"Kau bisa mengubahnya nanti. Lebih baik kita bersenang-senang saja hari ini"
Aku menyipitkan mata, "Apa kau sudah punya rencana?"
Dia mengangguk dengan tegas, "Tentu. Kau hanya perlu menikmatinya"
Aku dengan cepat membereskan barang-barangku dan memasukkannya kedalam tas.
"Ayo kita pergi" ucapku dengan sangat antusias.
Ini adalah pertama kalinya dalam 6 bulan terakhir aku hidup bebas. Christian tidak lagi mengekang dan mengaturku, juga tak perlu mengawasiku.
Tentu aku harus menikmati hal ini kan. Entah apa yang sedang dia rencanakan. Sepertinya dia memang serius untuk menjadi lebih baik kepadaku.
Christian tersenyum manis sekali, membuat remaja-remaja wanita di cafe itu berbisik-bisik. Namun bisikannya terlalu kuat hingga aku bisa mendengarnya.
Para remaja itu mengagumi ketampanan Christian yang katanya seperti aktor film. Begitu tampan dan berkarisma.
'Cih, sialan' batinku kesal. Semoga saja mereka tidak berpikir yang macam-macam tentang pria itu.
"Hazel, ayo kita pergi sekarang" ajak Christian yang sudah menarik tanganku dihadapan pada remaja-remaja wanita itu.
Spontan membuat mereka mengeluh kecewa karena ternyata pria tampan ini sudah memiliki kekasih. Eh tapi kan hanya pura-pura saja.
Untuk semakin membuat hati para remaja itu patah, Christian sengaja merangkul pinggangku. Menunjukkan kemesraan.
Aku seketika memerah, karena sangat malu. Sorak-sorai pengunjung yang melihat kemesraan diantara aku dan Christian, tak kuasa membuatku malu bercampur senang.
Apa yang tengah aku rasakan ini. Kenapa Christian bersikap seperti ini denganku. Membuatku jadi gugup dan salah tingkah.
Aku sekilas melihat wajah Christian yang seperti menahan senyumnya. Matanya berbinar senang tapi dia berusaha untuk menyembunyikannya.
Christian tetap merangkul pinggangku hingga kami keluar dari cafe.
"Sudah lepaskan. Jangan mengambil kesempatan," ucapku galak.
Ah sial, aku hanya menutupi fakta bahwa hatiku senang.
Christian mengikuti ucapanku, "Maaf" katanya sambil mengangkat kedua tangannya.
Aku membuang muka, wajahku terasa panas sekali.
"Kenapa hari ini panas sekali ya," ujarku buru-buru masuk ke mobil Christian.
Christian menatapku bingung lalu mengalihkan pandangannya ke langit.
Entah apa yang dia pikirkan aku tidak peduli.
Christian dengan wajahnya yang terheran-heran itu masuk ke mobil, menatapku dengan pandangan bertanya.
"Ada apa kau menatapku begitu?" kataku sewot.
Aku merasa panas karena dia menatapku seperti itu.
"Apa kau sakit? Kau terlihat seperti tidak baik hari ini"
Christian ingin menempelkan punggung tangannya dikeningku, tapi aku buru-buru menepisnya dan menyangkal.
"Tidak, aku tidak sakit. Sudah tak perlu banyak bicara. Kemana kita akan pergi," balasku cepat lalu mengalihkan pandanganku keluar jendela.
Aku menarik napas pelan-pelan demi mengurangi detakan jantungku yang terdengar keras sekali. Sampai aku takut Christian mendengarnya.
Aku berharap sikapku tadi tidak menyinggungnya, aku hanya tak ingin dia tau bahwa aku merasakan hal aneh pada diriku.
Christian pun menyalakan mesin mobil lalu menginjak pedal gas dan meninggalkan tempat ini.
Aku melirik-lirik sedikit kearahnya yang sangat fokus menyetir. Masih belum ada ide kemana sebenarnya Christian mengajakku.
Suasana diantara kami pun mendadak jadi canggung, tak ada yang memulai pembicaraan.
Aku menghembuskan napas panjang dan menatap lagi bangunan disepanjang perjalanan yang aku lalui.
Karena tidak memiliki teman dekat, aku jadi sangat jarang berpergian. Sehari-hariku hanya dihabiskan untuk membuat komik. Ditambah dengan 6 bulan terakhir ini yang membuatku semakin tidak memiliki pergaulan.
Aku juga tak tau apakah Christian memiliki teman dekat atau tidak. Dia tak pernah membawa temannya datang ke rumah atau sekedar memperkenalkan aku kepada teman-temannya.
Aku seperti tahanan yang dikurung di menara tinggi hingga tak boleh bertemu dengan siapapun.
Tapi jika dilihat dari sifatnya yang begitu. Sepertinya tidak ada yang tahan berteman dengannya. Pikiranku membuatku jadi tertawa sendiri.
"Apa yang kau tertawakan?" Christian tampak tak senang.
