Chereads / Just About Us (Move To New Link) / Chapter 6 - I'm Sorry, I Love You Part 6

Chapter 6 - I'm Sorry, I Love You Part 6

"Silahkan duduk Nona Hazel,"

Suara lembut Brams, membuatku jadi kikuk dan sedikit merasa risih. Sepertinya terlalu berlebihan jika Brams menyebutku nona.

"Cukup Hazel saja, tak perlu pakai embel-embel nona" balasku cengengesan tidak jelas. Ya agar tidak canggung saja sih maksudku. Sembari mendaratkan bokong diempuknya sofa rumah mewah.

Tapi Brams menggeleng dan tersenyum manis, "Tidak apa Nona Hazel"

"Ah tapi-" belum sempat aku selesai bicara, pria sombong namun tampan itu sudah memotongku lebih dulu. Percuma tampan kalau tak punya adab dan tidak sopan pada orang lain.

"Tolong tinggalkan kami, Brams"

Brams pun mengangguk patuh dengan senyuman yang tak pernah tertinggal dari bibirnya yang sudah keriput. Padahal Brams harusnya sudah bisa menikmati masa tuanya. Kenapa harus bersusah payah mengurusi keluarga pria-tampan-tapi-tak-punya-adab. Julukan yang baru untuknya.

Sudahlah lagipula itu bukan urusanku, mungkin saja Brams memang senang melakukannya.

Setelah peninggalan Brams, tinggal aku dan pria Waters itu saja diruangan yang sepertinya ruang untuk membaca karena terhampar banyak buku disekelilingnya. Aku baru menyadarinya.

Duh mulai datang minat membacaku. Rasanya ingin langsung menghirup aroma buku-buku yang sangat memabukkan itu.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" sentuhan dingin jari pria sombong ini saat menjentikkannya dikeningku membuatku seketika menepis kasar tangannya.

"Jangan menyentuhku, sialan" umpatku padanya seraya marah.

Tanganku yang tadi kugunakan untuk menghempaskannya kini sudah berada dalam cekalannya. "Kenapa aku tak bisa menyentuhmu? Hidupmu kini berada ditanganku. Apa kau tak menyadari itu? Terserah aku mau melakukan apapun" matanya sangat mencerminkan kemenangan yang tak bisa diganggu gugat.

Aku menggertakkan gigiku. Perasaan marah dan kesal rasanya ingin keluar minta untuk dilepaskan.

"Apa kau setidaknya punya sedikit hati nurani untuk melepaskan tanganku?" balasku datar sembari menatap matanya lurus-lurus.

Mata cokelat gelap miliknya yang bisa dengan mudah membuat orang patuh padanya. Mata yang hanya memancarkan kebencian saat melihatku.

Mendengar itu, pria itu pun melepaskan cekalannya, aku langsung memijat pergelangan tanganku yang sakit dan merah itu.

"Apa yang kau ingin aku lakukan? Kau menuduhku membunuh Liam, apa sebenarnya kau tau bagaimana kejadian sesungguhnya?" tanyaku tanpa basa-basi lagi.

Lebih baik segera diselesaikan daripada berlarut-larut. Juga agar aku bisa segera pergi dari tempat yang mulai terasa sumpek ini.

"Baca ini!" pintanya sembari melempar kasar sebuah map coklat. Sungguh pria ini benar-benar sudah kehilangan sopan santunnya.

Aku dengan cepat mengeluarkan isi yang ada didalam map itu, dan benar-benar kehabisan kata-kata saat membacanya.

Aku disebutkan sebagai Pihak Kedua, dalam perjanjian ini akan mengabdikan seluruh kehidupanku kepada Pihak Pertama yaitu si pria sombong ini, bahasa kasarnya menjual hidupku. Eh tertulis namanya, Christian Waters.

Aku langsung menghempaskan kertas itu kehadapannya, pria yang namanya Christian ini.

"Apa maksudmu? Kau memintaku untuk menjual hidupku sebagai iming-iming untuk menebus tanggungjawab karena telah menghilangkan nyawa Liam. Apa kau sudah kehilangan akal sehatmu?" teriakku didalam ruangan yang lumayan besar dengan lampu gantung cantik bertengger dilangit-langitnya.

Pria itu, hanya tersenyum simpul namun wajahnya terlihat keras. "Lalu apa kau ingin hutang nyawa dibalas nyawa? Ya kalau itu keinginanmu, aku akan mengabulkannya untukmu"

Hutang nyawa dibalas nyawa. Tak perlu orang pintar untuk tau apa maksudnya. Dia ingin aku juga mati demi memenuhi pertanggungjawabanku.

"Kenapa kau memperlakukanku seperti ini? Apa kau tak bisa setidaknya mendengarkan penjelasanku?"

Aku menertawai diriku sendiri didalam hati. Dalam keadaan begini masih sempatnya aku melobi pria keras kepala yang juga keras hati.

"Aku tak ingin mendengar apapun penjelasanmu. Fakta yang berbicara. Kau mengemudi dalam keadaan mengantuk dengan kecepatan tinggi dan menabrak pembatas jalan, sampai membuat Liam terpental keluar mobil dan menghilangkan nyawanya ditempat. Kau pikir aku bisa memaafkan jika kau melakukan pembelaan dirimu saat ini?"

