Aku berlari kecil ke kamar utama, mataku terpaku pada toples kosong samping bingkai foto ibu.
Aku mengambilnya, membukanya, dan ternyata benar saja. Toples itu sudah kosong melompong. Malah tidak terasa ada air sedikit pun. Ini sangat aneh. Tidak ada bekas tumpah disini. Aku mulai mencurigai seseorang.
Aku bergegas masuk ke dalam kamarku, aku ingin memastikan apakah pria tampan tadi masih ada di kamarku. Apakah dia benar-benar nyata atau aku yang hanya halusinasi akibat keletihan kerja di hari pertama.
Ternyata pria tampan itu masih ada. Malah sekarang dia duduk anteng, menatapku. Kami bersitatap. Perlahan-lahan aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Melihat hal itu dia malah tertawa cekikikan.
Aku duduk di sampingnya. Menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Wujudnya memang seperti manusia normal pada umumnya. Tidak ada yang aneh. Tapi kenapa dia bisa masuk kamarku? Padahal jendela kamarku terbuat dari teralis besi. Saat aku mengeceknya, jendela itu tidak ada kerusakan sedikitpun, kok?
Ini aneh.
"Kamu itu apa?" Tanyaku menatap tak suka padanya. Dia malah tertawa cekikikan, lalu memelukku lagi. Aku ingin memberontak, tapi perlakuannya begitu lembut, membuatku kecanduan. Tubuhnya itu, entah mengapa terasa sangat nyaman. Aku mabuk oleh perlakuannya.
"Aku, ya manusia. Kan kamu yang manggil aku? Gimana sih cantik? Hihihi," bisiknya begitu dekat di telingaku, sampai-sampai aku merinding karena hembusan napasnya.
Dia tersenyum lembut, tangannya mengusap-usap pucuk kepalaku. Aku hanya terdiam tidak memberontak, perlakuannya begitu berbeda dari ayahku yang sangat kasar. Tanpa sadar aku menikmati setiap perlakuan manisnya.
Aku melongo. Tatapan matanya seakan-akan menyihirku. Bola mata berwarna hijau terang itu bak pemandangan indah. Ketika melihatnya, aku merasa sangat nyaman. Suasana hatiku membaik. Itu adalah hal yang amat jarang terjadi padaku.
Dia sekarang tiduran di atas pahaku. Dia menatapku lagi, sesekali jari-jari jahilnya menarik helaian rambutku. Sepertinya dia itu punya hobi tersenyum.
"Bagaimana hari ini? Ada apa?" Lagi-lagi suaranya sangat memabukkan. Itu terdengar seperti suara mendiang ibu. Suara ciri khas yang lemah lembut, membuat telingaku candu. Mengingatkanku pada sosok ibu yang selalu berkata begitu setiap aku pulang sekolah dulu.
"Kemana air mata toplesku? Apa kamu yang meminumnya?" Aku menatap tak suka. Tapi dia malah tersenyum lebar, tertawa kecil, lalu mengangguk.
"Itu aku cantik. Hihihi," Sekarang dia merubah posisinya, dia kembali duduk berhadap-hadapan denganku.
Aku menghela napas panjang, "Nggak lucu. Kamu itu tetangga baru 'kan? Jangan mengada-ada deh!" Suaraku melengking tinggi. Aku mengusap wajahku yang gusar.
Tubuhku letih, butuh istirahat karena besok harus kerja lagi. Tapi entah pria tampan dari antah berantah mana yang tiba-tiba muncul di depanku, bikin masalah baru saja. Bagaimana jika ayah tahu?
Dia ikut-ikutan menghela napas, meniru gayaku. "Apa kamu nggak tercium bau badanku, cantik?" Dia malah berbalik nanya.
"Iya. Bau badanmu sangat mirip dengan bau embun bening air mataku!" Aku marah. Aku merasa dia terlalu bertele-tele dalam menjelaskan siapa dia sebenarnya. Padahal kalau dia tetangga yang ada kelainan, atau psikopat sekalipun aku tetap akan berlaku sopan, kok! Aku akan tetap menerimanya sebagai tamuku. Walaupun kelakuannya tidak sopan.
Aku hanya ingin dia mengaku. Sudah itu saja.
"Wujud asliku adalah embun permatamu, cantik. Yang kamu kumpulkan selama ini. Hihihi," Dia berkata sangat santai. Sekarang dia berpindah posisi, dia merebahkan tubuh besarnya di atas kasurku.
'Tidak sopan sekali.'
Aku melirik sinis, berdiri dan berkacak pinggang.
