Siang hari yang cerah dengan sinar matahari begitu terik menyiratkan hawa panas di kulit. Disinilah, Asya gadis polos dan pendiam sedang menjaga toko material milik orangtuanya.
"Sudah jam segini ayah sama ibu belum pulang." Asya duduk di kursi sendiri sambil memikirkan orangtuanya yang sedang pergi keluar semenjak pukul 8 pagi sampai sekarang pukul 11 siang.
Dret dret
Lamunan Asya buyar saat dering ponselnya berbunyi. Terkejut melihat nomor asing tertera di layar ponselnya.
"Halo," Asya terpaksa mengangkat panggilan masuk dari nomor tidak dikenal itu.
"Halo, apa ini dari keluarga Budi Iskandar dan Rina Sekarwati?"
"Ya, saya anaknya. Ada apa ya? Dan ini dengan siapa?" Asya bingung.
"Kami dari pihak rumah sakit Medika memberitahukan kalau kedua orangtua mbak terlibat kecelakaan dan sekarang tengah mendapatkan perawatan …"
Prang
Tubuh Asya seketika menegang dan tangannya yang tadi kokoh memegang ponsel tiba-tiba melemas hingga ponsel itu terjatuh ke lantai dan retak di bagian layarnya. Diikuti tubuhnya merosot ke lantai karena tidak kuasa mendengar berita yang baru didengarnya barusan.
Setelah mendengar kabar mengejutkan itu, Asya buru-buru ke rumah sakit menaiki ojek online.
Pandangannya mulai buram, terhalang cairan bening yang terus menggenang di kelopak matanya. Selama perjalanan dari rumah menuju rumah sakit tidak henti-hentinya menangis karena tak kuasa menghadapi kenyataan kalau orangtuanya terlibat kecelakaan.
Keadaannya sekarang tidak merefleksikan karakter Asya yang selalu periang setiap harinya. Tidak pernah sedikitpun dia menunjukkan kesedihan dihadapan orang banyak. Karena hari-harinya yang selalu dibanjiri akan kasih sayang dari kedua orangtuanya membuat hidupnya serasa bahagia. Dan setelah mendengar kabar buruk mengenai orangtuanya seketika membuatnya roboh dan menangis.
"Dok, gimana keadaan orangtua saya, Budi Iskandar dan Rina Sekarwati ?" Asya menghampiri dokter laki-laki bernama Dokter Yogi.
"Ibu Rina meninggal ditempat sesaat mengalami kecelakaan. Sedangkan bapak Budi sedang kritis sekarang karena mengalami benturan yang sangat keras di kepala. Serta di bagian kakinya mengalami patah tulang," ucap dokter Yogi dengan pelan.
Brukk
Asya seketika merosot ke lantai dan meraung-raung menangisi kepergian ibunya. Ini sungguh diluar dugaannya dimana ibunya sudah meninggalkannya untuk selama-lamanya setelah mengalami kecelakaan bersama ayahnya. Air matanya tumpah ruah membasahi wajah dan lantai rumah sakit.
Dunianya seakan berhenti berjalan, melihat kenyataan yang tidak pernah ia duga sebelumnya akan menimpanya. Antara merasa mimpi dan tidak tapi dia sadar kalau itu kenyataan yang tengah ia hadapi sekarang.
Keadaan ayahnya yang tidak memungkinkan mengharuskannya sendirian untuk menghantarkan ibunya ke tempat peristirahatan terakhir. Berat, tapi dia berusaha tegar. Ingin sekali dia menyerah, tapi dia ingat kalau nyawa ayahnya juga berada di ujung tanduk. Jadi mau tidak mau setelah menghantarkan ibunya ke tempat peristirahatannya yang terkahir, harus kembali lagi ke rumah sakit.
Dengan keadaan yang masih berduka dan tidak siap menerima kenyataan, Asya kini dihadapkan dengan kondisi ayahnya yang kritis.
