Chereads / Just About Us (Move To New Link) / Chapter 19 - I'm Sorry, I Love You Part 19

Chapter 19 - I'm Sorry, I Love You Part 19

Dari tadi pagi aku bangun, aku sudah merasa gugup setengah mati. Mengetahui bahwa hari ini aku akan bertemu Christian membuatku jadi senang sendiri.

Seperti yang Christian katakan, hari ini adalah pesta hari jadi perusahaannya. Dia memintaku untuk datang menemaninya.

Itu artinya sudah seminggu sejak Christian pergi hari itu. Setelah mengatasi kesalahpahaman yang terjadi. Dia rutin memberikan kabar, ataupun menanyakan bagaimana hariku. Padahal dia sibuk sekali, tapi dia menyempatkan waktunya.

Aku mulai berpikir, apakah Christian membuka hatinya untukku? Lalu bagaimana denganku? Apa aku juga mulai membuka hatiku untuk Christian?

Hubunganku dan Christian akan berakhir di bulan Desember tanggal 31, dan hari ini sudah tanggal 25 bulan Oktober.

Itu artinya kira-kira 2 bulan lagi. Sungguh waktu berlalu begitu cepat. Hari demi hari kulewati begitu saja.

Dari sejak Christian mengatakan bahwa dia akan bersikap baik padaku, aku jadi selalu bimbang akan perasaanku sendiri.

Christian tak ada niatan untuk menggodaku, dia memang hanya jujur bahwa ingin bersikap lebih baik denganku.

Tok...tok...tok...

Suara ketukan pintu membuatku mengerjapkan mata. Setiap kali memikirkan Christian, aku jadi bengong dan melamun.

Tok...tok...tok....

Aku bangkit dari dudukku, dan berjalan menuju pintu.

"Ya?"

Seketika aku melongo tak percaya melihat pemandangan didepanku.

"Tuan Muda ingin Anda memakai gaun ini dan meminta Anda untuk bersiap-siap sekarang,"

Brams dengan lembut menjelaskan apa maksud dari kedatangannya yang diikuti beberapa pelayan membawa sebuah gaun yang mewah, berwarna biru dongker, menampilkan sisi elegan dan dewasa.

"Baiklah. Terima kasih, Brams" ucapku masih menatap gaun itu dengan mata takjub.

Brams kemudian meminta para pelayan wanita itu untuk membantuku bersiap-siap. Mereka mengangguk mengikuti arahan Brams, lalu Brams pergi meninggalkan kami.

Aku meminta mereka untuk masuk kekamarku. Aku menelusuri gaun itu dengan mataku. Kira-kira berapa harga yang Christian keluarkan untuk gaun ini.

Terlihat sangat mewah, aku tak sanggup jika memakainya. Jika aku yang memakainya itu akan membuat gaun itu turun kemewahannya.

"Ini berlebihan untukku," lirihku pelan, menggigit bibirku karena rasa ragu dan berkecil diri semakin menguasaiku.

Lagu Mirror milik Justin Timberlake mengalun indah diruangan yang bernuansa biru muda ini. Aku tersentak mendengar ponselku menyanyikan lagu paling romantis itu.

Buru-buru aku meraihnya, tanpa melihat siapa yang menghubungiku.

"Halo?" sapaku cepat.

"Hai, ini aku,"

Mendengar itu, aku sontak tersenyum lebar. Ini dari Christian.

"Kau sudah melihat gaunnya?" tanyanya.

"Ya," jawabku ragu.

"Kenapa? Kau tak suka?"

Aku menggaruk belakang telingaku yang tak gatal dan duduk dipinggiran ranjang, kembali memperhatikan setiap detail digaun itu.

"Aku suka. Suka sekali. Tapi aku merasa tak cocok memakainya," kataku jujur.

Christian terdengar cekikikan diseberang sana, "Kau terlihat cantik memakai apapun, Hazel. Gaun itu cocok untukmu. Lagipula kalau tak cocok, aku tak akan membelikannya untukmu,"

Jadi Christian berpikir jika gaun ini memang cocok jika kupakai.

"Aku akan menunggumu. Pakailah gaun itu dengan percaya diri. Kau akan menarik semua perhatian malam ini, Hazel. Kau datang bersamaku, dan aku mengandalkanmu untuk malam ini,"

Aku terdiam, benar yang dikatakan Christian. Aku tidak seharusnya membuatnya malu malam ini.

"Baiklah, terima kasih" balasku lalu memutuskan panggilan.

Aku kembali menatap off shoulder maxi dress didepanku ini.

Oh Tuhan, memakai gaun itu akan mengekspos garis bahuku. Wah aku merasa malu.

Dengan ragu aku mengambil gaun itu dan meminta para pelayan itu membalikkan tubuh mereka saat aku mengganti baju. Walaupun sesama wanita, tetap saja aku merasa malu.

Dengan super hati-hati aku memakainya, dan meminta bantuan salah satu pelayan untuk mengaitkan resleting gaunnya yang berada dibelakang.

Setelah itu aku mematut tubuhku didepan cermin. Gaun ini sangat pas ditubuhku. Tapi cukup mencolok. Aku bahkan sangat tercengang melihat diriku sendiri memakai gaun mewah ini.

Seumur-umur baru kali ini aku memakai gaun yang begitu mewah, sayangnya aku tak melihat ini desain milik siapa. Sudah tak terpikirkan lagi itu dikepalaku.

"Bagaimana? Apa ini terlihat cocok untukku?" aku bertanya bagaimana pendapat beberapa pelayan yang sedang ada di kamarku ini. Mereka saling melempar pandangan satu sama lain sebelum memberikan jawaban.

"Bagus sekali, Anda terlihat semakin bersinar," puji salah satu dari mereka.

