Aku berdiri menatap gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dihadapanku.
Ini adalah hari pertamaku bekerja disalah satu perusahaan yang terletak di Jakarta Selatan.
Mungkin bagi orang lain sulit untuk masuk di perusahaan ini. Karena perusahaan ini termasuk perusahaan nasional yang sangat ketat dalam penerimaan karyawan baru.
Banyak tes yang harus dilalui, juga terlalu banyak peraturan dan kualifikasi yang memang jadi standar mereka.
Tapi jika ada orang yang sangat beruntung didunia ini, dengan mudahnya bisa masuk tanpa melalui tes apapun. Maka orang itu adalah aku.
Ya aku.
Aku, seorang wanita yang begitu beruntung bisa bekerja di perusahaan ini. Tapi aku juga bisa dikatakan tidak se-beruntung itu karena aku bekerja bukan atas keinginanku sendiri, bahkan aku sudah dipastikan tidak akan mendapatkan sepeserpun upah dari hasil kerjaku.
Lalu sebenarnya untuk apa aku bekerja disini?
Semua ini aku lakukan atas dasar permintaan seseorang, yang bahkan mengancam hidupku jika aku tak melakukan sesuai keinginannya.
Ah tunggu dulu. Pasti kalian berpikir posisi apa yang seharusnya pantas untukku mengingat aku bekerja di perusahaan bertaraf nasional, yang juga sedang mengembangkan sayap ke kancah internasional.
Tapi dari semua posisi yang ada, aku hanyalah mengisi salah satu posisi terbawah yang ada di perusahaan ini.
Menjadi pelayan seorang Presiden Direktur.
Terdengar rendahan bukan.
Bahkan lebih rendah daripada petugas kebersihan.
Pelayan pribadi.
Ah entah sudah berapa banyak aku mengasihani diri sendiri. Mengasihani diriku yang malang ini, bisa sampai terjebak dalam kehidupan seperti ini.
Jujur saja, aku pun sebenarnya muak. Aku lelah menjalani hidup yang rasanya tidak adil bagiku.
Tapi aku sendiri tak mampu untuk keluar, tak mampu untuk pergi karena ORANG ITU!.
ORANG ITU yang telah membuatku menjadi seperti ini. Bertemu dengannya adalah neraka bagiku.
Sungguh jika aku bisa melarikan diri darinya, itu adalah hal yang sangat membahagiakan untukku.
Memikirkan itu aku menghela napas panjang. Banyak cara dan trik yang aku lakukan untuk lepas darinya tapi itu tidak pernah berhasil. Selalu saja aku kembali terjerat dengannya. Lagi dan lagi.
Aku kembali menatap sepatu flat shoes hitamku yang terlihat mengkilap karena sebelum berangkat kerja aku menyikatnya.
Andai saja hari ini aku pergi bekerja bukan sebagai pelayan pribadi. Sungguh aku akan menikmati hari ini dengan ceria. Seperti karyawan-karyawan lainnya yang dengan antusias melakukan pekerjaan mereka.
Tapi semua itu hanya angan-angan semu yang tak mungkin kudapatkan.
Aku kembali menghembuskan napas, kali ini sedikit lebih kuat, karena mendadak kekesalan muncul dalam diriku.
"Sial. Hanya mengingatnya membuatku merasa mual dan pusing" lirihku pelan, sembari memijat keningku.
Aku mendongakkan wajah dan menatap kembali pintu masuk gedung tinggi ini.
Jika aku kabur di hari pertamaku bekerja, dia pasti akan menghukumku. Oh sungguh itu bukan suatu gagasan yang bagus.
"Jangan berani-beraninya untuk lari dariku"
Aku bergidik ngeri mendengar suara halus nan berat yang berbisik ditelingaku. Seperti dia mengetahui apa yang tengah aku pikirkan.
Aku tau siapa pemilik suara itu. Suara yang sudah berbulan-bulan belakangan ini terpatri dalam ingatanku.
Aku sedikit menoleh kearah samping kanan, karena orang yang aku maksudkan berada sisi kanan tubuhku.
Memandangnya tajam dan memberikan tatapan menusuk padanya.
Tapi dia hanya diam dan tak bergeming sama sekali. Seolah-olah tatapanku ini adalah hal yang memang diinginkannya.
"Kenapa kau tak segera masuk? Apa kau ingin aku menghukummu dihari pertamamu bekerja?" Katanya pedas dan dingin. Tatapan matanya yang tadi datar sudah berganti menjadi tajam bagaikan elang.
