Sesuai dengan permintaannya, aku tiba di Green Cost Ville lebih cepat 30 menit. Ya sebenarnya hanya ingin membuktikan bahwa aku ini adalah wanita berpendirian. Walaupun hidup didalam tekanan aku ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa aku hidup sangat disiplin.
Aku menatap dengan kagum hamparan rumah mewah itu. Pagar tinggi yang mengelilinginya menjelaskan bahwa perumahan ini memiliki tingkat perlindungan yang tidak main-main.
Hanya dengan menatap pagar besinya saja, aku sudah merasa kecil, sekecil plankton atau bahkan bakteri yang tidak ada apa-apanya. Apakah didunia ini memang benar-benar ada orang kaya yang hidup didalam perumahan super mewah yang harga rumahnya itu mungkin diluar nalar.
Tapi ya itu sepadan dengan kekayaan mereka yang sepertinya tidak akan habis.
"Ada yang bisa saya bantu, nona?"
Aku tersentak saat suara hangat menyapa dipagi hari yang mendung ini.
Aku segera membalikkan badan melihat siapa yang berbicara dan terlihatlah petugas keamanan yang sepertinya bertugas diarea perumahan super mewah dengan segala fasilitas lengkapnya.
"Ahhh... Hmmm...," aku gelagapan bingung menjawabnya. Harus kukatakan apa pada bapak satpam yang seperti menunggu jawabanku dengan sabar.
"Ingin bertemu seseorang. Kemarin sudah membuat janji," balasku sopan sembari tersenyum kecil. Ya mau bagaimana lagi, aku kan tidak tau siapa nama pria itu.
Bapak satpam itu mengerutkan alisnya. "Siapa orangnya?"
Tepat setelah bapak itu bertanya, sebuah mobil sedan keluar melewati pagar besi yang tinggi menjulang, desain pagarnya saja sudah sangat mewah, bahkan mungkin material pagarnya bukan sembarangan.
Ah betapa menyenangkannya memiliki banyak uang. Bisa melakukan apapun dan membeli apapun.
"Dia bersama saya," ucap datar seseorang yang suaranya tidak asing ditelingaku. Seseorang yang kemarin mencekal lenganku dan menghempaskannya seperti dia menghempaskan kayu yang menghalangi jalannya.
Aku menunduk malu, wajahku tiba-tiba menjadi panas. Apa yang bapak satpam ini pikirkan saat melihatku yang kumal memiliki janji dengan seorang yang berada dilevel berbeda denganku.
"Masuk,"
Huh aku mengeluh dalam hati. Nada perintahnya itu sungguh terdengar menyebalkan ditelingaku. Tapi darimana dia tau kalau aku sudah datang? Padahal belum waktunya untuk bertemu. Ah sudahlah untuk apa hal sepele seperti itu dipikirkan.
"Maaf pak. Saya duluan ya pak," ucapku hangat pada si bapak
"Oh iya non," balas si bapak santai.
Sekilas aku melihat jika si bapak terlihat begitu gugup berhadapan dengan pria itu. Sebenarnya seberapa besar kekuasaan yang dimilikinya? Sampai bisa menundukkan semua orang. Semuanya jadi memandang takut padanya.
Aku membuka pintu mobil dan duduk disamping pria itu, lalu menutupnya lagi. Mobil segera melaju masuk kembali kedalam perumahan yang semakin membuatku merasa 'wow'. Semua yang ada didalam sini begitu indah dan membuatku kagum.
Kira-kira berapa milyar rumah mewah ini mematok harga? Belum lagi jika pemiliknya ingin merenovasi rumah. Wah sungguh membuang-buang uang bukan. Padahal belum tentu juga mereka tinggali, secara mereka sibuk dan mungkin lebih sering berpergian. Ya setidaknya itulah yang aku pikirkan tentang orang kaya.
Kalau Liam juga memiliki semua ini, kenapa dia harus meninggalkannya? Jika dipikir kembali aku ternyata tidak mengenal Liam dengan baik.
Aku melirik kearah kursi pengemudi, melihat sosok pria yang mengaku sebagai saudaranya Liam, yang berpikir aku adalah penyebab kematian saudaranya itu.
Aku ingin marah. Kenapa aku justru tidak mengelak saat dia menuduhku seperti itu. Aku tau, kecelakaan itu memang kesalahanku. Tapi aku juga tak bisa mengendalikan takdir, takdir yang sampai merebut nyawanya.
"Kenapa kau menatapku?" tanyanya sangar.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, untuk menyadarkan diri dari lamunan. Lalu segera berpaling tanpa menjawab pertanyaannya.
"Kau sungguh berani membuang muka dan mengacuhkanku!" sambarnya marah.
Aku menghembuskan napas panjang. Ini masih pagi dan dia sudah emosi.
"Kenapa kau selalu begitu emosi. Apa kau juga sudah terbiasa emosi pada orang yang baru kau temui?" aku tak bisa mengendalikan nada bicaraku yang sudah naik satu oktaf.
Kalau saja dia tidak emosi, aku pun juga tidak akan begitu.
Entah karena bicaraku yang kasar atau apa, dia memberhentikan mobil dengan sangat mendadak. Kalau saja tak memakai sabuk pengaman mungkin kepalaku sudah menyentuh dashboard mobil.
Aku memandang tajam kearahnya.
"Apa kau sengaja?" kataku tinggi.
