"Hazel. Apa kau besok ada waktu?"
Aku diam sejenak sebelum membalas Christian. Karena kami sama-sama sudah mengungkapkan apa yang sedang bergejolak di dalam hati masing-masing. Aku jadi lega, begitupun Christian.
Aku tak ingin memikirkan alasan kenapa Christian masih menahan dirinya. Karena Christian juga sepertinya tidak ingin memberitahu apa yang membuatnya menahan perasaannya begitu.
"Ya. Untuk besok aku ada waktu. Tapi kalau lusa aku ada urusan di kantor,"
Christian yang masih membelai rambutku itu tersenyum manis.
"Bisakah kau ikut aku besok?"
Aku mendongak, "Kemana?"
Christian mendadak diam, lalu menghela napas panjang. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi dia sedang ragu, apakah harus mengatakannya atau tidak.
"Katakan saja," ujarku setelah melihat Christian yang sudah membuka bibirnya tapi tak ada kata yang keluar.
Aku menunggu dengan sabar, walaupun penasaran setengah mati.
"Besok adalah hari peringatan kematian ibuku. Jadi, aku ingin membawamu pergi menemaniku untuk mengunjungi makamnya,"
Aku sudah pernah katakan jika aku tak pernah melihat satupun keluarga Christian, kecuali Liam, itu pun baru 6 bulan terakhir ini kuketahui.
Aku sempat terpikirkan kemana sebenarnya ayah dan ibu Christian, karena tak pernah sekalipun datang ke rumahnya, atau mereka sekedar mengundang Christian untuk datang makan malam atau sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan keluarga.
Dan hari ini aku mendengar pengakuan yang sangat mengejutkanku. Ibunya Christian sudah meninggal. Lalu bagaimana dengan ayahnya?
"Baiklah. Aku akan pergi denganmu,"
Christian tersenyum pedih. Raut wajahnya mengatakan bahwa dia seperti merindukan ibunya itu.
"Apa kau mau mendengar sebuah cerita?"
Aku mengangkat sebelah alisku. Mungkin aku akan tertarik jika Christian menceritakan hal-hal yang menyenangkan yang terjadi dalam hidupnya. Tapi raut wajah Christian yang terlihat tertekan dan sedih, sepertinya bukan cerita yang menyenangkan.
"Apa akan memakan waktu seharian?" gurauku ingin membuat suasana agar tidak tegang.
Christian terkekeh, "Bisa jadi. Jika kau bersedia mendengarnya seharian. Aku akan dengan senang hati menceritakannya,"
Aku balas tertawa kecil.
Aku dan Christian tidak ada yang berniat untuk beranjak dari ranjang. Kami saling memberikan kehangatan dengan berpelukan.
Sepertinya kami berniat untuk bermalas-malasan hari ini. Anehnya aku belum merasakan lapar, walaupun ini sudah melewati waktu makan siang.
Ah melihat begitu tampannya Christian saja sudah membuatku kenyang. Ditambah dengan senyum manis dan gigi gingsulnya itu, membuatku jadi berkali-kali kenyangnya.
Christian juga tampak tak ingin melepaskanku. Ingin terus mendekapku. Mencium puncak kepalaku terus-menerus. Mengusap lembut kulitku.
Ini membuatku bahagia.
Benar-benar tak ingin beranjak bahkan sejengkal pun.
"Kalau begitu ceritakan saja. Aku akan mendengarkannya," kataku sambil meraih tangannya dan meremasnya menyakinkan.
Otot lengan Christian yang tercetak jelas itu tak mampu disembunyikan. Itu membuatku jadi panas dingin.
"Kau ingin mendengarnya darimana?" balas Christian.
Apa dia ini. Dia yang ingin bercerita.
"Darimana saja. Aku akan mendengarkan semuanya"
"Baiklah. Kalau begitu aku mulai dari hubunganku dengan Liam," katanya datar.
Mungkin saat ini pikiran Christian tengah menerawang jauh. Mengingat kembali apa saja yang terjadi antara dia dan Liam.
Aku masih harus mencari alasan kenapa Liam tidak pernah menceritakan tentang keluarganya padaku.
"Aku akan meneruskan ceritanya dari ibuku. Ibuku juga memberitahuku hal ini, di saat-saat terakhir hidupnya, dan itu sudah berlalu 13 tahun yang lalu. Saat itu aku berumur 20 tahun"
Oh sungguh itu sangat menyakitkan bukan. Jadi sekarang umur Christian itu 33 tahun ya.