Walaupun aku sudah setiap hari ditatapi seperti itu, namun itu tak juga membiasakanku. Rasanya tetap menakutkan.
"Aku akan segera masuk" jawabku pelan, tapi mengalihkan pandanganku darinya.
Seketika aku mulai menjadi tontonan gratis bagi para karyawan yang hendak masuk ke perusahaan. Mereka mulai memberikan tatapan heran, padaku.
Ya bagaimana tidak. Siapa yang tidak heran jika melihat Presiden Direktur mereka sedang berbincang dengan seorang pegawai rendahan didepan pintu masuk perusahaan.
Tentu saja itu menarik perhatian mereka kan.
"Jika kau sedang bicara, maka tataplah aku. Apa kau tak menganggap keberadaanku disini?" Sergahnya marah sembari mencekal lenganku kuat-kuat. Aku sontak melihat kedua bola matanya yang memang terlihat mengerikan itu.
Batinku meringis kesakitan karena genggaman tangannya kuat sekali. Rasanya bisa meremukkan tubuhku.
"Maaf" ucapku cepat-cepat agar bisa meredakan emosinya.
Sial bagiku sudah membuatnya marah dipagi hari ini.
"Ikut aku!" Katanya galak dan menarik tanganku dengan kasarnya, membuat semua karyawannya menatap aneh dan terkejut kearah kami berdua.
Aku tak kuasa menerima tatapan itu, hanya bisa menundukkan kepalaku menatap ujung sepatu flat ku yang kilap.
'Kenapa dia cepat sekali berjalan' batinku kesal.
Sudahlah menarik tangan orang begitu kasar, jalan pun tidak bisa perlahan, entah apa yang sedang dikejarnya.
Karena aku sedari tadi menundukkan pandanganku, aku tak mengira kami sudah berada didalam elevator.
Oh aku tau. Sepertinya ini elevator khusus untuk seorang Presiden Direktur karena desainnya yang luar biasa mewah juga tidak ada orang lain selain mereka berdua.
Brukk!!!
Dia menghempaskan tubuhku kedinding elevator, sedikit kuat karena aku sampai terkejut.
"Apa yang kau inginkan" kataku marah padanya.
Sungguh aku tak mengerti akan sikapnya yang selalu berubah-ubah. Perubahan suasana hatinya begitu cepat hingga aku kesulitan untuk memahaminya.
"Kurasa aku harus menghukummu untuk mendisiplinkanmu. Apa kau tau apa kesalahanmu?" Balasnya kembali bertanya.
Wajahnya yang saat ini tepat berada didepan wajahku, yang kurasa hanya berjarak beberapa senti lagi.
Aku tau dia sedang mengintimidasiku. Tapi aku tak gentar. Aku balas menatapnya yang sedang menatapku dengan mata menyala-nyala marah.
Aku bingung, kesalahan apa lagi yang telah aku perbuat? Ini masih pagi. Aku tak mengerti dimana salahku. Apa karena tadi aku berbicara karena tak menatapnya?
Tapi hanya karena itu dia bisa semarah ini?
Aku tertawa kecil. Didepan wajahnya, aku tertawa. Membuatnya semakin tajam menatapku.
Untuk hal-hal kecil yang tidak sesuai dengannya saja dia bisa marah.
"Apa yang kau tertawakan?" Ucapnya garang.
Ting!
Bunyi pintu elevator yang terbuka, menandakan kami sudah tiba dilantai tujuan.
"Hanya menertawai kebodohanku" balasku cuek lalu melangkah pergi keluar tanpa mengindahkan dirinya yang menggeram marah.
Sial. Aku mengutuk diriku yang membuatnya semakin marah.
Oh Tuhan. Ini bukan sesuatu yang bagus. Tolonglah selamatkan aku dipagi hari ini.
Apa tak bisakah dia sehari saja tidak marah padaku dan tidak menghukumku.
"Ahhhhh!" Seketika aku menjerit kaget karena tiba-tiba dia telah mengangkatku dengan kuat, lalu membuka pintu ruang kerjanya dengan tergesa-gesa dan melemparkanku ke atas sofa empuk diruangan kerjanya.
"Apa yang kau sedang coba lakukan padaku!" Teriakku padanya.
Dia menyeringai. Memperlihatkan gigi putih yang rapi dan bersih. Seringaian yang langsung membuatku bergidik ketakutan. Karena itu adalah awal datangnya bencana.