Chereads / Tears Addict / Chapter 3 - Memulai Hidup Baru

Chapter 3 - Memulai Hidup Baru

POV Esya

Terhitung sudah satu minggu setelah hari pemakaman mendiang ibuku. Foto-fotonya, semua benda kesayangan ibu hanya kurapikan saja posisinya. Baju-baju bersihnya kulipat rapi, Setumpuk baju-baju kotornya segera kucuci bersih. "Bu, aku izin menggunakan beberapa pakaian cantikmu ya." Ucapku yang sedang melipat baju harum ibu.

Merasa akan menangis, aku meraih toples berisikan embun bening hasil isak tangis air mataku beberapa hari ini lalu. Kubuka tutupnya, embun bening itu seperti biasa, mengalir deras dari kedua mataku. "Unghuhuhu … ibu kenapa pergi cepat sekali …," aku segera menyeka air mataku saat satu tetes mengenai baju bersih ibu yang bertumpuk beberapa lapis di pahaku. Air mata itu bisa membuat baju ibu kotor kembali.

'Seingatku ibu hanya berpesan untuk menyimpan air mataku di toples dalam lemarinya.'

'Toplesnya hampir penuh, harus kuapakan ya?'

Aku menghentikan kegiatan galau ini. Kutaruh toples peninggalan ibu di atas laci kamarnya. Lalu kusimpan rapi pakaian ibu yang sudah terlipat ke dalam lemari tua.

Aku mencari-cari bingkai foto ibu yang sudah kupajang di atas laci samping kasur. Tapi itu tidak ada. Mataku melirik ke sana-sini mengedarkan pandangan ke seluruh sisi ruangan kamar ibu. Tapi benda itu tetap tidak ada.

Pikiranku menerawang memori beberapa jam yang lalu. Aku membersihkan kamar utama karena kemarin ketiduran sampai pukul satu pagi. Aku terbangun karena suara deringan telepon yang disetel begitu nyaring memekakkan telinga. Ayahku berulah lagi, sakit jiwanya kumat. Aku disuruh membersihkan kamar utama dengan alasan besok dia akan pulang dan tinggal beberapa hari disini, tidak seperti biasanya.

'Kemana ya?'

'Padahal aku merasa baru menaruhnya di atas laci.'

'Oh, mungkin aku lupa menaruhnya. Mungkin benda itu ada di luar kamar.'

Aku berlari kecil keluar kamar, tanganku mulai menjamah ke tempat-tempat yang aku bersihkan tadi. "Aduh, dimana ya, bu …," gumamku tanpa sadar, masih mencari-cari bingkai foto ibu. Dan saat berbalik, tiba-tiba bingkai foto itu sudah ada di depanku. Hampir terinjak.

Aku mengambilnya, memeluknya seakan-akan sedang memeluk raga ibuku yang telah terkubur tanah. Isak tangisku tertahan di kerongkongan.

Aku melangkah cepat masuk ke dalam kamar ibu. Duduk di sisi ujung ranjang. Kupandang lekat-lekat foto ibu. Terlihat wajah ibu yang tengah menggendongku, si bayi merah yang baru lahir beberapa menit lalu.

Terukir senyum indah sahaja di wajah cantik ibu. Foto itu diambil ketika ibu selesai melahirkanku. Sorot matanya terlihat begitu letih, beberapa bulir-bulir keringat terlihat membasahi seluruh wajahnya yang telah berkontraksi hebat. Perempuan hebat luar biasa yang masih bisa tersenyum lembut, sebelum pingsan setelah difoto. Itu hal yang wajar ketika habis melahirkan.

"Bu …," Segera kuambil toples peninggalan ibu, kubuka dan aku mulai menitikkan air mata. Embun-embun bening mengalir semakin deras dari kedua mataku. Sejak kecil, aku punya kelainan. Dua bola mataku berbeda warna, tidak seperti orang normal. Itu adalah salah satu dari seribu keunikan diriku, almarhumah ibuku yang berkata begitu.

Tak terasa, matahari sudah menjulang tinggi. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan diriku, lalu menghembuskannya. Ku pajang kembali bingkai foto cantik ibu di tempat semula. Kurapikan sedikit kasurnya. Lalu aku bergegas bersiap-siap mandi, karena pagi ini aku akan mencari pekerjaan. Toples itu masih di dekat bingkai foto ibu. Sengaja aku menaruhnya di sana.

Setelah berpakaian rapi seadanya layaknya orang akan melamar kerja, aku juga sedikit merias wajahku. Terutama bagian kantung mata akibat ulahku pagi ini. Aku harus terlihat baik-baik saja di depan semua orang. Berlapang dada kalau kenyataan perih itu masih menghantuiku. Aku belum bisa ikhlas pada kepergian ibu.