Aku menoleh kearahnya, dan menggelengkan kepala, "Tidak ada. Hanya menertawakan sesuatu yang lucu"
Ya sebenarnya tidak begitu lucu sih.
"Apa itu tentangku?"
Aku melongo tak percaya. Kenapa Tuan Muda Waters ini sangat percaya diri. Apa karena dia itu Tuan Muda makanya bisa berpikiran seperti itu.
"Sebaiknya Anda tidak perlu terlalu percaya diri, Tuan Muda Christian Waters," selaku mencibir.
Christian melihatku dari sudut matanya, tatapannya itu kembali lagi ke awal. Dingin dan kejam.
'Oh Tuhan. Pindahkan saja aku ke belahan bumi yang lain. Sulit sekali menghadapi pria satu ini'
"Berhenti menatapku seperti itu. Kau sudah katakan akan bersikap baik denganku, Christian. Tidak ada seseorang yang suka dipandang dengan pandangan mata seperti ingin membunuh," celotehku melontarkan aksi protes.
"Aku menertawakan sesuatu dan itu memang berkaitan denganmu" jawabku jujur.
"Tentang apa?" tanyanya terlihat penasaran. Matanya sudah tak lagi menatapku dengan seram, kini sudah fokus lagi dengan jalanan didepannya.
"Aku bertanya-tanya apakah kau memiliki teman dekat atau tidak. Karena aku tak pernah melihatnya. Lalu aku berpikir jika mereka sebenarnya tak tahan harus berteman dengan orang yang galak dan temperamental sepertimu,"
Kata-kataku tadi sangat keterlaluan. Sebagai orang yang emosinya tidak stabil, kalimat yang aku lontarkan tadi bisa memicu amarah Christian. Karena itu pasti menyinggungnya.
Aku sebenarnya takut-takut saat mengatakannya, takut dia meledak lagi. Tapi dia diam saja malah mengeraskan rahang, seperti menahan sesuatu.
Ah benar dia sedang menahan amarahnya akibat dari ucapanku yang sangat kurang ajar.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu," ucapku cepat sembari menghadapnya agar dia tidak jadi marah.
"Hazel. Satu-satunya teman dekatku sudah meninggal. Ya awalnya sih bisa disebut begitu, tapi ternyata dia menghianatiku. Ayahku adalah dalang dibalik itu semua,"
Benar juga. Aku tak pernah tau yang mana ayahnya Christian atau ibunya. Mereka tak pernah datang. Aku juga tak pernah mendengar Christian menyebutkan tentang mereka.
Sebenarnya ada apa dengan keluarganya? Liam juga seperti menyembunyikannya, Christian pun juga sama.
Apakah ada sesuatu yang buruk telah terjadi?
"Maaf, aku-"
"Setiap aku mulai berteman dengan seseorang, ayahku tidak akan pernah membiarkannya. Akhirnya mereka tak ada yang ingin berteman denganku. Jadi setelah teman dekatku itu meninggal, hanyalah Liam yang ada disisiku. Tapi ya begitulah,"
Christian tak ingin melanjutkan kalimat akhirnya karena aku juga tau kelanjutannya.
"Christian," ucapku lemah. Ini juga pertama kalinya Christian terbuka seperti ini. Benar-benar hal yang baru. Menambah ilmu pengetahuanku tentang Tuan Muda kaya raya ini.
"Tak apa. Semua juga sudah berlalu," senyuman penuh luka itu tak bisa disembunyikan diwajah tampannya.
Kerutan disudut matanya tampak jelas menandakan bahwa dia sangat terluka.
Tiba-tiba mobil berhenti didepan sebuah wahana bermain.
"Sudah lama aku tidak datang kesini," gumamku berbinar senang melihat wahana bermain yang saat ini tengah ramai dikunjungi itu.
Setelah mobil terparkir dengan benar, aku dan Christian keluar dari mobil.
Lalu berjalan agak jauh dari parkiran untuk sampai dipintu masuk wahana.
GRAB!!!!!
Aku inisiatif menggenggam tangannya. Christian tampak sangat terkejut dan langsung menoleh kearahku dengan matanya yang bulat sempurna. Tapi tidak menepisnya atau melepaskannya.
"Ayo kita nikmati saat ini," ucapku tersenyum lebar kearahnya. Genggaman tanganku, kueratkan. Sebagai bentuk bahwa aku ada disisinya, setidaknya sampai 3 bulan kedepan.
Entah masa lalu kelam seperti apa yang sudah dilewati oleh Christian. Tapi untuk saat ini saja, aku ingin membuatnya melupakan segala kesedihannya.
Aku menarik dengan antusias tangan Christian agar berjalan lebih cepat.
"Aku membawamu kesini untuk menghiburmu. Bukan kau yang menghiburku," protesnya sembari tertawa kecil.
"Anggap saja untuk menghibur kita berdua,"
Kami pun membeli tiket masuk wahana dan berharap hal ini bisa mengurangi sedikit beban hidup yang rasanya begitu berat.
Aku juga berharap semoga hubunganku dan Christian bisa menjadi lebih baik.