Chereads / Just About Us (Move To New Link) / Chapter 3 - I'm Sorry, I Love You Part 3

Chapter 3 - I'm Sorry, I Love You Part 3

Aneh, sedari tadi aku duduk sembari membaca buku dengan keadaan yang sangat tidak nyaman ini, namun tak ada satupun orang yang datang ke kantornya.

Apa mungkin dia meminta karyawannya untuk tak perlu datang? Ah mana mungkin dia seperti itu. Psikopat gila itu tak mungkin memikirkan perasaanku.

Duh aku benar-benar risih memakai pakaian seperti ini. Kenapa sih dia harus memintaku memakainya. Apa dia tak bisa melihatku yang dari tadi gelisah karena tak nyaman, juga suhu ruangan yang rasanya begitu dingin membuatku bisa mati kedinginan. Kulitku rasanya seperti tertarik karena dinginnya.

Membaca buku pun aku jadi tak fokus.

Aku melirik-lirik kecil kearahnya yang sekarang sedang sibuk menatapi layar komputernya, sesekali menjawab panggilan telepon dengan nada serius dan alis berkerut samar.

Dia itu selain psikopat gila juga seorang maniak bekerja. Seluruh hidupnya sungguh didedikasikan untuk pekerjaannya. Ya kalau tidak begitu dia tak akan bisa mempertahankan posisi Presiden Direktur itu.

"Kenapa kau terus melirik kearahku?"

Suara berat itu menyadarkan lamunanku. Buru-buru aku menyangkalnya. "Siapa yang sudi melirik kearahmu," sergahku.

Aku tak ingin mengakui bahwa aku memang meliriknya. Dia bisa saja jadi keras kepala dan semakin angkuh.

"Aku ingin bertanya," sambungku agak cuek.

"Tentang apa?"

Aku menelan ludah. "Kenapa sedari tadi tak ada karyawanmu yang datang kesini hanya sekedar untuk memberikan laporan padamu?"

Aku ingin mendengar jawabannya. Aku ingin tau alasan dibalik itu.

"Karena aku sudah meminta mereka untuk tidak datang kemari. Apa kau pikir aku sungguh ingin mereka melihat penampilanmu saat ini?" balasnya santai tapi juga sedikit menekankan kalimatnya.

Hah? Apa aku salah dengar? Apa mungkin dia sebenarnya perhatian denganku?

Tidak tidak tidak. Itu tidak benar. Orang sepertinya tidak mungkin bisa memberikan perhatian. Pasti itu karena aku adalah wanita bayarannya, sehingga dia tak ingin orang lain melihatku seperti ini.

"Pergilah ganti bajumu. Aku sudah muak melihatnya" lanjutnya tinggi. Seperti marah.

Heran, tak bisakah dia dengan pelan dan lembut memintaku untuk mengganti baju? Bukan dengan nada tinggi dan perintah tadi.

Tapi aku tidak akan membantahnya. Terserah dia sajalah sudah lelah juga aku bertanya tentang apa keinginannya. Tadi sibuk memintaku memakai ini, sekarang malah memintaku menggantinya.

"Kalau kau perhatian, katakan saja sejujurnya" ucapku bergurau.

Eh tapi sialnya dia tidak membalas gurauanku, hanya diam dan menatap layar komputer dengan fokus.

"Cih, sialan" gumamku pelan.

Aku berjalan kembali ke kamar untuk mengganti bajuku. Sebentar lagi akan makan siang. Kurasa aku akan makan diluar kantor saja, itupun jika dia mengizinkan.

Dengan cepat aku mengganti baju, lalu meletakkan baju pelayan itu kembali kedalam kotak dan akan aku letakkan didalam lemari. Ketika aku membuka lemari pakaian itu, sungguh aku tidak bisa berkata-kata.

Karena didalamnya terdapat pakaian dalam seorang wanita yang berwarna putih dengan renda-renda.

Aku tak habis pikir lagi. Apa dia juga membawa wanita ke kamar ini? Tunggu dulu tapi sejak kapan? Jika dilihat dari pakaian dalamnya sepertinya itu masih baru.

Berarti baru-baru ini? Ah sial, kenapa aku jadi merasa dia bermain dibelakangku. Tapi tidak mungkin. Karena aku tak ada hubungan apapun dengannya, hanya wanita bayaran saja. Jadi ya sah-sah saja jika dia membawa wanita lain. Aku berusaha untuk tetap sadar diri.

Tapi kenapa dadaku terasa sesak ya?

Tanpa sadar aku mengambil pakaian dalam itu, lalu mengusapnya perlahan sembari memikirkan tentang dia.

6 bulan terakhir ini aku terjebak hidup bersama dengannya. 6 bulan terakhir ini aku juga yang telah menjadi pelampiasan hasrat dan keinginannya. Mengetahui bahwa dia juga bersama wanita lain entah bagaimana membuatku sedikit kesal.

Aku meremas pakaian dalam itu, dan ketika melihat tempat sampah, aku membuangnya. Sungguh aku tak mengerti apa yang tengah aku lakukan saat ini. Tapi aku tak menyukai fakta bahwa dia juga bermalam bersama wanita lain.