Tepat pukul delapan pagi, kulangkahkan kaki dengan penuh semangat membara ke setiap perusahaan yang kutemui sepanjang jalan. Aku tidak naik ojek, tidak juga naik angkot. Aku memilih jalan kaki saja. Dipikir-pikir lagi, uangnya terlalu sayang untuk transportasi umum. Apalagi aku masih muda dan sehat wal Afiat, kan.

Matahari mulai terasa menyengat. Orang-orang di kantor sudah mulai keluar. Sekarang sudah saatnya makan siang. Dan aku tidak akan menyerah sebelum aku merasa sudah cukup berusaha keras untuk hari ini.

Terhitung sudah sepuluh perusahaan yang telah kusinggahi. Semuanya menjawab sama. Belum buka lowongan penerimaan karyawan baru, aku ditolak. Sekarang adalah perusahaan terakhir yang masih satu kota dengan rumahku. Aku sudah menempuh perjalanan kurang lebih enam kilo dengan waktu tiga jam lebih.

Sekarang sudah sampai di depan ruangan resepsionis kantor megah ini. Aku langsung bertanya tentang kepentinganku kesini. Dan hatiku lega saat resepsionis tersebut bilang kalau ada lowongan pekerjaan disini yang hanya tersisa satu slot.

Dia terlihat sibuk menghubungi seseorang. Terdengar suara seorang pria di dalam telepon kantornya. Setelah menunggu beberapa lama, aku diajak naik ke lantai atas. Katanya direktur utama perusahaan ini ingin melihat langsung karyawan yang mendaftar pagi ini. Itu aku.

Setelah sampai, aku agak tersentak melihat pria tinggi berkisar 178 cm dengan pakaian eksekutif, dia membelakangiku. "Tuan, saya permisi." Resepsionis itu berlalu.

Aku begitu grogi setengah mati. Pelan-pelan dia berbalik badan. Lalu duduk di kursi mewahnya. Aku dipersilakan duduk. Tapi aku masih menunduk, jadi belum melihat wajahnya.

"CV?" Suaranya pelan tapi terdengar begitu dingin. Dia duduk santai sambil menatapku. Aku masih memilih menunduk, aku pikir ini lebih terkesan sopan untuk pengenalan pertama.

"Ini pak." Jawabku, mengeluarkan berkas-berkas di dalam map coklat yang kubawa.

Sesekali aku melirik wajahnya yang ternyata begitu tampan. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, alis elangnya lebat, dan matanya yang berwarna abu-abu terang. Rambutnya klimis terbelah duanya tampak begitu rapi. Dia terlihat begitu fokus memperhatikan keseluruhan isi CVku.

"Angkat kepalamu! Jangan bertingkah bodoh!" Ucapnya menatapku dengan tajam. Tanpa sadar, aku menatapnya juga. Oh, habislah riwayatku karena telah terlihat tidak sopan padanya. Jantungku berdebar kencang, walaupun matanya indah, tapi sorot mata itu terlihat begitu tajam menatapku lekat-lekat.

Perlahan-lahan dia maju, tangannya seperti ingin menamparku. Oh, mungkin saja karena aku telah berlaku tidak sopan tadi. Pasti aku sudah membuatnya marah sekali. Sekarang aku hanya diam pasrah, memejamkan mata ketika tangan besar itu semakin mendekat ke wajahku.

'Ya Allah semoga direktur tidak kasar padaku.'

'Kumohon!'

Aku merasa tangan dingin itu menyentuh lembut helaian rambutku yang kurang rapi, diselipkannya di daun telingaku. "Jangan menunduk!" Perintahnya.

Aku tersentak mendengarnya, memohon maaf berkali-kali, dan sekarang aku menatapnya. Benar saja, sorot matanya amat indah. Seperti dapat menyihir setiap kali menatapnya. Kulitnya juga putih. Dadanya begitu bidang, bahunya sangat lebar. Setiap inci tubuhnya begitu memesona.

"Ok. Diterima. Selamat." Ucap direktur utama itu. Dia berdiri, melangkah cepat keluar ruangan. Kudengar ucapannya begitu dingin, sepertinya dia seseorang yang cuek.

Kulangkahkan kaki penuh riang. Sekarang sudah pukul tiga sore. Jarak antara kantor megah dengan rumahku berkisar enam kilo. Aku merogoh saku, memutuskan untuk pulang menggunakan transportasi umum saja. Karena besok aku sudah mulai bekerja disini. Aku tidak boleh datang terlambat besok.