"Aku dan Liam itu satu ibu namun beda ayah. Ibuku cerita bahwa ayahnya Liam meninggal saat Liam berumur 4 tahun. Kemudian 3 tahun berikutnya, menikah dengan ayahku. Lalu lahirlah aku," katanya sambil tersenyum simpul.
"Aku dan Liam itu tumbuh bersama. Ketika kecil aku tidak pernah terpikirkan kenapa wajahku tidak begitu mirip dengan Liam. Aku juga tak terlalu mempermasalahkan hal itu. Namun ketika besar, ya begitulah kenyataannya."
Ah benar juga. Aku baru menyadari hal itu. Aku memang tidak langsung percaya saat Christian katakan bahwa dia adalah adiknya Liam, karena wajah Liam dan Christian tidak ada mirip-miripnya.
Christian diam sejenak mengambil napas, lalu melanjutkan lagi, "Bagiku, hanya ada Liam sudah cukup dalam hidupku. Karena Liam benar-benar sebagai pendukung nomor satu yang terdepan,"
Aku tertawa dalam hati. Teringat salah satu iklan di televisi. Semakin di depan.
"Walaupun tubuh dan kembang bersama. Aku dan Liam memiliki sifat yang bertolak-belakang. Aku dulu sangat nakal dan tidak bisa diatur, Hazel. Jika kau dulu bertemu denganku. Percayalah kau akan merasa muak dan lelah menghadapiku. Tapi tidak dengan Liam. Dia benar-benar anak yang baik dan sangat penurut,"
Christian berhenti mengusap puncak kepalaku. Pasti banyak kenangan yang berlalu-lalang di kepalanya.
"Ayahku begitu menyayangi Liam, lebih daripada aku yang saat itu aku belum tahu bahwa kami bukan saudara kandung. Tapi anehnya, aku tak merasa iri melihat hal itu. Karena sifat jelekku dulu itu, aku selalu jadi sasaran amukan ayahku. Ayahku berkata kasar, memukuliku, menendang bahkan tak segan memakai ikat pinggang untuk dijadikan cambuk. Hanya karena aku tak mengikuti sesuai dengan keinginannya. Hanya karena aku tak ingin jadi boneka yang bisa dia kendalikan, seperti Liam."
Aku tak kuasa mendengar cerita Christian. Pasti itu terlalu sulit untuknya,
"Aku sudah mendapatkan kekerasan itu sejak aku berusia 10 tahun. Aku lupa karena apa. Tapi yang jelas aku menolak untuk melakukan perintah ayahku. Jadi ya begitulah awal mula aku dipukul. Ditambah dengan kenyataan bahwa aku benar-benar nakal. Bahkan teman yang pernah aku ceritakan bahwa dia sudah meninggal karena ayahku. Itu benar adanya, Hazel. Demi memenuhi ambisinya dia rela menghabisi siapa saja yang menghalangi jalannya. Untuk itu ayahku sampai tega membuang nyawa temanku yang sama sekali tidak bersalah itu,"
Astaga. Ayahnya Christian sungguh kejam sekali.
Tau-tau saja aku sudah menangis sesenggukan. Sungguh menyakitkan mendengar apa yang terjadi pada Christian.
"Tapi setelah ayah selesai memberikan hukuman padaku, Liam akan memelukku dan menenangkanku. Dia benar-benar menyayangiku terlepas aku ini suka melawan pada ayahku. Kata Liam, aku itu sebenarnya anak yang baik. Jadi dia tak ingin tingkahku semakin menjadi-jadi jika dia juga turut menjauhiku,"
Oh aku benar-benar tersentuh. Liam sangat menyayangi Christian. Aku menangis semakin kencang.Tapi kubenamkan wajahku di dadanya Christian.
"Itu terus berlanjut selama bertahun-tahun. Sampai akhirnya kematian ibuku. Ayahku jadi semakin ganas padaku, memukulku tanpa kenal ampun. Seringkali, Liam meminta ayahku untuk berhenti, tapi ayahku tak pernah mendengarkan, justru semakin keras dan keras,"
Suara Christian jadi bergetar. Pantas saja Liam yang sangat berarti untuknya. Ternyata Liam itu bagaikan pelindung untuk Christian.