Setidaknya sampai kontrak ini selesai. Hanya tinggal 3 bulan lagi saja. 3 bulan bukan waktu yang lama. Dia cukup menahannya selama 3 bulan sampai aku dan dia berakhir lalu dia bisa bersama wanita pujaannya.

Itu juga telah aku katakan diawal kontrak kami.

Kembali lagi, apakah aku egois? Atau apa yang sebenarnya tengah kurasakan kini?

Tak mungkin kan ini cinta? Sungguh gila jika aku jatuh cinta padanya.

Ceklek. Suara pintu kembali mengejutkanku.

"Kenapa hanya mengganti baju saja menghabiskan waktu yang lama sekali?" tanyanya tak sabaran.

"Maaf" gelagapan aku menjawabnya. Duh apa yang baru saja kupikirkan. Sungguh mustahil aku bisa jatuh cinta padanya.

"Keluarlah," pintanya dingin.

Aku mengangguk sekilas dan berjalan kearahnya keluar dari kamar. Semoga saja dia tidak melihat pakaian dalam yang kubuang tadi.

"Sudah waktunya makan siang. Jangan berpikir untuk makan siang diluar, aku tidak mengizinkannya" katanya cuek sembari duduk dimeja tamu tadi.

Aku mengeluh dalam hati. Pria ini benar-benar mengekangku 24 jam. Apa dia tak lelah terus begitu? Aku juga butuh udara segar. Begini terus aku bisa-bisa mati karena stress.

"Tunggu apa lagi? Kenapa kau terus membuatku marah?" bentaknya sambil menggertakkan giginya.

Astaga. Aku mengelus dada, pasrah. Sudah jadi makananku dibentak seperti tadi.

Aku melangkahkan kakiku dengan malas menuju sofa dan duduk dihadapannya.

"Apa kau tak tau kau begitu temperamen?" ujarku asal lalu menyendokkan makanan ke mulutku. Tapi sepertinya aku salah bicara.

Dia tersenyum simpul. Senyum yang tak tau apa maknanya.

"Apa kau sedang berusaha memberitahuku tentang kondisiku?"

Aku tertawa kecil dalam hati. Sepertinya aku menyinggungnya terlalu berlebihan. Tapi aku senang, biar dia tau rasa jika aku juga menderita karenanya.

"Mungkin kau butuh penanganan dokter untuk temperamenmu itu"

GUBRAKK!!!!!!

Suara gebrakan meja membuatku terlonjak kaget, bahkan sampai membuat sendok dan garpu jatuh ke lantai.

Aku menatapnya, matanya menyala marah, alisnya berkerut tajam, dan dengan gerakan secepat kilat. Tangannya sudah menangkup wajahku. Membawa kedua mataku larut dalam mata cokelat gelap miliknya yang kini seperti api membara.

"Katakan sekali lagi, aku akan membuatmu menyesal seumur hidupmu"

Tubuhku mendadak lemas, otot-ototku rasanya melemah, begitu ketakutan akan matanya yang menusuk-nusuk jantungku.

Aku yakin itu bukan sekedar ancaman biasa,

Aku benar-benar telah menyinggungnya ditempat yang begitu sensitif. 6 bulan terakhir ini aku memang merasakan bahwa dia begitu temperamental, perubahan suasana hati yang begitu cepat, kadang juga begitu kejam menyiksaku. Apakah untuk ukuran orang normal ada yang seperti itu? Tidak ada kan.

Selama ini aku selalu menduga bahwa dia itu punya semacam PTSD, tapi dia berusaha menahannya atau menyembunyikannya, dan ketika aku menyinggung hal itu dia kan marah, seperti saat ini.

Saking lemasnya aku bahkan tak bisa membalas perbuatannya padaku. Karena begitu ketakukan.

"Aku tak perlu dokter untuk mengetahui tentang kondisiku. Kau juga sama sekali tak berhak untuk ikut campur. Jangan kau pikir, aku melakukan semua ini karena peduli padamu sehingga kau memberikan rasa simpatimu padaku. Aku tidak membutuhkan simpati darimu sama sekali" geramnya sembari melepaskan tangkupan tangannya diwajah ku.

"Satu lagi. Apa kau sedang berpikir bahwa kau ini begitu istimewa karena aku memperlakukanmu dengan berbeda? Kau salah. Kau tidak ada bedanya dengan wanita bayaranku yang lain" tegasnya lalu segera berlalu meninggakan ruangan ini.

Aku tersenyum sinis, mendadak air mata sudah menumpuk lagi diujung mataku. Kenapa setiap kalimat tentang wanita bayaran saat terlontar dari bibirnya bisa terdengar begitu menyakitkan. Seolah-olah kalimat itu sudah tertanam padaku, seolah-olah aku memang wanita seperti itu. Sudah serendah itukah dia menganggapku? Apa dia sebenarnya sedang menyadarkanku bahwa posisiku itu memang hanya seorang wanita rendahan hingga tak mungkin mengharapkan sesuatu yang lebih didalam hatinya.

Ataukah aku memang telah jatuh cinta padanya, karena sakit yang kurasakan ini begitu menyesakkan dadaku.