Chereads / Just About Us (Move To New Link) / Chapter 26 - I'm Sorry, I Love You Part 26

Chapter 26 - I'm Sorry, I Love You Part 26

"Itu ceritaku. Lalu bagaimana denganmu?"

"Eh? Ah.. Hahahaa,"

Aku tertawa canggung sembari menggaruk kepalaku yang tak gatal. Sebenarnya aku ingin bertanya, apakah ada hubungannya dengan Christian yang mengatakan bahwa Liam meninggalkan keluarganya demi aku. Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Membuatku sangat frustasi dan membuatnya rasanya ingin pecah.

"Hazel, kau melamun lagi. Ada apa?"

Christian menyentilkan pelan jarinya di keningku. Aku langsung memberinya tatapan garang, "Sakit tahu,"

Christian terkekeh-kekeh lalu mencium keningku ditempat yang tadi disentilnya.

"Maaf. Kau terlihat serius berpikir. Aku jadi penasaran, kau sedang memikirkan apa?"

"Lihat. Alismu kembali bertaut," gumam Christian lalu mengusapkan jarinya menyentuh alisku.

Aku ingin bertanya. Tapi bagaimana aku harus menanyakannya. Sudahlah, nanti saja aku bertanya padanya. Sepertinya bukan saat yang tepat menanyakan hal itu.

Christian mulai terbuka padaku. Aku tak ingin pertanyaan dalam benakku ini menghancurkan perubahan Christian yang sudah percaya denganku.

"Apa kau juga ingin mendengar tentangku?"

Christian tersenyum lebar. Lalu menganggukkan kepalanya, "Ya. Tapi sebenarnya aku sangat penasaran bagaimana kau bisa bertemu dengan Liam,"

Aku membeku. Benar juga. Pertemuan pertamaku dengan Liam itu 8 tahun yang lalu. Tepat saat aku berada di antara hidup dan mati. Ya, Liam adalah orang yang menolongku saat aku tenggelam di kolam renang.

Dan berkat keberadaan Liam, aku jadi tak sedih lagi mengenai orang tua dan adikku yang telah meninggal. Liam juga sama pentingnya di dalam hatiku. Itu juga berlaku di dalam hati Christian.

"Kalau diingat kembali. Pertemuan itu kurasa adalah pertemuan terbaik,"

Christian terlihat semangat mendengar ceritaku. Membuatku juga ikut antusias menceritakannya.

Mungkin karena aku tak punya teman dekat. Jadinya aku sedikit gugup kala ditanya mengenai pertemuanku dengan Liam.

Tapi kenapa ada yang mengganjal ya. Kenapa waktu kejadian antara kecelakaan orang tuaku itu juga sama dengan Liam 10 tahun yang lalu. Kemudian 2 tahun berikutnya aku bertemu dengannya, saat dia waktu itu baru saja bangun dari koma kan, seperti cerita Christian tadi.

Apa itu tidak terlalu aneh? Maksudku seperti ada sesuatu benang merah yang sangat tipis mungkin hampir tidak terlihat yang menghubungkan antara 2 kejadian itu.

Apakah ini hanya perasaanku saja, atau bagaimana ya? Kenapa perasaanku jadi gelisah, dan kenapa dugaanku ini terasa kuat.

"Hei. Bagaimana kelanjutannya? Kenapa kau melamun lagi," Christian menggoyangkan lenganku agar aku tersadar.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Ah sialan, pikiran rumit ini sangat mengganggu di kepalaku.

"Kau tau jika aku memiliki Aquaphobia, kan. Jadi 8 tahun yang lalu itu aku sedang menghadiri acara tanda tangan penulis komik favoritku. Yang diadakan di sebuah hotel. Lalu karena merasa bosan sembari menunggu antrian untuk tanda tangan itu, aku berjalan-jalan dulu di sekitar hotel. Dan ya berakhirlah aku di kolam renangnya,"

Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan.