Dia hanya menaikkan sebelah alisnya, wajahnya seolah berkata itulah-akibat-jika-kau-mengacuhkan-ku. Lalu dengan santai keluar dari mobil.
Aku mengelus dada, bisa-bisanya ada orang kaya yang sombongnya bukan main seperti ini.
'Sabar, sabar, sabar. Kau harus sabar, Hazel' batinku menenangkan diri.
Aku pun mengikutinya keluar dari mobil, yang ternyata mobil tersebut berhenti didepan sebuah rumah yang begitu besar. Rasanya lebih besar dari rumah-rumah lainnya.
Rumah mewah yang bercat putih itu semakin menunjukkan kesan elegan ditambah dengan lampu gantung yang terletak dipintu masuk.
Hamparan rumput hijau juga menambah kesan damai dan sejuk dari si rumah. Beberapa pohon juga turut menghiasinya. Aku melihat ada lampu-lampu seperti lampu tumblr yang tergantung disepanjang pohon tersebut. Sepertinya saat malam hari, halaman rumah ini akan penuh kelap-kelip lampu.
Pasti itu sungguh indah sekali. Membayangkannya saja membuatku kagum.
Tapi terlepas dari kedamaian yang dipancarkan rumah ini, tetap terselip aura negatif dan gelap dari si pemilik rumah.
Aura dingin dan mendominasi bahkan begitu terasa dikulitku.
Aku menatap punggung pria itu yang tampak lebar dengan garis bahu yang terlihat tegas. Setelan jasnya terpakai rapi dan pas ditubuhnya. Otot lengannya bahkan tak bisa disembunyikan dan mencetak dengan jelas dibalik setelan yang dikenakannya.
Aku bukanlah seorang psikolog yang bisa membaca bagaimana karakter seseorang, tapi hanya dari melihatnya saja. Aku tau bahwa orang yang berada didepanku ini tidak terlihat sekuat yang ditunjukkannya didepan orang-orang.
"Mau berapa lama lagi kau memandangiku?" katanya sembari memutar tubuh dan menatapku dengan pandangannya yang sengit.
Dia ini benar-benar sangat peka dan tajam. Instingnya benar-benar main.
"Aku sedang melihat kedepan. Sedangkan kau berada didepanku. Jika aku tak melihat kearahmu, lalu kemana aku seharusnya melihat? Jika melihat kesamping aku tidak bisa melihat jalan, lalu akan terjatuh dan mempermalukan diri sendiri. Kau pikir aku mau begitu? Kau pikir aku memang sengaja ingin memandangimu?" balasku ngotot.
Dia tidak boleh tau jika aku memang memperhatikannya, ya kalaupun dia tau sebaiknya dia pura-pura tak tau saja.
"Kau pikir aku bodoh?" jawabnya tak kalah ngotot.
Aku mengibaskan tangan, "Terserah kau saja" lalu berjalan melewatinya dan sampai didepan pintu. Ketika aku hendak mengetuk pintu, pintu itu otomatis langsung membuka.
Sepintas kupikir jika pintu ini dipasang alat sensor yang akan membuka sendiri jika mendeteksi adanya gerakan. Seperti dipusat perbelanjaan. Tapi ternyata aku harus mengubur ekspektasi itu karena tiba-tiba muncullah seseorang pria paruh baya, yang rambutnya hampir seluruhnya sudah putih, dengan kacamata yang bertengger dengan nyaman dibatang hidungnya.
Juga memakai setelan rapi dengan sarung tangan berwarna putih. Hmm rasanya mirip-mirip tokoh difilm yang berperan sebagai pelayan rumah mewah.
Dia menyambutku dengan senyuman. Lalu mengarahkan pandangannya kepada pria dibelakangku. "Anda sudah kembali, Tuan"
Oh jadi benarkah dia pelayan si pria sombong ini.
"Tolong urus dia," perintahnya dingin. Lalu dengan acuh dan langkah lebar masuk kedalam rumah.
Saat itu bulu kudukku langsung meremang. Saat dia berjalan melewatiku, auranya benar-benar membuatku takut.
Aku memandang kikuk pada bapak-bapak didepanku ini. Hmm kira-kira berapa ya umurnya.
Mungkin sekitar 60-an. Tapi dia masih terlihat bugar. Kulitnya putih berseri walaupun sudah keriput. Tapi sangat terlihat jika dia adalah orang yang cekatan.
"Perkenalkan saya Abraham. Cukup panggil saja dengan Brams. Saat ini saya adalah kepala pelayan yang mengurusi segala hal tentang keluarga Waters." katanya sembari menjulurkan tangannya.
"Saya Hazel Grace. Cukup dengan Hazel saja," jawabku sembari menjabat tangannya.
"Selamat datang, nona Hazel. Ayo masuk, saya akan jelaskan ketika kita berada didalam,"
Aku mengangguk dan melangkahkan kaki di rumah yang mungkin tidak akan aku datangi lagi.
Lantai dari batuan alam yang tidak main-main harganya, juga hiasan yang menambah kesan mewah, berbagai perabotan serba rotan yang sangat menguras kantong itu sungguh terlihat megah. Tapi ya perawatannya juga harus ekstra.
Entah kenapa perasaanku jadi tak karu-karuan. Mungkin karena aku merasa tak pantas hanya dengan menginjakkan kaki ditempat ini.
Kemewahan saat ini, entah kapan aku bisa mendapatkannya. Ya tapi sederhana lebih cocok untukku.