Aku tanpa sadar menyentuh bibirku yang dikecup Christian tadi. Terasa dalam tapi tidak menuntut.
Rasa panas dari diri Christian juga masih mengalir dalam tubuhku.
"Apa yang sedang kau lamunkan?"
Aku mendongak bengong menatapi Christian yang berbicara padaku.
"Kau dari tadi terlihat melamun. Apa ada sesuatu yang mengganjal dihatimu?"
Aku dengan cepat menggelengkan kepalaku. Dia tidak boleh tau kalau aku memikirkan hal yang tadi terjadi ketika mereka berada di lorong.
Mereka saat ini tengah berada didalam bianglala. Berputar sangat perlahan, demi bisa menikmati pemandangan disekeliling wahana.
"Untuk makan malam kau yang akan traktir bukan?" cetus Christian kembali mengingatkanku.
Benar juga. Aku kalah dalam permainan menembak tadi, maka aku harus membayar untuk makan malam.
Aku menggigit bibir bawahku. Seleraku dan Christian sangat berbeda. Jika aku tidak masalah makan dipinggir jalan, maka itu tidak berlaku untuknya.
Christian pasti akan memilih restoran mahal dan bersih sesuai dengan keinginannya.
"Ya, aku akan membayar untuk makan malam. Apa ada tempat yang ingin kau datangi?"
Christian tersenyum tipis, "Tentu. Kau juga tau aku tak bisa makan disembarang tempat,"
Oh Tuhan, habis sudah uang tabunganku hanya untuk membayar makanan dia.
"Baiklah kalau begitu," jawabku pasrah.
Sudahlah tak apa. Toh tabunganku juga tidak kugunakan untuk apapun. Anggap saja ini juga menyenangkan hatinya.
Aku dan Christian tengah duduk berhadapan. Lampu-lampu setiap wahana bersinar terang, juga berwarna-warni. Kerlap-kerlip.
Indah sekali. Tapi apa yang lebih indah adalah sosok mahkluk didepanku ini.
Dia sedang menatap keluar dari jendela bianglala yang sedang kami tempati, matanya tersirat sesuatu, bibir tipisnya tampak datar tidak menyunggingkan senyum secuil pun.
Rahangnya terlihat tegas. Bulu-bulu halus yang mulai tumbuh disekitar wajahnya membuat tingkat ketampanannya bertambah.
Tiba-tiba bianglala berhenti berputar. Ternyata baru kusadari jika saat ini kami berada dipuncak tertinggi dari bianglala. Seketika pemandangan seluruh wahana ini terlihat.
Masih banyak orang yang memainkan berbagai wahana itu, semua orang itu benar-benar tampak sangat bahagia.
Aku pun juga merasakan hal yang sama. Sepintas aku melirik Christian lagi yang masih tenang menatapi keadaan diluar jendela.
"Aku suka tempat ini. Kapan lagi aku bisa melihat pemandangan yang indah dari puncak saat naik bianglala. Mungkin aku harus datang kesini lagi lain kali," ucapku pelan masih tetap menatapi keramaian orang-orang disana.
"Ya, kau bisa datang lagi lain kali," sahutnya pendek.
Ahh ternyata Christian tidak mengerti kode dariku. Padahal jika dia bisa menangkapnya dengan benar, aku ingin datang lagi kesini bersama dengannya.
Aku jadi kecewa sendiri.
"Hazel" panggilnya tapi matanya masih menatap keluar jendela.
"Ya?" balasku acuh
"Minggu depan adalah perayaan hari ulang tahun perusahaan. Apa kau bisa menemaniku datang?"
Ah ulang tahun perusahaan ya. Wah bisa dihitung dengan jari berapa kali aku datang ke pesta-pesta formal seperti itu.
"Kenapa kau ingin aku pergi bersamamu?" tanyaku ingin tau. Memancing Christian dulu, agar aku tau apa yang dia pikirkan.
Christian diam sejenak, sepertinya dia sedang menyiapkan jawaban.
"Mungkin supaya aku tidak bosan," jawabnya datar.
Dasar sialan. Dia pikir aku mainan bisa dia gunakan saat dia bosan lalu dibuang begitu saja.
"Katakanlah yang sejujurnya. Aku tidak terima kebohongan,"
Mendengar itu Christian cengengesan, "Ya untuk menemaniku. Agar tak ada wanita-wanita yang bisa mendekatiku, karena aku jengah ingin meladeni mereka,"
Ooh jadi itu alasan sebenarnya. Ya bisa dikatakan juga aku ini digunakan sebagai tameng kan. Hmm tidak ada salahnya membantu Christian kalau begitu.
"Baiklah," kataku menyetujui permintaannya.
Christian tersenyum tipis. Cih memangnya dia siapa sehingga banyak wanita yang mengejarnya. Penampilannya memang oke, tapi untuk akhlak sangat kurang sekali. Zaman sekarang akhlak dan tingkah laku lebih diutamakan.
"Apa kau sebegitu percaya dirinya, mengatakan bahwa semua wanita-wanita bakal mengejarmu, sehingga menjadikanku tameng? sarkasku pedas.
Christian cekikikan lagi, "Kau tadi tidak lihat remaja-remaja itu pada sibuk ingin berfoto denganku," balasnya dengan nada angkuh.
Ya memang sih. Aku sendiri pun mengakui bahwa ketampanan Christian tidak terkalahkan.
"Tapi coba katakan jujur padaku. Apa aku lebih tampan daripada Liam?"
DEG!!!!
Kenapa Christian mendadak membawa-bawa Liam? Itu bukan sesuatu yang aku sukai.
"Kita tidak sedang membahas itu" jawabku bergetar.
Christian tersenyum miring, "Kenapa? Kau tak mau mengakui bahwa aku memang lebih tampan darinya?"
Ada apa sih dengan Christian. Dia seperti anak-anak yang sedang cemburu.
"Kau dan Liam tidak bisa dibandingkan. Liam itu sangat berarti untukku. Dia ada disaat-saat aku membutuhkan seseorang,"
Aku berbicara tanpa berpikir dulu. Tapi posisi Liam memang sangat penting untukku, dan tak mungkin bisa digeser dengan yang lainnya.
"Jangan serius begitu. Aku hanya bercanda," ucapnya seperti sedih. Dia kembali mengacak-acak rambutku.
Bianglala bergerak kembali, lalu memutar sekali lagi dan akhirnya berhenti.
"Ayo kita turun,"
Apa aku yang merasa ge-er atau memang Christian yang seperti sedih saat mendengar jawabanku tadi. Apa Christian berharap aku mengatakan sesuatu yang berbeda?
Seketika kami turun dari bianglala. Hanya hening dan tanpa suara.
"Akhh!!"
Christian tiba-tiba mengeluh sakit dan memegangi dadanya.
"Christian, apa yang terjadi?" kataku sembari menahan lengan Christian yang seperti akan roboh.
Beruntung tidak jauh dari mereka ada tempat duduk kosong, aku segera membawanya kesana.
Christian tampak sangat kesakitan, dia bahkan sampai menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakitnya, matanya terpejam kuat.
Aku bingung harus bagaimana.
"Apa yang harus aku lakukan? Kau ingin aku membawamu ke rumah sakit?" tanyaku yang jadi semakin panik.
Christian membuka matanya, napasnya memburu, keringat sudah mengucur dari pelipisnya. "Apa kau bisa membelikanku sebotol air?" pintanya susah payah.
Dia memegangi dada bagian kiri. Itu kan letak jantung.
Tapi bukan itu yang penting saat ini.
"Baiklah. Tunggu sebentar disini," aku bergegas mencari gerai yang menjual berbagai minuman lalu ketika menemukannya aku dengan cepat membeli keperluanku dan berlari dengan sangat terburu-buru ketempat dimana Christian menungguku.
Dalam sekejap saja, Christian terlihat sama pucatnya dengan yang terakhir kali kulihat ketika di kelab malam.
Jantungku bertalu-talu menyakitkan melihat Christian yang menahan sakit.
Aku segera memberikannya botol air yang sudah aku beli.
"Ini minumlah," kataku khawatir.
Christian menenggak air itu hingga setengah botol. Apa yang sebenarnya terjadi pada Christian? Apa dia memiliki suatu penyakit?
Setelah minum itu dia terlihat bisa bernapas dengan normal kembali. Tangannya sudah tidak lagi didadanya.
"Apa kau masih merasa sakit?" tanyaku yang berusaha untuk tetap tenang melihat Christian tidak sesakit tadi.
Christian menggeleng lemah.
"Kita pulang saja ya,"
Christian menggeleng lagi. "Tidak, Hazel. Kau sudah berjanji akan mentraktirku makan malam,"
"Aku ganti lain kali saja bagaimana. Malam ini kita makan malam di rumah saja,"
Christian menggeleng tegas. "Jika tidak malam ini, aku tidak akan punya kesempatan lain" katanya bersikeras.
"Christian. Aku saat ini sangat mengkhawatirkan dirimu. Kau berada dikondisi yang hampir sama dengan malam itu. Aku juga sudah berjanji pada Brams. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?" balasku frustasi.
Ingin rasanya menangis, tapi terlalu lemah jika begitu. Aku tidak ingin terlihat lemah dihadapannya.
"Hanya sesak napas biasa, Hazel. Aku sudah baik-baik saja sekarang," katanya pura-pura tersenyum tegar, agar tidak membuatku semakin khawatir.
Aku menghela napas panjang. Kenapa dia harus berpura-pura saat dari wajahnya saja sudah ketahuan jika dia sakit.
"Percaya padaku. Aku saat ini sudah tidak apa-apa. Lebih baik kita pergi sekarang, supaya kita tidak pulang terlalu malam," bujuk Christian.
"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" tanyaku tak habis pikir padanya.
Christian hanya tersenyum misterius.
"Berikan kunci mobilnya padaku. Biar aku yang menyetir,"
Dia tersenyum lebar. "Terima kasih,"
Kami pun berdiri, saat berdiri aku melihatnya yang sudah lumayan stabil.
Dia tersenyum lagi padaku, tapi aku hanya memasang raut wajah datar padanya.
Kami pun berjalan perlahan keluar dari wahana bermain ini, dalam diam dan keheningan diantara kami. Semua suara dari keramaian itu bahkan tidak terdengar ditelingaku, begitu fokusnya aku memikirkan kondisi Christian.
Bulan bersinar terang malam ini, begitu juga bintang-bintang yang terlihat dilangit.
Tapi cahayanya tak mampu menyinarkan kembali diriku yang sudah kalut akan Christian.