"Apa buktinya?! Kalau tidak ada …," omonganku terhenti saat dia bangkit, melompat ke lantai dan merubah wujudnya aslinya. Dan sekarang hanya tersisa sepasang baju tidur yang tadi kuberikan padanya. Orang aneh itu menghilang seketika. Bersamaan dengan kemunculan banyak air di lantai kamarku. Sekarang lantainya jadi becek.
"Astaga … apa yang terjadi …," aku melongo tak percaya, menutup mulutku yang melongo. Aku sangat syok melihat kejadian yang begitu cepat. Dia sudah berubah kembali menjadi manusia seperti awal beberapa detik lalu. Pergerakannya sangat cepat.
Dia tertawa lalu berlari memelukku. Aku tidak bergeming, masih tidak percaya dengan kejadian barusan. "Cantik, beri aku nama dong! Hihihi," pintanya, mengeratkan pelukan hangat itu.
"Yagi," ucapku tiba-tiba. Aku juga tidak tersadar kalau telah memberi nama itu padanya. Dia seperti sihir nyata, aku lupa kejadian setelah hari pertama bertemunya. Tapi keesokan harinya saat aku ingin berangkat kerja, dia tidak muncul lagi.
Firasatku mengatakan dia akan muncul nanti sore. Aku menantikannya, Yagi.
Sekarang aku sudah kembali dari seharian berkutat kerja di perusahaan baru tempatku bekerja. Seharian ini, aku hanya terpaku pada Yagi. Pria tampan yang konon berasal dari embun air mataku.
Sebenarnya ini diluar nalar. Aku juga tidak ingin mempercayainya. Karena aku penganut ilmu logika. Aku tidak percaya akan adanya hal-hal mistis. Lebih tepatnya aku ingin mempercayai itu hanya khayalan belaka.
Pelan-pelan aku membuka pintu rumah setelah memasukkan kuncinya. Lalu masuk ke dalam kamar mendiang ibu untuk melihat isi toplesku. Tetap saja, aku tidak bisa menerima kenyataan kalau toples itu sudah kosong melompong. Padahal ibu berwasiat kalau toples itu harus dijaga. Aku lupa menanyakan banyak hal tentang toples itu. Apalagi ibu berwasiat saat detik-detik terakhirnya.
Aku menghela napas, memandang bingkai foto ibu seperti biasa. Dia masih saja terlihat cantik dengan senyum sahajanya. Hatiku masih sakit sepeninggal mendiang ibu. Pelan-pelan aku mulai menitikkan air mata lagi.
Aku mengeluarkan embun air mata lagi. Kali ini sangat deras, sampai-sampai rumah yang sepi sunyi ini jadi berisik oleh isakan tangisku. Tapi tunggu …
Waktu kecil, aku pernah menangis begitu pilu, saat itu air mataku keluar begitu saja. Berbeda dengan akhir-akhir ini yang harus keluar ketika ditadah toples peninggalan ibu.
Eh? Ada yang kulupa!
Aku lupa kalau sekarang aku hanya memeluk bingkai foto ibu, tanpa menadah air mataku!
Bagaimana ini? Aku panik kalang kabut. Ketika tanganku hampir sampai meraih toples peninggalan ibu, tiba-tiba saja aku ditarik oleh sesuatu. Aku tenggelam dalam dada bidangnya, tubuhnya hangat. Tapi mataku ditutup oleh tangan besarnya.
Makhluk apa lagi ini?
Ah … apa aku berhalusinasi lagi?
"Hihihi," terdengar suara tawa cekikikan yang begitu familiar. Sepertinya baru-baru ini aku juga mendengar tawa itu.
'Siapa yah?'
DEG!!!
Aku baru ingat Yagi. Kemarin malam dia hilang begitu saja. Tanpa memberi tahu clue apa-apa. Tapi sekarang ini, firasatku mengatakan kalau ini Yagi.
'Yagi, kah?'
'Hihihi. Iya, cantik.'
Dahiku mengerinyit. Aku tidak salah dengar 'kan? Kenapa tiba-tiba ada suaranya di dalam hatiku?
"Hihihi, Yagi datang untuk menghapus kesedihanmu!" Serunya, menatapku yang berlumuran air mata.
"Jangan nangis lagi ya, cantik. Nanti ibumu sedih! Yagi deh yang kena omel!" Yagi mengusap air mataku, lalu tersenyum manis menatapku. Lagi dan lagi aku seperti terbuai tatapan mautnya.
Aku ketiduran lagi, tak sempat berbincang-bincang dengan makhluk tampan bernama Yagi.
Sepertinya hari kemarin, aku berangkat kerja dengan pakaian sudah rapi.