"Saat itu, aku tak menyangka akan bertemu dengan seorang teman lama yang begitu tak suka padaku. Kami adu mulut dan cekcok lalu dia dengan sengaja mendorong tubuhku kuat-kuat ke dalam kolam renang,"

Aku tertawa kecil. "Aku itu tidak begitu pandai berenang, tapi bisalah. Namun, sialnya waktu itu, kakiku kram dan air kolam renang masuk dengan cepat ke dalam tenggorokan dan hidungku. Aku jadi tak bisa berpikir jernih dan semakin panik mencoba untuk naik ke permukaan menggunakan tanganku. Namun, aku tidak berhasil. Aku saat itu sudah siap jika memang harus mati karena tenggelam. Toh buat apalagi hidup jika orang tuaku sudah tidak ada lagi,"

Christian terlihat ingin menyelaku. Tapi dia menahannya karena tak ingin mengubah suasana hatiku.

"Keadaan di sekitar kolam renang waktu itu sepi sekali. Hanya ada aku dan temanku yang menjengkelkan itu. Setelah dia mendorongku, dia pun langsung pergi begitu saja. Seolah Tuhan ingin mempermainkan hidupku. Aku sudah pasrah jika memang tak ada yang bisa menolongku, dan juga karena aku lebih baik mati saja. Lambat laun kesadaranku mulai menipis sampai aku benar-benar kehilangan kesadaran,"

Aku menatap Christian lagi. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Apa dia marah ya?

Aku menggenggam tangan Christian, memberikan ketenangan padanya.

"Sempat terpikirkan dalam kepalaku, jika aku sudah mati dan menyusul orang tua dan adikku di surga. Tapi entah kenapa aku mendengar beberapa orang yang berbicara, dan suaranya itu menumpuk di dalam ingatanku. Seketika aku membuka mata, ternyata aku sudah berada di rumah sakit,"

Aku diam sejenak. Christian juga diam, walaupun tangannya masih mengepal. Hanya deru napas yang saling bersahutan di antara kami.

"Liam adalah orang yang membawaku ke rumah sakit. Ya sejak saat itu, kami jadi dekat dan dia banyak membantuku dalam mengikhlaskan kepergian keluargaku. Seperti kau, Liam adalah penyelamat bagimu. Pun juga sepertiku, Liam adalah penyelamatku. Aku sungguh terguncang ketika Liam meninggal, dan semakin terguncang mengetahui bahwa aku adalah penyebab kematiannya,"

Aku berusaha tegar, agar tidak menangis lagi. Aku harus bisa mengendalikan emosi yang walaupun sudah memuncak.

"Kecelakaan Liam itu terjadi di tahun yang sama dengan kecelakaan orang tua dan adikku," lanjutku menerawang jauh menatap kembali masa lalu yang suram itu.

Christian mengecup lembut keningku, "Kau sudah melewati hal yang begitu sulit, Hazel. Kau juga sudah bertahan sejauh ini. Apapun yang terjadi di masa lalu, itu semua kehendak Tuhan. Jadi kau harus tetap bertahan sebaik mungkin. Bukan salah keadaan, bukan salahmu, bukan juga salah Tuhan. Semua ini adalah suratan takdir dari-Nya. Percayalah setelah semua kesulitan itu, akan ada kebahagiaan yang menantimu,"

Mungkin karena aku dan Christian mengalami hal yang hampir mirip, kata-kata Christian itu semakin menguatkanku.

Rasanya kata-katanya itu bukan hanya sekedar motivasi yang diberikan oleh seorang motivator tanpa dia sendiri mengalami kejadiannya. Jadi pesan yang ingin disampaikan kurang mengena.

"Kau sangat mengerti perasaanku, Christian. Terima kasih karena telah memberiku kekuatan,"

Lembut tangan Christian yang mengusap pelan punggungku. Hembusan napas Christian yang mengenai wajahku, dan rasa nyaman yang diberikannya padaku. Membuatku bagaikan tengah di kebun bunga.

Membuatku senang dan seketika hidupku jadi berwarna-warni.

Aku mengangkat kepalaku sedikit, dan memberikan kecupan singkat di bibirnya.

"Kau berjanji akan selalu ada di sampingku, kan?" tanyaku. Keningku kutempelkan di keningnya. Mataku terpejam menikmati sensasi yang diberikan oleh Christian.

"Aku akan melakukan yang terbaik, Hazel," jawab Christian lembut. Suaranya yang berat namun terdengar begitu merdu ditelingaku.

