Sesuai janji, hari ini aku akan menemani Christian untuk menemui ibunya. Mungkin jika pemakamannya berada ditempat yang sama, aku juga akan mengunjungi ayah, ibu dan juga adik kesayanganku.
Aku sudah siap dengan pakaian serba hitam, menggunakan sebuah gaun selutut yang sedikit mengembang dan juga memakai sepatu hak dengan hak yang pendek. Rambutku yang panjang, ku sanggul rapi, tak lupa beberapa perhiasan seperti kalung dan anting yang tidak begitu mencolok.
Aku menghela napas, ini aku ingin pergi ke pesta atau pergi ke pemakaman. Kenapa sepertinya aku heboh sekali.
Aku sekali lagi mematut diri di depan cermin, memastikan penampilanku agar tidak mempermalukan diri sendiri. Bibirku kutarik keatas membentuk senyuman tipis.
Setelah mendengar cerita Christian, hatiku jadi kian gelisah. Namun aku berusaha untuk menutupinya agar Christian tidak khawatir. Semoga saja dia tidak menyadari tentang kegelisahanku ini.
Aku menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Aku sungguh gugup, mengingat jika aku akan menemui ibunya Christian. Astaga, aku tak menyangka akan jadi begini. Kira-kira aku ingin mengatakan apa pada Ibu Christian? Apa berjanji di depan makamnya bahwa aku akan selalu menjaga anaknya? Atau mungkin aku katakan bahwa aku memiliki perasaan pada anaknya? Duh aku kenapa sungguh berpikir berlebihan.
Aku menganggukkan kepala untuk meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu dengan langkah yakin aku memutar tubuh dan berjalan kearah pintu.
Aku memutar kenop pintu, lalu keluar. Ternyata bertepatan dengan Christian yang juga baru keluar kamar.
"Kau sudah selesai?" tanyanya dengan tersenyum tipis. Wajahnya terlihat murung, bahkan ada lingkaran hitam di sekitar matanya.
"Ya. Apa kau baik-baik saja?" kataku balas bertanya.
Sembari aku menunggu jawaban, aku berjalan mendekati Christian lalu mendekatkan tanganku di pipinya, mengusapnya dengan lembut.
"Kau terlihat pucat. Apa hal ini membuatmu jadi terasa berat?"
Aku menunggu jawaban Christian. Mungkin dia memang merasa seperti ada yang menghimpit dadanya saat ini. Jadi membuatnya tertekan dan akhirnya aura tertekannya terlihat dari wajahnya.
"Hanya kurang tidur. Aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir," balas Christian sendu lalu menyelipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telingaku.
Karena Christian sudah berkata begitu, tidak ada gunanya aku mendesaknya dan memaksanya menjawab jujur.
"Baiklah. Ayo kita pergi sekarang," ajakku lalu menggenggam tangannya yang besar dan hangat. Kulitnya yang lembut menambah sensasi nyaman. Namun kali ini, genggaman Christian tidak se-erat yang kemarin. Terkesan lemas dan tidak ada gairah.
Akulah yang seharusnya berinisiatif disini. Kueratkan genggamanku, dan tersenyum padanya. "Aku akan ada di sisimu. Jadi kau tak perlu menahan diri, dan kau bisa bebas terbuka padaku, Christian,"
Christian hanya tersenyum simpul, dan menganggukkan kepalanya.
Aku menarik tangan Christian dan berjalan menuruni tangga. Genggaman di tangannya tidak kulonggarkan. Agar dia tau bahwa aku memang benar akan selalu ada untuknya.
"AHHHHH!" suara rintihan datang dari Christian. Aku langsung memutar badan dan melihat kearahnya yang sedang memegangi dada kirinya.
Aku yakin pasti ada sesuatu di dada kirinya itu. Karena setiap kali kesakitan, Christian akan memegangi ditempat itu, seolah di sana memang sakit sekali.
"Hei, ada apa?" suaraku mendadak bergetar. Aku berusaha untuk menenangkan Christian yang masih mengernyit menahan sakit. Wajahnya tidak bisa berbohong bahwa dia amat sangat kesakitan. Juga menenangkan diriku sendiri.
Dia menggigit bibirnya untuk menahan sakitnya. Dalam keadaan seperti ini, aku benar-benar mengutuk diriku sendiri, karena tak tau harus berbuat apa.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Christian?" tanyaku lagi sambil menyentuh bahu Christian yang meluruh. Christian yang saat ini sudah jatuh terduduk di anak tangga yang terakhir, terlihat semakin pucat. Matanya memejam, dan dia terus menggigit bibirnya.
Astaga, aku juga jadi panik.
"Hei. Katakan padaku. Apa kau ingin aku menghubungi Brams?"
Hari ini, Christian meminta semua orang yang bekerja di rumahnya untuk libur. Termasuk itu Brams. Jadi memang benar-benar hanya ada kami berdua saat ini.
Aku semakin frustasi karena Christian hanya diam saja. Mungkin butuh kekuatan yang lebih hanya untuk menggerakkan bibirnya.
"Christian," panggilku sembari menyentuh pipinya lagi.
PATTSSSS!!!!
Christian menepis tanganku. Aku sampai terkejut dan mendadak mundur beberapa langkah. Ini sangat mengejutkanku. Kenapa Christian harus sampai seperti itu, padahal aku hanya ingin melakukan sesuatu untuknya.
"Pergilah," lirih Christian pelan. Namun aku sangat jelas mendengarnya. Mungkin karena kondisi rumah yang benar-benar sepi tanpa suara apapun. Jadi sekecil apapun suaranya tetap akan terdengar jelas.
Ah ataukah telingaku saja yang terlalu tajam.
"Menjauhlah dariku, Hazel," lanjutnya dengan nada dingin. Namun wajahnya yang masih tertunduk tak ingin memperlihatkannya padaku.
Napasnya pendek-pendek, dan tak beraturan. Tangannya masih memegangi dada kirinya.
"Tapi aku ingin membantumu," bantahku menolak arahannya yang memintaku untuk pergi.
Christian akhirnya mengangkat wajahnya dan menatapku dengan wajah dingin dan menakutkan.
"Pergilah. Tak ada yang bisa kau lakukan," ujarnya lalu berusaha untuk bangkit.
Namun, ketika Christian berusaha melakukan gerakan berdiri itu, tiba-tiba Christian terjatuh lagi. Mungkin otot-otot tubuhnya terasa lemas.
Dengan sigap, aku menopang tubuh Christian. Memegang erat lengannya.
Tapi lagi-lagi Christian menepiskan tanganku. Dia melangkahkan kakinya naik kembali ke lantai atas.
Sayangnya, baru saja beberapa anak tangga dilalui, Christian terjatuh lagi.
Aku yang melihat itu sontak berlari menaiki anak tangga dan memegang lagi lengan Christian.
"Pergilah, Hazel," bentaknya tertahan.
Aku menggeleng, "Tidak, sampai aku mengantarmu kembali ke kamar," kataku tidak ingin mengalah.
Walaupun air mata sudah berada di pelupuk mata, tapi aku berusaha untuk menahannya agar tidak jatuh.
Aku tidak ingin Christian melihatku sebagai wanita lemah, yang baru dibentak sedikit saja langsung menangis. Ya, walaupun itu sangat menyakitkan.
Aku menggenggam lengan Christian dengan kedua tangan dan membantunya berjalan lagi.
Satu persatu anak tangga kami lewati dalam keheningan yang begitu menyesakkan dada.
Baru saja aku dan Christian berbaikan, tak mungkin akan bertengkar lagi kan.
Ketika aku dan Christian sudah berhasil menaiki semua anak tangga, dan berjalan sampai kedepan pintu kamarnya.
Christian dengan kasar melepaskan tanganku. "Pergilah. Aku tidak ingin melihatmu,"
Ucapannya yang tajam dan menusuk itu, begitu melukai hati. Namun aku sudah kebal.
"Aku akan menunggu disini," balasku sedikit ngotot.
Di tengah raut wajah Christian yang masih menunjukkan kesakitkan, dia memandangku dengan pandangan yang sama seperti pertama kali bertemu. Pandangan kebencian itu lagi.
Aku tidak bergeming. Aku tidak akan menelan kembali ucapan yang aku katakan tadi. Karena aku sudah berjanji akan ada di sisinya.
"Terserah kau saja," balas Christian dengan nada yang sama bencinya seperti yang ditunjukkan wajahnya.
Christian memutar kenop pintu, lalu masuk kedalam melewatiku begitu saja, bahkan tidak menoleh sedikitpun kearahku. Sikapnya yang kembali keras begini, aku tak tau harus berbuat apa.
BAAMMMM!!!!
Dia membanting pintu dihadapanku. Aku hanya mengerjap beberapa kali, dan menatapi lagi pintu dengan cat putih itu.
Aku akan menunggunya di sini. Karena sepertinya dia tidak ingin aku menghubungi Brams, maka aku tidak jadi menghubunginya. Mungkin nanti jika aku bertemu dengan Brams, aku akan menanyakan hal ini. Apa yang harus kulakukan jika melihat Christian kesakitan seperti tadi.
Padahal sepertinya Christian tidak pernah kambuh lagi, sejak terakhir kalinya di tempat wisata kemarin. Tapi kenapa harus hari ini, sedangkan dia hari ini ingin mengunjungi ibunya.
Aku menghela napas. Kusandarkan tubuhku di dinding yang terasa dingin. Walaupun aku pakai gaun yang lumayan tebal, namun tetap saja dinginnya dinding itu terasa nusuk sampai kekulitku.
Aku memainkan kakiku, sembari menunggu Christian keluar dari kamarnya. Jika saja aku saat ini dengan paksa masuk ke kamar dan melihat kondisi Christian, pasti dia akan tambah marah denganku.
Sekali-sekali aku melirik pintu kamarnya, berharap Christian akan segera keluar dan juga mengatakan padaku dia sudah baik-baik saja. Keluar dari kamarnya dengan wajah yang kembali segar dan tak kesakitan lagi.
Aku masih bersandar, kakiku kumainkan, mengetuk lantai, menendang angin dan memutar-mutar pergelangan kaki.
Kira-kira butuh berapa lama Christian menenangkan dirinya. Aku jadi gelisah, dan bingung harus bagaimana.
Aku tak bisa terus menunggu Christian keluar dari kamarnya yang entah kapan. Tapi aku juga tak bisa melakukan apapun seperti yang tadi Christian katakan. Bahwa aku sama sekali tak bisa membantunya.
Jantungku berdetak tak karuan, pikiranku jadi bercabang banyak sekali. Mataku masih melirik kearah pintu kamar Christian.