Chereads / Tears Addict / Chapter 6 - Bu Hena Ular berbisa

Chapter 6 - Bu Hena Ular berbisa

"Eh! Tunggu, Pak! Maaf!! Saya telat!!" seru wanita berpakaian modis, dengan setelan kemeja putih dan rok hitam selayaknya karyawan kantoran. 

"Ah, ya, lalu bagaimana? Saya bisa dimarahi—" ucapannya terpotong, tiba-tiba saja direktur utama yang tengah berdiri di belakangnya itu menatap sengit pada wanita itu.

"Hah …, kamu, kamu lagi! Minggir!" bentaknya dengan tatapan menusuk, seketika satpam tua itu menyingkir tak mau kena masalah. Tubuh atletis itu berdiri gagah di depan Esya. Wanita itu hanya bisa menekuk wajah, perlahan-lahan tubuh kecil itu mulai gemetaran. Terlihat dari tangannya yang memegang pagar besi kantor itu. 

Alih-alih membukakan pintu pagar, ketika melihat karyawan baru itu, dia malah terbesit ide gila. Tujuan utamanya satu, mengetes ketahanan mentalnya.

"Sekarang, push up seratus kali!" perintahnya, salah satu alisnya naik, kedua tangannya terlipat baik di dada, direktur utama itu semakin terlihat menyeramkan dengan sorot mata elangnya. Walaupun mata itu berwarna abu-abu terang. Dia tetap sangat tampan, bahkan ditengah panas terik matahari yang menyengatnya.

Gerakan Esya sangat pelan, dia benar-benar gemetaran, karena jujur saja, Esya tidak pernah berpikir bahwa dunia kerja begitu keras. Sekarang bos besarnya sendiri yang seolah-olah menggembleng bocah yang baru lulus SMA itu, kalau dunia memang keras untuk orang-orang pemalas dan tidak tahu aturan waktu seperti dia.

"A-aaaa …, iya, Pak …," jawab Esya memelan, wanita itu mulai membungkukkan badannya, tubuh mungilnya melakukan gerakan sesuai perintah sang direktur utama, yang ternyata bernama Zidane. 

"Cepat! Orang lelet seperti kamu tak seharusnya masuk dunia kerja!" bentaknya lagi, wanita itu dapat merasakan atmosfer yang tidak biasa. Atmosfer yang begitu menakutkan, membuat bulu kuduknya merinding. Padahal ini masih pagi hari.

"I-iya, Pak …," lirihnya, keringat itu mulai memenuhi dahi lebar wanita itu. Sesaat setelahnya, tangan besar itu mengelap peluh wanita itu saat gerakannya sedang berdiri.

"Kamu masih delapan belas tahun, tapi sudah kerja? Kenapa? Apa masalah ekonomi keluarga?" ucapnya yang sekarang terlihat begitu perhatian. Ucapan yang keluar dari mulut lelaki itu, seakan-akan dapat mempengaruhi siapapun yang mendengarnya. Seakan-akan semua yang dia katakan tidak pernah salah, selalu benar.

"Em, nggak, Pak." jawab Esya singkat. Wanita itu mulai tidak suka dengan bosnya. Karena itu merupakan hal yang privasi. Mengapa bosnya itu ingin tahu? 

"Di minum es tehnya. Saya beli 'kan pakai duit!" ketusnya, ditopangnya wajah tampan itu dengan satu tangan, lelaki itu begitu serius memperhatikan Esya. Sekarang, setelah hukuman diberikan, Esya menjadi tahu kalau bosnya itu tidak begitu galak dan bengis seperti gosip murahan yang beredar. Dia tahu kalau Zidane juga punya sisi manusiawi. Contohnya seperti saat ini, ketika hanya ada mereka berdua, Zidane memberikan traktiran minuman untuk karyawan cerobohnya itu. 

"Saya segera pergi. Kamu, besok-besok jangan terlambat lagi! Atau, mau tidak mau …," dia menghentikan ucapannya sendiri. 

"Ah! Tidak! Sungguh! Saya esok akan bangun lebih pagi hari bahkan sebelum ayam berkokok! Saya berjanji tidak akan begadang!" celotehannya itu, tanpa sadar, Esya telah membuka privasinya sendiri.

Tadinya, Zidane ingin segera meninggalkan tempat itu. Tapi, melihat Esya berbicara panjang, dia jadi berpikir dua kali untuk segera pergi.

