Chereads / Just About Us (Move To New Link) / Chapter 7 - I'm Sorry, I Love You Part 7

Chapter 7 - I'm Sorry, I Love You Part 7

Dengan segala keputusasaan aku menandatangani perjanjian yang sangat tidak menguntungkanku.

"Pindahkan semua barangmu. Kau tinggal disini mulai hari ini,"

"Baiklah. Tuan Muda" balasku mencibir.

Lagi. Aku begitu saja mematuhi perintahnya. Bagaikan kerbau yang dicocok hidungnya langsung mengikuti perintah si Tuan Pemilik.

Aku tak ingin menyesali apapun setelah aku menandatangani perjanjiannya, hanya 9 bulan. Cukup 9 bulan saja, lalu semua ini akan berakhir.

9 bulan seharusnya tidak lama bukan.

"Kau harus ingat. Saat ini, selama perjanjian berlangsung. Semua hidup Pihak Kedua menjadi milik Pihak Pertama. Termasuk itu tubuhmu,"

Aku tercengang. Dasar mesum sialan. Apa dia sebenarnya sengaja menjadikan perjanjian itu hanya untuk menikmati tubuhku.

"Apa kau pikir aku wanita seperti itu?"

Dia tertawa kecut, "Bukankah kau sudah sering melakukannya dengan Liam. Kalau begitu kau tidak keberatan jika melakukannya denganku kan"

PLAKKKK!!!!!!

Telapak tanganku rasanya begitu panas dan pedih, tamparan keras yang aku daratkan dipipinya belum cukup untuk membayar apa yang dia lakukan padaku.

"Jaga bicaramu. Aku bahkan tak pernah melakukannya dengan Liam. Kau tak pantas berpikir bahwa aku wanita yang bisa ditiduri oleh siapapun. Karena aku tidak begitu,"

Jari telunjukku menunjuk tepat ditengah-tengah matanya. Aku sedang memperingatkan dia untuk tidak menganggapku sebagai wanita murahan yang saat ini sedang menjual tubuhku.

"Kau cukup memiliki harga diri," balasnya angkuh. "Ya, tidak masalah jika kau tak pernah melakukannya dengan Liam. Berarti aku adalah yang pertama untukmu," lanjutnya sambil tersenyum miring yang membuatnya terlihat semakin menjengkelkan.

Mendengar itu, aku tak kuasa menahan tawaku. Ya sebenarnya tawa untuk mengejek dia saja. "Apa kau tidak menemukan wanita yang menarik diluar sana yang bisa kau tiduri sampai memintaku untuk melakukannya sebagai bentuk dari tanggungjawabku. Apa kau tidak menyadari bahwa tindakanmu itu termasuk merendahkan harga dirimu? Memaksaku untuk menandatangani perjanjian lalu meminta tubuhku. Katakan saja sejujurnya jika kau memang ingin tubuhku. Karena itu lebih baik untukku daripada kau menggunakanku sebagai alat untuk nyawanya Liam"

PRANGG!!!

Aku terlonjak kaget saat pria itu dengan keras meninju meja yang terbuat dari kaca itu. Seketika darah mengucur dari ruas jarinya.

"Astaga. Apa yang kau lakukan. Tunggu sebentar disini,"

Aku berlari-lari keluar, dan memanggil Brams, meminta dengan panik kotak P3K. Brams pun turut serta panik melihatku tiba-tiba meminta kotak itu, tapi aku tak punya waktu untuk menjawabnya.

Setelah mendapatkan kotak, aku buru-buru masuk kembali keruang baca.

Dia, pria itu, yang bernama Christian Waters, sedang duduk dengan raut wajah yang tak bisa ku jelaskan. Menatap dengan datar darah yang terus menetes membasahi lantai.

"Kemarikan tanganmu," ujarku sedikit melembutkan suaraku.

Tapi dia hanya diam, bahkan tak menolak. Aku pun segera membersihkan lukanya, mengambil beberapa kepingan kaca yang jelas tertancap, lalu membalutkan lukanya menggunakan perban. Semua itu aku lakukan dalam keheningan. Dia juga diam saja. Aku tak tau apa yang sedang dipikirkannya.

"Mungkin kau perlu belajar untuk mengendalikan emosimu," cetusku. Aku tau ucapanku barusan pasti menyinggung perasaannya.

"Aku sama sekali tak peduli simpati darimu. Tak perlu repot-repot untuk memberikan rasa pedulimu padaku" balasnya dingin sembari menarik tangannya.

'Begitu sulitnya mengucapkan terima kasih' batinku cekikikan.

"Apa yang kau tertawakan?" tanyanya tak senang hati

"Aku tak menertawakan apapun, Christian Waters yang terhormat. Kenapa kau begitu cepat emosi. Sudahlah aku ingin pulang dan mengemas barang-barangku sekarang,"

Aku segera berdiri, dan menenteng kotak pertolongan pertama itu, namun mendadak tanganku ditahan olehnya.

"Beraninya kau menyebut nama lengkapku. Apa aku mengizinkanmu untuk menyebutnya begitu,"

Aku tertawa bodoh. Astaga, pria ini benar-benar diluar dugaanku. Sekedar menyebutkan nama pun ada pantangannya.

"Aku harus memberimu hukuman,"

Dia langsung menarikku hingga jatuh terduduk dipangkuannya lalu mendaratkan ciuman paksa dibibirku.

Aku meronta, memukuli dadanya karena dia sudah sangat kurang ajar. Tapi dia malah mencengkram tanganku dengan kuatnya.