Aku mendadak tersipu malu mendapat ucapan pujian yang terdengar tulus itu.

Lalu mereka membawakan beberapa alas kaki yang sesuai untuk gaun ini, tinggal aku memutuskan memakai yang mana.

Akhirnya aku mengambil sepatu hak tinggi berwarna senada, dengan bahan kulit. Bentuk sepatu ini adalah Stiletto heels, yang memang lebih tinggi dibandingkan hak tinggi biasanya.

Christian itu sangat tinggi, jika aku tidak memakai sepatu ini, aku akan terlihat kecil ketika berada disampingnya terlebih aku memakai gaun.

Setelah memilih sepatu, pelayan itu pun memintaku untuk duduk didepan cermin,

BRAKK!!!!

"Astaga!" aku begitu terkejut mendengar suara pintu kamarku dibuka dengan sekali hentakan kuat. Suara itu juga turut serta mengejutkan pelayan-pelayan itu.

Lalu memunculkan sosok Christian. Ha dialah yang membuka pintu itu dengan sangat bertenaga.

Sial, aku lupa tadi mengunci pintunya. Duh beruntung saja aku sudah memakai baju. Coba kalau tadi kejadiannya sewaktu aku mengganti bajuku. Sudah gila aku memikirkan betapa malunya.

"Christian, apa yang kau lakukan?" teriakku marah padanya. Walaupun aku senang dia kembali, tapi tetap saja kedatangannya itu sangat rusuh.

"Keluar," katanya dingin, dengan matanya saja dia mampu membuat para pelayan itu pada ngacir pergi dari kamarku.

Aku berdiri dari dudukku. Siap untuk melemparkan kata-kata makian padanya, kenapa dia bisa tidak sopan seperti itu.

"Apa kau sudah gila. Kenapa kau harus begitu-" kalimatku berhenti diudara kala Christian tiba-tiba memeluk tubuhku.

Pelukannya begitu erat, dia seperti mengeluarkan semua rasa yang sudah dipendamnya.

"Bukankah kau katakan kita akan bertemu dipesta nanti?" kataku, beruntungnya lagi, aku belum memakai riasan, jadi tidak akan luntur mengenai baju Christian.

"Aku sudah menunggu seminggu ini hanya untuk bertemu denganmu. Aku tak bisa menunggu beberapa jam lagi, jadi aku langsung datang ke rumah ketika keluar dari bandara," jelasnya.

Aku menghela napas, tanganku yang tadi terkulai, mulai kuangkat dan mengusap punggung Christian.

"Aku merindukanmu, Hazel," lirihnya pelan, terdengar frustasi.

Christian merindukanku? Aku tidak salah dengar kan?

"Christian, bisakah kau tatap aku ketika kau mengatakan hal yang barusan kau katakan?," pintaku ingin memastikan.

Christian melepaskan pelukannya, lalu menatap mataku dengan dalam, dia mengambil napas lalu mengeluarkannya dengan perlahan.

"Aku merindukanmu, Hazel," ucapnya sembari mengusap penuh kelembutan dipipiku.

Mendengar itu aku langsung memeluknya lagi. Apakah aku sudah jadi sepenting itu bisa sampai membuat Christian merindukanku?

Entahlah, tapi perasaan itu membuatku senang.

'Aku juga,' balasku dalam hati. Aku belum memiliki keberanian untuk mengutarakannya.

"Hazel," panggilnya

"Ada apa?"

Christian kembali menatapku, melepaskan pelukanku, dan membawaku duduk ditepian ranjang.

Dia meremas bahuku. "Jika kau memang sangat peduli padaku, apa kau akan ada disetiap saat aku butuh?"

Aku mengangguk, "Aku akan berusaha,"

Christian terlihat ragu-ragu. Matanya gusar menatap keberbagai arah.

"Ada apa? Kau terlihat gelisah, Christian," kataku berusaha untuk menenangkannya. Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. Menatap kedua matanya.

"Apa aku terlihat egois jika memintamu tetap disampingku? Maksudku, aku tak ingin lagi hubungan kita sesuai dengan perjanjian itu. Kau tau, waktu berlalu begitu cepat. Sekarang kita sudah berada diakhir Oktober. Hanya tinggal 2 bulan lagi sebelum semuanya berakhir. Kau sudah katakan padaku, jika aku hanya perlu menerima rasa pedulimu. Bukankah aku bisa mengartikan itu sebagai tanda bahwa kau akan tetap disampingku,"

Aku mendengar ucapan Christian dengan seksama. Memang benar, aku mengatakan padanya untuk menerima rasa peduli yang aku berikan padanya ini.

"Hazel, aku hanya butuh kau ada disampingku. Terlepas dari kau mencintaiku atau tidak. Setidaknya temani aku sampai aku meninggalkan tempat ini"

Hah? Apa yang dia katakan.

"Apa kau akan pergi? Kemana?" tanyaku mendadak jadi panik sendiri. Memikirkan Christian akan meninggalkanku membuat hatiku sakit.

"Belum sekarang, Hazel. Tidak untuk saat ini,"

"Maksudmu suatu saat nanti kau akan pergi? Lalu kau meninggalkanku begitu saja? Setelah aku berada disampingmu. Kenapa kau tega sekali, Christian?" ujarku dengan nada tinggi, tapi karena serak jadi tidak begitu melengking. Air mataku sudah penuh disudut mata, siap untuk ditumpahkan.

"Hei, bukan seperti itu, Hazel. Maksudku, jika ada suatu kondisi yang membuatku harus meninggalkanmu,"

Kondisi? Kondisi seperti apa? Aku tidak mengerti.

"Jangan menangis. Baiklah aku salah. Aku tidak akan berkata seperti itu lagi, oke. Tapi tetaplah berada disampingku,"

Christian membawaku lagi dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggungku.