Yagi. Akhirnya Esya bangkit, duduk, dan bersiap berkoar-koar mengeluarkan segala hal yang terjadi hari ini.

"Gue tuh capek! Uhuhuhu … Gue belum sedewasa itu! Belum Yagi! Belum … uhuhu …," Esya menggeleng emosi, dadanya kembang kempis, perlahan-lahan uluh hatinya mulai lega karena telah meluapkan tekanan batinnya. Tangan itu tidak bisa diam, dari tadi sibuk memukul bantal yang tak bersalah. Rintikkan deras dari kedua matanya tak bisa berhenti mendarat mulus di kedua pipinya. Berkali-kali terdengar isak sesenggukannya.

Yagi tersenyum tulus,  mengelus pucuk kepala Esya. "Anak pintar! Gitu dong! Biasanya juga kamu—" omongannya terpotong karena tangan Esya segera membekap mulut Yagi. Dia mendengar langkah kaki seseorang di luar kamarnya. Terlebih lagi, Esya berfirasat Yagi akan berkata tentang seribu banding satu juta aib yang dia ketahui selama ini! 

Walaupun Yagi bisa berubah menjadi air embun kembali, tapi suaranya akan tetap terdengar oleh siapapun. Menurutnya, obrolan serius tadi berpotensi membuat Esya dicurigai. Dia berpikir keras supaya bisa mengembalikan situasi jadi normal.

"Ah, iya Ra? Nanti deh pokoknya gue ceritain. Udah dulu ya? Dadah, i miss u!" ucapnya pura-pura menerima telepon.

Yagi menatap jahil pada Esya. Dia menggigit salah satu jemari Esya. 

"Awh!" pekik Esya meringis. Matanya membelak. Lekas membungkam mulutnya. Karena ayahnya adalah seorang detektif kepolisian. Jadi Esya sangat khawatir sekaligus kesal atas tindakan ceroboh Yagi.  Dia menendang benda pusaka milik cowok tampan itu.

"Ahh! Sakit tau!" Yagi meringis memegang benda berharganya. Sedetik kemudian, tersenyum jahil lagi. Esya segera membungkam mulut Yagi. Karena situasinya begitu mencekam. Mereka menahan napas beberapa saat.

Terdengar deheman ayah Esya. Tepat di depan kamarnya. Esya dan Yagi tersentak kaget. Saling bersitatap mata. Diam membisu dengan pembicaraan gaib lewat kontak mata saja.

Tok! Tok! Tok!

Ayah Esya menggeber pintu kamarnya. Ketukannya menggetarkan seisi ruangan atas.

"Esya! Apa kamu membawa teman pria?" Suara ayah Esya meninggi. Lalu ketukan kedua kalinya …

Brak!! Brak!!! Brak!!!

"Esya! Jawab!!!" Kali ini suara ayahnya terdengar semakin sangar. Ini berbahaya. Esya segera memutar otaknya.

"Eungh … iya, Yah …?" lirih Esya. Terdengar suara parau seperti orang habis bangun tidur. 

Terdengar hembusan napas berat ayah Esya. Lalu dia hanya beroh pelan sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu.

Esya menghela napas lega. "Gi, Lo harus tahu tempat kalau jahil! Hampir aja kita ketahuan tahu, gak?" Esya melirik Yagi. Yang di lirik malah tertawa kecil. Senyumnya sangat manis. Gigi rapi lengkap dua gingsul kecil, kumis tipis, hidung mancung, dan bola mata hijau terang bak keturunan Eropa. Warna kulitnya cerah.

Pipinya memerah. Esya memalingkan wajah. Degupan jantung di dadanya berdetak kencang. Ada sebuah perasaan aneh jauh dalam lubuk hatinya.

'Gue kenapa?' batin Esya. Dia mulai bingung.

"Ca? Hey … jadi kah curcolnya? Hihihi," Yagi berpindah tempat ke sisi kanan Esya. Tatapan mautnya terlihat lugu. Dia menatap Esya semakin lekat. Pelan-pelan mendekat. 

Mereka bersitatap cukup lama. Sampai akhirnya Esya mencubit pinggang Yagi. "Sshh! Aih!" Desisnya meringkuk kesakitan, bibirnya manyun tak terima.

Esya menghela napas, menatap lekat-lekat. 

'Sumpah ya, Lo beban banget!' Batin Esya mengoceh. Matanya bergerak-gerak seperti mengulik bongkahan rahasia besar dibalik sorot mata hijau Yagi.

'Kenapa nggak cari majikan baru aja, sih?!' Sambungnya. Dia mendengus kasar.

'Biar, wle! walaupun saya beban, kamu sayang kan?! Hihihi,' balas batin Yagi. Dia menatap intens mimik wajah Esya. 

Tiba-tiba ditengah percekcokan itu, tangan Yagi menyentuh helaian rambut yang tidak ikut terikat cepolan Esya. Dia menautkan di daun telinga Esya. Mendadak pipi wanita itu terasa memanas. Dadanya bergemuruh kencang, masih sama, perasaannya semakin aneh.

"Wah … kamu udah ada pacar ya?" tebak Yagi, menyipitkan mata elang menawannya. Sepertinya Yagi salah paham. Pipi Esya memerah terbakar seperti itu 'kan karena ulahnya. Bukan ulah pria lain.

"Maksud lo?" Dahi Esya mengerut. Pikirannya mulai berkelana mengingat memori lama.

"Hihihi! Pacarmu seganteng saya nggak?" Alisnya naik sebelah. Sorot matanya mengatakan bahwa si tampan Yagi mulai tertarik dengan si cantik yang super cuek bebek, Esya.