Aku terdiam, bahuku merosot. Mataku seketika berkaca-kaca. Memang benar, saat itu aku mengemudi dalam keadaan mengantuk. Aku hendak membawa Liam ke rumah sakit karena dia mengeluh sakit dibagian dadanya. Aku panik dan dengan kecepatan tinggi memacu mobil, tapi aku lupa jika saat itu aku tidak tidur selama 2 hari, membuatku begitu mengantuk dan akhirnya oleng menabrak dengan keras pembatas jalan yang terbuat dari beton itu. Hingga menewaskan Liam begitu saja. Sedangkan aku selamat hanya luka ringan.

Mungkin bagi pria ini, hal itulah yang tidak adil untuknya. Harusnya aku yang mati, dan bukan Liam.

Tapi semua itu sudah takdir. Aku tak dapat merubahnya, mau sekeras apapun aku berusaha, Liam juga tidak mungkin kembali.

"Lalu kau berpikir jika ini satu-satunya cara agar aku menebus kesalahanku" suaraku mendadak serak, bulir air mata sudah jatuh disudut mataku.

"Ya. Hanya itu satu-satunya cara yang kupikir setidaknya bisa meredam rasa amarahku akibat kehilangan Liam. Kau yang telah merenggutnya dariku. Karena Liam bahkan lebih berarti daripada apapun yang aku punya saat ini-" dia menggantungkan kalimatnya. Jeda sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. "Kau pun pernah kehilangan orang yang berarti untukmu. Aku yakin kau pasti tau bagaimana rasanya hal itu"

Benar. Yang dikatakannya adalah benar, walaupun demikian aku tak mengerti. Seberapa dalam hubungan saudara antara Liam dan Christian. Sementara Liam tak pernah menceritakan tentang adiknya ini padaku. Apakah sama seperti aku dan adikku. Aku rela melakukan apapun untuknya karena aku begitu menyayanginya. Mungkinkah pria ini juga seperti itu.

"Cepat tanda tangani perjanjian itu. Seharusnya 9 bulan cukup untuk membayar pertanggungjawabanmu" katanya lalu berdiri dan berjalan keluar dari ruang baca.

Aku terisak lagi. Semua ini semakin berat. Bukan kehidupan seperti ini yang ingin aku jalani. Bukan terjebak dengan pria bernama Christian itu.

Jika ada seseorang yang bisa menggantikan ku saat ini, aku ingin sekali menukarnya.

"Apa kau sudah menandatanganinya?"

Aku mendongak menatap wajahnya yang baru saja kembali. Menatap kesal padanya.

"Aku harus berpikir dulu,"

Pria itu mendesis, "Cih. Kau tak perlu berpikir. Cepat tandatangani itu. Kalau kau tak ingin melihatku memaksamu"

Aku mengepalkan kedua tanganku, dan berdiri lalu berjalan menghadapnya yang saat ini dengan santai bersandar didekat rak-rak buku. Raut wajahnya seakan mengatakan kau-tak-akan-bisa-mengalahkan-ku

Aku saat ini begitu marah dan kesal. Tak mengerti mengapa aku harus melalui semua ini. Dengan langkah lebar aku berjalan kearahnya dan ketika sampai didepannya, aku langsung mengayunkan tanganku ingin meninju wajahnya yang tampan tapi menyebalkan.

Namun sayang seribu sayang, tangan kekar itu lebih cepat menangkap tanganku yang kecil. Pria itu lalu membalikkan badanku dan menghimpit tubuhku diantara dirinya dan rak buku.

"Lepaskan!" kataku

Dia tidak bergeming, matanya jadi menyala marah. Alisnya bertaut tajam dan rahangnya mengeras.

"Apa kau masih belum mengerti? Tindakanmu yang menyebabkan nyawa seseorang melayang. Tidakkah kau berpikir bahwa saat ini kau harusnya berada dipenjara akibat dari kelalaianmu. Tapi aku dengan baiknya membayar uang untuk kompensasimu agar kau tidak dihukum karena aku yang akan langsung mengurusmu,"

Setiap kalimatnya penuh penekanan seolah untuk menyadarkanku bahwa pria ini lah yang lebih pantas untuk memberikanku hukuman.

"Aku bahkan tak tau itu. Apa aku memintamu untuk melakukannya? Aku lebih memilih hidup didalam penjara daripada harus mengikutimu" balasku membela.

Aku memang heran kenapa aku tak kunjung dipanggil polisi untuk dimintai keterangan, karena aku sadar jika aku telah melakukan kelalaian dalam mengemudi. Tapi aku sungguh tak tau, jika salah seorang dari keluarga Waters telah membayar uang kompensasi untukku agar tidak dihukum. Seandainya aku mengetahui hal itu, tentu aku lebih memilih hidup di penjara. Ternyata orang kaya seperti itu.

"Jangan membantahku. Lakukan apa yang aku katakan sekarang, jika kau tak ingin aku kembali menggugatmu" ancamnya tepat ditelingaku, hembusan napasnya mengenai tengkukku yang langsung mengirimkan getaran keseluruh tubuhku.

"Dasar bajingan," makiku pelan namun aku yakin dia mendengarnya.