Direktur utama itu tersenyum manis, senyum yang sepertinya tidak pernah dia tampakkan oleh siapapun. Karena selama bekerja di perusahaan ini, Zidane dikenal sebagai pemimpin perusahaan yang otoriter, juga kaku.

Kembali ditariknya kursi sederhana bercorak bunga-bunga khas rumah makan murah, dia kembali duduk terpaku pada wanita cantik yang makin grogi dan kikuk di hadapannya.

'Mampus gue! Salah apa, ya? Gila!'

Dengan segenap keberanian, pelan-pelan kedua bola matanya mulai menatap direktur utama itu. "Hmm, anu, kenapa ya, pak? A-ada yang ketinggalan—" ucapannya terpotong oleh ulah pak Zidane yang seketika mampu membuatnya membeku. Jempol besar itu menyentuh bagian kantung mata Esya

"Seberapa tebal kamu memakai fondation buat nutupin kantung matamu? Tadi, kamu bilang habis begadang? Ngapain aja semalam? Melakukan rutinitas tidak biasa, kah?" Berentet pertanyaan tak biasa tiba-tiba keluar begitu saja dari bibir tipis pak Zidane. Lelaki ini, seperti bukan dia saja. Ini sungguh bukan seperti dia biasanya.

"Ah, itu, saya nggak bisa—" tolak Esya, matanya tidak bisa fokus menatap Zidane yang seperti sedang mengintrogasi karyawan barunya. Esya pikir, mungkin Zidane memang begitu pada karyawan baru. Hanya sebatas bukti kepedulian bos pada karyawan barunya.

"Em, lupakan! Saya kembali dulu! Jangan lupa kerjakan pekerjaan yang kemarin ya!" ucapnya tersenyum kikuk, berdiri dan beranjak pergi. Ternyata langkah kaki pria itu begitu besar. 

Esya menghela napas, disedotnya lagi es teh traktiran dari bosnya itu. "Ada-ada aja, sial. Padahal baru berapa hari kerja …," lirihnya melemaskan semua otot-otot sendi yang tegang sejak adanya direktur utama bengis itu.

Dipijat kedua pelipisnya, menutup mata, mulai merilekskan pikiran sejenak. "Anak baru, ya?" tanya seseorang dari belakang. Suaranya begitu asing. Esya tidak pernah mendengar suara lelaki di belakangnya itu.

"Esya? Lo Esya, 'kan? Kerja disini juga—" ucapannya terpotong karena sekarang wanita itu sudah tidak ada disini. Dia sudah kabur, setelah menuntaskan es teh miliknya yang masih tersisa sepertiga lagi.

Lelaki berkemaja biru dengan tangan dilipat di dada itu tersenyum aneh. Dia seperti sedang merencanakan sesuatu.

*******

"Permisi, Bu Hena, apa pekerjaan saya yang kemarin masih belum selesai, ya?" tanya Esya, dia hanya berniat untuk memastikan kebenarannya. Alih-alih dijawab, wanita berambut sebahu dengan makeup menor itu berkacak pinggang, tatapan matanya juga begitu sengit.

"Anak baru bahasanya nggak karuan, hm, coba ulangi!" perintahnya, berkata sedikit membentak karyawan baru itu. Esya mengangguk kikuk. "Permisi, Bu Hena, apakah pekerjaan saya yang kemarin belum selesai atau sudah ya, Bu?" 

"Belum, lah! Kamu kira kerja disini gampang?! Cepat kembali ke ruanganmu! Sebelum Pak Zidane melihatmu!" Dahi Esya bertaut. 

"Kenapa gitu, Bu?" tanyanya penasaran, padahal tadi dia baru saja bersama bosnya itu. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa ada masalah antara pak Zidane, Bu Hena dan Esya? Padahal, wanita itu baru bekerja selama tiga hari. Itu masih sangat baru.

Bu Hena menghela napas, "Kamu, 'kan tukang caper! Saya nggak suka sama orang macam kamu! Sudah, sana kerja! Dasar lemot! Gitu aja nggak paham!" umpatnya, entah sudah berapa kali selama tiga hari bekerja disini, atasannya yang bernama Bu Hena itu terlihat selalu sensitif ketika mereka hanya berdua.

"Baik, Bu," jawab Esya dengan muka kikuk, dia melangkah cepat keluar dari ruangan wanita ular berbisa itu. Dia seperti penjilat, waktu di depan semua karyawan, dia tampak begitu mempedulikan Esya. Tapi, lihat sekarang? 

'Sabar, Sya, sabar.'

'Baru tiga hari kerja, Sya. Jangan nyerah. Hidup, 'kan memang sulit …'