"Ibuku meninggal karena sakit yang dideritanya. Tapi ayahku justru menyalahkanku. Dia menolak kenyataan bahwa ibuku meninggal karena sakit dan melemparkan semuanya padaku. Ya sebelum meninggal itulah, ibuku memberitahu bahwa aku dan Liam bukan saudara kandung. Aku awalnya marah, karena merasa tidak adil. Aku anak kandungnya tapi dia lebih menyayangi Liam. Namun setelah aku memikirkan kembali semua perlakuannya padaku, membuatku jadi tidak memperdulikannya lagi."
Aku yang sudah menangis sesenggukan, menghapus kasar air mataku, dan mendongak menatap wajahnya. Benar saja. Christian terlihat sangat terluka dan sedih. Ayahnya sendiri tega menyakitinya.
"Seperti yang sudah kukatakan tadi, ayahku jadi semakin memukuliku setelah ibuku meninggal. Setiap hari bagaikan neraka bagiku, Hazel. Ayahku melemparkan berbagai macam kata makian dan umpatan, mengatakan bahwa aku adalah penyebab kematian ibuku. Sungguh benar-benar membuatku terkena mental. Hatiku sangat terluka, Hazel. Kalau bukan karena Liam yang memberikan semangat untukku, aku mungkin sudah bunuh diri,"
Aku membelai lembut pipi Christian. "Kau sudah melewati banyak kesedihan dan kepedihan, Christian. Kau sudah bertahan sampai saat ini,"
"Oleh karena itu, aku sangat marah kala tau Liam sudah meninggal. Aku tak punya tempat untuk bernaung lagi. Tak punya tempat untuk memberikan kekuatan padaku,"
Christian pasti merasa sangat trauma diperlakukan dengan buruk oleh ayahnya.
"Maafkan aku. Aku ada di sini untukmu. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakitimu,"
'Termasuk itu diriku,' batinku.
Aku menarik kepala Christian agar bisa bersandar padaku. Dia bebas menangis dan melampiaskan apa yang sudah dipendamnya selama ini. Luka di hatinya sudah terlanjur melebar, tak bisa ditutupi lagi bahkan dengan kata 'maaf' sekalipun. Bahkan mungkin jika waktu bisa memutar kembali, tetap tak mengubah luka di hatinya.
"Aku salah telah merenggut Liam darimu. Aku akan menebusnya, Christian," bisikku pelan sembari air mata menetes lagi di pelupuk mataku.
Tak terbayangkan betapa hancur perasaan Christian. Tak pernah mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hanya kekerasan yang jadi makanannya sehari-hari.
"Hazel, apa Liam ada cerita jika dia pernah mengalami kecelakaan parah?"
Kecelakaan? Liam? Dia tidak pernah cerita apapun.
"Tidak. Tak pernah dia ceritakan,"
Christian menarik dirinya dari pelukanku. Lalu melihatku dengan matanya yang sedikit sembap.
"3 tahun setelah ibuku meninggal. Tepatnya 10 tahun yang lalu, Liam mengalami kecelakaan yang sampai membuatnya koma. Kecelakaan parah itu hampir saja menghilangkan nyawa Liam namun Tuhan berkehendak lain. Ayahku semakin tertekan mengetahui Liam kecelakaan sampai mengalami koma dan lagi-lagi menyalahkanku. Dia tak punya lagi seseorang yang bisa dikendalikan. Sepertinya mulai dari situ ayahku mengalami gangguan jiwa. Kondisinya semakin lama semakin turun, halusinasinya semakin parah dan setiap melihatku dia sangat membenciku. Lalu setelah 2 tahun mengalami koma, Liam pun bangun dan ayahku yang tak bisa menahan lagi kewarasan dirinya, akhirnya meninggal juga. Kau tau bahkan sampai diakhir hidupnya, ayahku tetap menyalahkanku atas semua keburukan yang terjadi di dalam hidupnya,"
Benar-benar kisah yang menyesakkan dada. Ini sangat mengiris-iris hatiku. Seperti merasakan luka yang sama dengan Christian.
"Aku tak tau. Liam tak pernah menceritakannya padaku tentang kecelakaan itu," kataku jujur dengan suara yang sengau.
Air mata tak berhenti mengalir dari mataku. Pun Christian yang sudah berkaca-kaca.
"Tidak apa, Hazel. Jangan menyalahkan dirimu,"
"Begitulah hubunganku dengan Liam. Aku sungguh sangat menyayanginya daripada ayahku sendiri,"