Chereads / Tears Addict / Chapter 2 - Pesan wasiat Ibu

Chapter 2 - Pesan wasiat Ibu

POV Esya

Ibuku yang paling cantik. Ibuku yang paling baik hati sedunia sekarang harus terbaring lemah disini. Terpasang selang oksigen. Sorot matanya terlihat rapuh sekali. 

"Ibu …," lirihku sembari membaringkan kepalaku. Ada yang aneh. Ibu tidak menjawab apa-apa. Tapi dia malah berderai air mata. Sepertinya dia ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi tertahan oleh kondisinya yang belum pulih.

"Dokter! Dokter!! Dokter!!!" Aku berteriak sampai dokter datang menghampiri ibu, lalu mengecek kondisi perkembangan kesehatannya. 

"Gimana?" Tanyaku penuh keseriusan, tidak sabar ingin tahu penyakit apa yang sebenarnya menggerogoti tubuh renta ibuku. Dia tampak begitu lemah.

Dokter muda yang ternyata bernama Rio, menghela napas.

"Nanti kita akan berbicara bersama ayahmu, ya. Biar sekalian. Kita tunggu saja. Permisi," ucapnya berlalu meninggalkan kami.

Aku menghela napas, pikiranku berkalut butek dalam labirin overthinking. Kembali duduk menemani ibu. Langkahku lunglai. Dengkul ini lemas sekali rasanya, tidak siap mendengar penjelasan dokter nanti. Saat ayah sudah disini.

"Ca …," panggil ibu membuatku sontak menoleh. Telinga ini mendengar suara lirih itu. Mendadak suasana hatiku terasa tak enak. Perasaanku makin memburuk.

"Iya, bu? ada apa?" Sahutku tersentak duduk tegak, menatap lembut pada ibu yang juga menatapku.

"Ibu mau kasih tahu kamu banyak hal. Tapi ibu rasa nggak cukup waktunya," ucap ibuku. Inderaku mendengar suaranya semakin mengecil saat menceritakan sesuatu hal besar yang aku sudah menduganya. Dia menceritakan tentang kebusukan penghianatan ayah bersama sekretariatnya selama ini. 

Terhitung sudah tiga tahun semenjak ibu yang ternyata sering mondar-mandir rumah sakit dekat rumah, karena harus rajin check up. Awalnya hanya di diagnosa kecapekan saja. Tapi makin lama, penyakitnya itu jadi kanker paru-paru. Mungkin karena ibu banyak membatin.

Meskipun kami sering saling tukar cerita, curhat setiap hari, ternyata ibu menyimpan sejuta luka yang aku tidak tahu sedikit pun. Selama ini ibu hanya menceritakan keluh kesah ringan kesehariannya sehabis bangun tidur sampai tidur kembali. Begitu pun aku. 

Sebetulnya hatiku sakit sekali. Panas terbakar api emosi yang terpendam sejak lama menduga. 

"Jadi selama ini ibu sudah tahu tingkah buaya darat itu? Kenapa ibu nggak minta cerai aja, sih?" Suaraku melengking di akhir. Sebetulnya aku ingin sekali memaki-maki ayahku. Tapi aku juga tidak mau menambah beban pikiran ibu.

"Ca, kamu belum cukup dewasa untuk paham masalah keluarga. Ibu bercerita hanya untuk menambah wawasanmu dan berhati-hati nanti saat hidup dengan ayah saja. Ibu nggak mau kamu berakhir sama seperti ibu. Yang terpenting mulai sekarang kamu harus ingat,  kamu harus rajin menampung embun air matamu. Tidak boleh dibuang. Tidak boleh diminum oleh siapapun karena akan berakibat fatal. Dan tidak boleh ada yang tahu tentang itu. Mengerti, Ca?" Tanya ibu mengelus-elus telapak tanganku. Aku mengangguk walau sebenarnya aku tidak paham-paham amat dengan penjelasan panjang itu. Yang terfokus di pikiranku adalah tentang penyakit ibu. 

Pikiranku menerawang tentang ucapan ibu barusan. Aku menatapnya, tapi mata ibu sudah tertutup kembali. Aku berniat menanyakan saat ibu terbangun nanti. Tapi ternyata dugaanku salah. Ibuku tidak akan pernah membuka matanya lagi. Dia tidur selamanya. 

Kulihat ayah datang bersama sekretariat ular. Dia menggandeng tangan putih mulus bak mayat itu. Tertawa bersama, tampaknya ayah memang sudah bahagia dengan selingkuhannya.

Deru napasku membara, aku menatap lekat-lekat tingkah laku munafik mereka. Pasti saat ini mereka akan berakting seperti biasanya. Berpura-pura tak ada hubungan lebih jauh dari sesama rekan kerja di antara mereka. Begitu manipulatif. Licik!

Saat hendak membuka pintu ruangan ICU, aku mendengar bunyi panjang monitor yang tak henti sampai beberapa detik. Bersamaan dengan itu, kedua inderaku merasakan sesuatu yang amat menyentuh. Terasa tangan ibu yang dingin menggenggam erat jari jemariku. Kedua telingaku mendengar tarikan napas yang sangat panjang, lalu ibu menghembuskan napas terakhirnya. 