Sampai akhirnya aku menggigit bibirnya.

"Ahh, sialan" ucapnya kasar, memandang penuh dendam padaku.

"Kau tak seharusnya melakukan tanpa seizinku. Itu termasuk pelecehan. Apa kau tidak bisa menghargai bagaimana seorang wanita harusnya diperlakukan? Kau sangat berbeda dengan Liam,"

Kalimat perbandingan tadi justru memercik api semakin besar didalam dirinya. Dia semakin marah dan meradang.

Tubuhku dihempaskan dengan kasar, dan dia menindihku dengan kuat. "Aku tak ingin mendengar kau membandingkanku dengan Liam"

Bibirnya yang tipis itu menegaskan setiap ucapannya. Sekali lagi saja aku membandingkannya dengan Liam, aku tak tau hukuman apalagi yang akan kuterima.

"Baiklah. Aku minta maaf. Bisakah kau pergi dari atas tubuhku. Aku tak bisa bernapas jika kau menindihku"

Seperti terkejut dia buru-buru bangkit dari atas tubuhku.

Aku pun bangun dan mengambil napas sebanyak-banyaknya, karena kurasakan kurangnya oksigen didalam dadaku.

Aku kembali memandanginya, bibirnya yang terluka akibat dari gigitanku. Aku seperti terhipnotis, matanya yang tiba-tiba sayu entah bagaimana memikatku, tanpa sadar aku sudah mengangkat tanganku dan mengusap bibirnya yang terluka.

Aku sendiri hanyut dalam mata cokelat gelap miliknya, aku baru tau jika itu begitu indah.

"Apa yang kau pikir sedang kau lakukan!" bentaknya mengagetkanku.

"Maaf, aku tadi ingin mengobati luka dibibirmu," jawabku sambil menarik tanganku yang dengan lancangnya menyentuh bibir tipis Si Tuan Muda Waters.

Dia menghembuskan napas panjang, "Sudahlah, urus saja dirimu sendiri" katanya cuek lalu berdiri dan meninggalkanku sendirian.

Aku mengeluh pendek. Mulai hari ini aku harus beradaptasi dengan sikap dan tingkah laku pria itu yang sangat tidak bisa diajak kerja sama.

Ini tidak mudah untukku, tapi aku yakin aku bisa bertahan selama waktu perjanjian.

"Apa yang terjadi, Nona Hazel?"

Pertanyaan Brams yang menatapku dengan pandangan terkejut, aku tak tau harus menjawabnya bagaimana.

"Apa mungkin Nona Hazel ada menyinggung Tuan Muda?" tanyanya lagi.

Sontak aku melihat Brams yang sedang sibuk membersihkan pecahan kaca, dengan dibantu oleh beberapa pelayan.

"Brams, apa Anda juga tau tentang aku?" aku balas bertanya padanya.

Brams mengangguk, "Tidak ada yang tidak saya ketahui. Segala hal yang terjadi dengan keluarga Waters saya mengetahuinya"

Aku tersenyum kecut, merasa malu menatap Brams.

"Apa Anda membenciku, Brams? Karena Tuan Muda-mu begitu tak suka jika melihatku,"

Brams tersenyum lagi, dia lalu memberikan isyarat kepada pelayan yang bersamanya, untuk meninggalkan mereka berdua setelah selesai membersihkan kepingan kaca dan juga cucuran darah.

Pelayan yang mengerti tanda itupun segera mengangguk dan memberikan waktu untuk aku bicara dengan Brams.

Brams lalu duduk dihadapanku. Pandangan matanya yang lembut mengingatkanku pada kakekku sendiri.

"Saya tak pernah membenci siapapun. Saya yakin Nona Hazel adalah orang yang baik. Terlepas dari kecelakaan hari itu yang menewaskan Tuan Liam. Itu semua sudah jadi takdir Tuhan. Hanya saja untuk saat ini sepertinya masih sulit bagi Tuan Muda Christian menerimanya. Untuk itu jika melihat Anda dia akan merasa benci dan marah,"

Aku menunduk. Bagaimana mungkin Brams masih berpikir jika aku adalah orang baik setelah menewaskan salah satu anggota keluarga Waters.

"Untuk itu, saya ingin meminta pada Nona Hazel untuk terus sabar dalam menghadapi sikap Tuan Muda kami yang memang sedikit temperamental,"

Aku tertawa dalam hati, bukan sedikit temperamental, tapi memang temperamental.

"Lalu aku bagaimana, Brams? Dia sengaja mengikatku dengan perjanjian, membeli kehidupanku selama 9 bulan ini, dan aku harus bersabar dengan sikapnya yang sangat menjengkelkan. Tidakkah Anda berpikir ini juga sulit untukku? Aku tak mengerti, kenapa aku harus terlibat dengan semua ini" akhirnya aku mengeluarkan apa yang dari tadi kupendam.

Rasanya hanya dengan Brams aku bisa bebas mengekspresikan diriku. Berkeluh kesah padanya. Aku tau aku keterlaluan jika bicara dengan nada tinggi seperti tadi. Tapi aku juga tak tau kepada siapa aku harus mengadu.

"Saya sangat mengerti bagaimana perasaan Nona Hazel saat ini. Tapi saya ingin Anda tetap bersabar. Saya yakin lambat laun sikap Tuan Muda kami akan melunak,"

Aku hanya diam tanpa merespon apapun ucapan Brams.

Ya kuharap itu benar. Karena aku tidak menaruh terlalu besar harapan padanya.