Mendengar suara Christian saja bisa membuatku tenang.

"Berjanjilah, Christian," pintaku sedikit mendesaknya.

Napas kami berdua memburu, suasana yang tadi tenang mendadak jadi panas dan sesak.

Mataku terbuka dan menatap Christian yang juga berkabut.

"Aku berjanji," ujarnya pelan namun pasti.

Aku tersenyum senang, dan memberikan satu kecupan lagi di bibirnya yang lembut.

Sungguh lembut, dan juga lembap. Sangat terawat. Membuatku seperti hilang akal sehat, dan mengecupnya semakin dalam.

Christian membalas kecupanku juga, lebih dalam dan menekanku.

Walaupun ciumannya terasa frustasi, tapi tidak begitu dominan.

Christian melepaskan bibirnya sejenak, dan menatap mataku dengan pandangan yang dipenuhi kabut gairah.

Aku yang sudah berganti posisi, dia ada di atasku, dan aku ada di bawahnya. Napas kami tersengal-sengal. Tapi ini adalah pertama kalinya kami menikmati hal ini. Kalau bulan-bulan kemarin, aku melakukannya dengan sangat terpaksa. Maka kali ini tidak lagi.

Aku mendorong tubuh Christian lembut lalu dengan cepat membuka baju kaus yang membungkus tubuhku.

"Kau sangat berinisiatif hari ini," goda Christian sembari memainkan matanya.

Padahal Christian hanya menatap tubuhku melalui matanya, tapi tak tau kenapa aku merasa malu seolah tangannya juga ikut menyusuri setiap jengkal tubuhku.

Aku menunduk malu, namun dengan satu jarinya, Christian mengangkat daguku.

"Aku suka kau mengambil langkah lebih dulu," katanya sembari mendekatkan kepalanya dan menghembuskan napas di leherku.

Aku gemetar seluruh tubuh menerima hembusan napas Christian.

Tubuhku mengejang karena kaget, mataku menutup rapat dan spontan aku menjambak rambut Christian yang sedikit panjang.

Rambut halus yang berada di wajahnya, menyapu leherku, semakin memberikan getaran ke seluruh tubuhku.

Rasanya geli namun menyenangkan.

Christian sudah harus bercukur.

"Ch.... Christian," ucapku bergetar.

Tangan Christian yang sedari tadi menganggur mulai menyusuri tubuhku. Perlahan namun sangat yakin.

Mungkin karena aku sudah terbiasa dengan sentuhan Christian, tubuhku pun meresponnya dengan sangat baik. Seolah dia tau bahwa pemilik tubuh ini adalah Christian.

"Jangan menahan suaramu. Tubuhmu tak bisa berbohong. Kau menyukai sentuhanku. Panggil namaku, Hazel," pinta Christian menggodaku.

Aku merasa sangat malu. Kenapa aku jadi seperti ini sih. Tubuhku panas dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Tangan Christian semakin naik dan naik, membuat napasku jadi naik turun. Jantungku berdebar-debar dan kepalaku rasanya dipenuhi jutaan kunang-kunang yang berterbangan.

Melayang hingga jauh sekali.

"Christian," lenguhku memanggil namanya.

Mendengar itu, Christian menatapku lagi, lalu mendaratkan ciuman yang lebih panas dari sebelumnya.

Ini terasa basah dan bergairah. Sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya.

"Raut wajahmu membuatku semakin gila, Hazel,"

Aku hendak menjawabnya. Tapi ternyata perutku lebih dulu berbicara.

KRUUUKKK!!!!!

Aku dan Christian mendadak saling melemparkan pandangan. Lalu sedetik kemudian kami tertawa terbahak-bahak.

"Astaga. Benar juga. Kau pasti lapar, kan,"

Aku menunduk malu, wajahku semakin panas, mungkin juga memerah.

"Pakai bajumu. Kita makan dulu, baru melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda," lanjut Christian sembari menyeringai nakal. Matanya masih menatap tubuh atasku yang tidak berbalut apapun lagi.

Sontak aku mengambil bantal, dan menghentamkannya ke kepala Christian.

"Dasar mesum," cibirku sembari menahan malu.