Kulihat ibu tersenyum tenang, menutup matanya lagi.

DEG!

"Aaaaaahh … aaaahh …. ASTAGHFIRULLAHALADZIM… IBU ...!" Suaraku terdengar begitu gemetaran. Rasanya seperti seluruh tubuhku sangat merinding, udara di ruangan ini tiba-tiba dingin. Aku hilang suara. Badanku kaku. Udara dingin berhembus ke arahku. Udaranya sangat dingin sampai-sampai tulang-tulangku rasanya ngilu hebat. 

Badan ini tetap tak bisa digerakkan. Air mataku tetap tidak keluar. Mulutku melongo melihat mayat ibu yang tersenyum cantik. Sangat cantik. 

Terasa di kepalaku ada sebuah usapan dingin. Aku menoleh. Tampak ibu yang sudah memakai baju putih bersih dengan hijab cantik serasi dengan pakaiannya. Dia tersenyum lembut. Tangannya mengusap-usap penuh kasih sayang hanya sekitar tiga puluh detik. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Yang jelas setelah kejadian itu, ayahku terus memaki-makiku karena melamun begitu lama.

[ Esyaku, putriku yang cantik. Ibu pergi dulu ya, nak? Kamu jangan nakal sama ayah. Harus nurut apa kata ayah. Nanti sampai waktu yang ditentukan, barulah kamu bisa terlepas dari manusia iblis itu. Ibu selalu disisimu, sayang.Jangan khawatir ya, sayang. Ada Allah yang senantiasa menjagamu. Jangan lupa salatnya  dijaga ya, nak. Al-Qur'annya dibaca ... ]

Setelah arwah ibu menghilang, tiba-tiba aku merasakan tamparan keras dari seseorang di sebelahku. Ternyata ayah. Sekarang entah bagaimana ceritanya, aku sudah ada di ruang tamu rumah. Ayah menghukumku membersihkan kotoran kucing yang entah masuk dari mana. Padahal rumah ini selalu dikunci ketika pergi. Oh mungkin saat ibu jatuh pingsan kemarin.

Setelah ibu tidak ada, aku yang disuruh ayah untuk ambil alih bersih-bersih rumah ini. Aku tidak banyak membantah. Hanya mengiyakan saja. Lagi pula ayah selalu pulang satu Minggu sekali. Aku tidak pernah peduli.

Rumah ini tidak begitu besar. Hanya terdiri dari tiga kamar. Satu ruang keluarga dengan dua kamar mandi diluar. Dan satu kamar mandi di kamarku. Kamar utama untuk kedua orang tuaku. Dua kamar lainnya adalah model kamar anak. Tidak sebesar kamar utama. Dan ruang tamu sekaligus teras, pohon Cemara di luar pagar dan satu bagasi mobil. Dan satu halaman taman yang tidak terlalu besar, letaknya dekat bagasi mobil.

Sekarang jadwalnya membersihkan kamar utama. Aku berpikir sejenak. Haruskah aku membersihkan kamar itu?

Pasti barang-barang almarhumah ibu masih ada disana. Sepertinya aku harus menenangkan pikiran dulu. Baru melanjutkan aktivitas membosankan ini.

Kututup pintu kamarku, tak lupa kukunci. Aku menghela napas, memejamkan mata, lalu menghempaskan tubuh kecil ini di atas kasur. Dari pagi buta aku sudah melakukan banyak sekali pekerjaan. Keseluruhan rumah ini sudah hampir bersih, tinggal kamar utama saja. 

Kamar ini didominasi warna abu, karena aku amat menyukai warna itu. Dari kecil aku tidak pernah berubah, almarhumah ibuku yang berkata demikian.

'Bu, di surga enak nggak?'

'Kayaknya kok disini seperti di neraka ya? He … he …'

'Tau gak sih, bu. Masa ayah sekarang pasang CCTV supaya bisa memantau kerjaanku rapi apa nggak.'

"Huft …," aku menghela napas. Perasaan tidak enak itu kembali. Segelintir perasaan aneh yang membuat uluh hatiku sakit lagi. Aku lelah karena tidak tahu harus bercerita pada siapa.

KRING!!!  KRING!!!!  KRING!!!!!!

Aku terlonjak kaget. Berlari menuju ruang tamu, mengangkat telepon rumah yang berdering keras.

"Halo? Ini dengan siapa?" Tanyaku menyapa orang seberang sana.

"Bersihkan depanmu!" Pekik suara parau galak. Itu pasti suara ayah. 

"Hah? Maaf kurang dengar …," omonganku keburu di potong.

"Bersihkan depanmu!!! Dasar anak bajingan!! Sudah syukur aku mau merawat anak tak berguna sepertimu! Sadar diri sedikit babu!" Maki ayahku. Aku hanya beroh saja, tanganku langsung merapikan sesuai permintaannya.