"Kau pikir apa yang akan aku lakukan?" seringainya mengerikan.
Aku langsung gemetar dari ujung kepala hingga ke ujung kakiku. Pria ini sangat tidak bisa dilawan.
"Lepaskan aku. Apa kau sungguh ingin merusak hari pertamaku bekerja?" kataku polos, sikapku langsung melembut dan seketika bersikap kooperatif.
Berhadapan dengan orang temperamen sepertinya tidak bisa dengan sikap keras kepala. Karena semakin kita keras, dia akan lebih keras.
"Huh, bagus jika kau sadar diri," ucapnya kasar sembari melepaskan cekalan tangannya dipergelangan tanganku.
Dia lalu merapikan kembali setelan baju kerjanya, dan berjalan kearah meja kerjanya. Lalu mendudukkan diri diatas kursi kerja yang terlihat nyaman dan mahal itu.
"Sedang apa kau disana? Bukankah kau harus melakukan pekerjaanmu?"
Aku mendumel dalam hati. Bos besar yang sangat angkuh ini telah menjerat ku dalam kehidupannya.
Aku pun bangkit dan berjalan kearahnya, dengan wajah datar dan tanpa ekspresi apapun. Aku tak tau apa yang akan dia lakukan padaku tentang pekerjaanku.
"Apa yang harus aku lakukan, Tuan?"
Dia memberikan isyarat padaku. Matanya mengarah ke sebuah kamar yang ada diruangan ini.
"Kau akan tau. Hadiahmu ada didalam sana," senyumnya misterius.
Aku bergidik. Bulu kudukku meremang. Firasatku mengatakan bahwa itu bukanlah hal yang bagus. Sekejap aku ragu, permainan apa yang akan dia jalankan lagi?
"Apa yang kau tunggu? Masih tidak pergi?"
Sungguh sial. Temperamennya begitu tak terkendali. Dia tak suka orang membuatnya menunggu setelah diberikan perintah.
Aku menghela napas kasar dan berjalan kearah sudut ruangan, sebuah kamar yang sepertinya tempat dia beristirahat.
Sampai didepan pintu, aku memutar kenopnya dan melangkahkan kaki masuk kesana.
Aku mengernyit, hadiah apa yang dikatakannya? Apakah sebuah kotak yang ada diatas ranjang itu?
Aku berjalan mendekati kotak itu, lalu mengangkatnya dan membawanya keluar, menunjukkannya padanya.
"Apa ini yang kau maksudkan?"
Dia hanya mengangguk singkat, "Bukalah, aku sudah tidak sabar menantikan kau memakainya"
Astaga. Sebenarnya apa yang ada didalam kotak ini.
Aku pun membawa kotak itu ke atas sebuah meja yang sepertinya meja untuk tamu. Membuka kotak itu dengan perlahan dan jantung berdetak-detak kencang.
Ketika aku berhasil membuka tutup kotak itu, tak butuh waktu lama bagiku untuk mengetahui apa yang sebenarnya ada didalamnya.
Kekesalan mendadak timbul dalam diriku. Aku mengangkat "hadiah" yang dia maksudkan itu.
"Kau ingin aku memakai baju pelayan ini?" tanyaku berang, namun aku berusaha untuk tidak meledak.
Karena baju yang dia maksudkan itu adalah baju pelayan, namun sungguh diluar dugaan. Baju berwarna hitam dengan renda-renda. Dipisah antara atasan dan bawahan.
Untuk atasannya berbentuk crop top dengan belahan dada yang agak rendah juga ada renda yang mengelilinginya. Lalu untuk bawahnya hanya sebuah rok yang begitu pendek, tapi hanya rok polos biasa.
Ini benar-benar penistaan akan diriku. Aku tak mungkin memakai baju seperti ini disini, ditempat ini.
"Ya. Itu adalah seragam barumu," balasnya santai sembari membolak-balik lembaran laporan yang ada ditangannya itu.
Aku tak tahan lagi. Untuk apa dia ingin aku memakai baju seperti ini? Bukankah dia tau jika itu sangat memalukan?
Aku membalikkan tubuhku dan berjalan kearahnya, berhenti tepat didepannya. "Apa kau gila? Kau ingin membuatku malu? Apa kau begitu senangnya mempermainkanku?" umpatku kesal.
Kini aku tidak akan menahan lagi.
"Oh apakah ada yang salah? Kau kan memang pelayanku? Aku adalah Tuanmu, bukankah pelayan harusnya mengikuti perintah tuannya?"
Dia berbicara begitu santai, seolah-olah itu adalah hal yang biasa saja.
Aku tak bisa menerimanya. "Aku tak ingin memakai baju ini" semburku sembari melempar baju itu kelantai.
Sebenarnya aku takut-takut melakukan hal seperti tadi, tapi dia sudah begitu keterlaluan.
Aku menatap sekilas kearahnya, terlihat dia yang mengeraskan rahangnya namun berusaha untuk tetap tenang.
"Kau berani melawanku?" suara rendahnya membuatku menelan ludah dengan susah payah.
Jantungku semakin berdetak kencang tak karuan.
Tapi aku punya satu jawaban yang akan membuat dia kehilangan akal sehatnya.
"Kau memintaku untuk memakai baju seperti itu, disini, ditempat kerjamu. Kau tau jika dipintu itu, sewaktu-waktu bisa saja ada orang masuk karena ingin bertemu denganmu," ucapku sembari menunjuk pintu yang aku maksud.
"Jika orang itu masuk, lalu melihatku memakai baju dengan belahan dada rendah seperti itu. Bukankah itu akan menjadi tontonan yang bagus untuknya? Kau ingin tubuhku ini menjadi bahan tontonan gratis yang semua orang bisa melihatnya? Bukankah hanya kau yang punya hak untuk melihat tubuhku?" pancingku memanas-manasi dirinya.
Aku yakin dia akan terpancing. Aku pasti akan malu dan akan segera menjadi bahan pergunjingan seluruh kantor. Berita tentangku akan menyebar dengan cepat. Juga berbagai kalimat-kalimat merendahkan akan tertuju padaku.
Sungguh itu menyakiti harga diriku, dan semua itu karena ulahnya.
"Tapi aku sama sekali tak keberatan. Tolong sadarkan dirimu, bahwa kau itu hanyalah mainan. Jangan berharap lebih karena itu tak akan mungkin terjadi,"
Kata-katanya begitu pedas. Kupikir setelah kukatakan hal seperti tadi, dia akan melepaskanku. Tapi ternyata tidak. Dia benar-benar seperti binatang buas.
"Aku membencimu" ujarku ingin menangis, namun segera aku tahan dan mengambil kembali baju yang aku lemparkan tadi itu.
Baiklah jika memang begitu. Kau ingin aku memakai baju ini, maka aku akan mengabulkan permintaanmu.
Aku akan mengikuti permainannya.
Segera aku berlalu kekamar untuk menggantikan pakaianku.
'Dasar sialan. Sangat menyebalkan' makiku dalam hati.
Aku hanya ingin seseorang datang untuk menyelamatkanku dari pria brengsek ini. Karena semakin hari, permainannya sungguh keterlaluan.
Dengan cepat aku mengganti bajuku. Setelah selesai menggantinya, aku menatap pantulan diriku dicermin.
Aku terlihat berbeda. Menggunakan baju seperti ini aku terlihat seperti jalang. Jalang murahan.
Ah, apakah harga diriku hanya sebatas ini saja dipandangan mata pria itu.
Dengan perasaan berat, aku keluar dari kamar. Kejadian ini sangat memalukan. Bagaimana caraku untuk menghadapi omongan orang-orang. Pasti mereka telah berpikir yang macam-macam tentangku jika melihatku seperti ini.
"Kau sudah puas?"
Suaraku mendadak serak. Tapi dia terlihat datar saja,
"Kalau begitu, buatkan aku teh seperti yang biasa kau lakukan ketika di rumah" perintahnya.
Aku membatin. Inilah pekerjaanku sebenarnya.
Aku celingak-celinguk mencari dimana pantry agar aku bisa membuat teh sesuai permintaannya.
"Itu disana," katanya cuek sembari menunjukkan ruangan lain yang tertutup.
Wah jika dilihat-lihat, tempat kerja dia ini sungguh besar dan mewah sekali. Bahkan untuk kamar pribadi pun ada. Jika begitu ruangan yang tadi ditunjuk adalah dapur.
Aku benar-benar merasa takjub. Ya sebenarnya tidak heran sih, dia kan Presiden Direktur mana mungkin segala hal urusan pribadi itu dicampur satu tempat dengan karyawannya.
"Kenapa kau melamun? Tidak segera mengerjakan pekerjaanmu? Kau ingin aku menghukummu lagi?"
Suara tingginya seketika mengejutkanku. Karena terlalu terlena dengan kemewahan ini, aku jadi melupakan permintaannya.
"Tak bisakah kau bicara dengan sedikit lembut? Walaupun aku ini pelayanmu, tapi aku juga seorang manusia," celotehku menceramahinya.
Ya siapa sih yang tidak kesal jika ada seseorang terus-menerus berbicara dengan nada tinggi, padahal kita tidak melakukan kesalahan.
"Kau membantahku?"
Aku menghela napas, "Bukan begitu. Setidaknya perlakukan aku lebih layak. Jika kau tidak bisa, maka belajarlah" kataku cepat lalu langsung berjalan sebelum dia membalas perkataanku lagi.
Aku pun membuatkan teh seperti yang biasa aku lakukan di rumah, dan kembali untuk menghidangkan teh itu kehadapannya.
"Minumlah selagi hangat. Apa ada lagi yang kau butuhkan?" tanyaku lembut.
"Tidak" balasnya cuek masih sibuk menatapi lembaran yang tertulis angka-angka itu.
Aku mengangguk acuh, dan berjalan menuju rak buku yang tersusun rapi. 'Baguslah jika kau tidak butuh apa-apa lagi' batinku. Sedari tadi aku ingin sekali membaca buku-buku ini. Ya walaupun aku yakin kebanyakan bukunya adalah tentang bisnis.
"Hattchiiiii"
Mendadak aku bersin, mungkin karena suhu ruangan yang dingin, ditambah aku memakai baju yang super minim. Aku menoleh sekilas kearahnya, ingin melihat apakah dia menunjukkan reaksi setelah melihatku bersin tadi.
Tapi ya nihil, tidak ada respon apapun.
Aku mengerutkan bibirku. Kenapa ya aku sedikit kecewa. Lagipula, aku ini hanya mainannya saja.
Tapi ya sudahlah, dia memang begitu. Lebih baik aku pilih saja salah satu buku-buku ini.
Lalu aku menjatuhkan pilihanku kesebuah buku puisi.
Seorang sepertinya, ternyata juga membaca buku seperti ini.
Entah merasa itu lucu atau bagaimana, aku tertawa kecil.