"Ayah …" Asya melihat kondisi ayahnya dari balik kaca sambil terisak. Untuk sementara tidak ada yang diizinkan masuk ke ruangan Budi termasuk dirinya. Jadinya Asya hanya bisa melihatnya dari luar.
"Ayah harus kuat. Aku nggak mau ditinggal ayah. Apa ayah tahu … hikss … ibu sudah meninggal. Hikss."
"Saya turut berduka cita atas meninggal ibu Rina Sekarwati, dan semoga kamu diberi kekuatan dan ketabahan. Disini saya mau memberitahu kalau Bapak Budi harus segera menjalani tindakan operasi. Luka akibat benturan keras di kepala membuatnya tidak sadarkan diri. Sedangkan pada bagian kakinya patah tulang."
"O … operasi, Dok?"
"Ya, Dik."
"Biayanya berapa, Dok?"
"Itu bisa ditanyakan langsung ke petugas administrasi rumah sakit."
Asya terkejut setelah menanyakan biaya operasi ayahnya membutuhkan biaya sebanyak 90 juta. Dan kalau bisa tindakan operasi harus dilaksanakan sesegara mungkin mengingat kondisi Budi dalam keadaan kritis. Asya ragu bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam sehari, pikirnya.
Asya pulang ke rumah mencari tabungannya dan milik orangtuanya. Siapa tahu bisa digunakan untuk membayar biaya operasi ayahnya. Meski dia masih berduka dan butuh support atas kepergian ibunya yang mendadak tapi tidak ada yang mendampinginya membuatnya harus kuat untuk menguatkan dirinya sendiri.
"Sayang tabunganku sama tabungan ayah dan ibu hanya 15 juta." Asya bingung harus mendapatkan uang 90 juta darimana.
Tidak mau membuang waktunya hanya dengan menangis saja karena akan membuatnya semakin terpuruk saja mengingat ayahnya sedang membutuhkannya, Asya memutuskan untuk bangkit dari kesedihannya meski susah. Untuk mencari pinjaman uang ke tetangga. Siapa tahu ada yang mau memberikannya pinjaman.
"Kenapa begini. Hiksss." Asya menjatuhkan tubuhnya di jalan yang sepi karena sudah mencari pinjaman tapi tidak ada yang membantunya.
Sadah kehilangan seorang ibu apa dia harus kehilangan ayahnya lagi, pikirnya. Tidak, dia tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya.
Tidak terasa langit sudah berganti menjadi gelap. Berjam-jam kesana kemari hanya membuang tenaga dan waktu saja. Dia tidak mendapatkan uang 90 juta itu.
"Hiksss. Aku harus kemana lagi." Asya duduk sendirian di pinggiran trotoar karena sudah lelah kesana kemari mencari pinjaman tapi nihil.
Cettt
Asya yang tadinya menelungkupkan kepalanya di sela-sela kedua lututnya seketika mendongak. Tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat dihadapannya.
"Kamu ngapain disini sendirian?" seorang laki-laki menghampirinya dengan setelah kemeja dan celana panjangnya yang nampak gagah.
Asya terdiam karena merasa tidak kenal dengan laki-laki itu.
"Kamu ada masalah?" Asya masih terdiam mengamati laki-laki asing yang barusan menghampirinya itu. Tidak berselang lama, Asya mengangangguk pelan.
"Tidak salah aku meminta tolong padanya, siapa tahu dia bisa bantu aku." dilihat dari penampilan laki-laki itu seperti orang kaya, yang bisa ia mintai tolong.
"Kenalin nama saya Riko. Saya butuh bantuan sekarang. Apa kamu bisa menolong saya?"
Asya mengerutkan dahi. Ternyata Riko menghampirinya hendak meminta tolong padanya. Dia bingung, dengan penampilan menyedihkan wajah sembab memang apa yang dibutuhkan darinya.
"Kalau saya mau bantu, apa kamu mau memberiku pinjaman uang 75 juta?" ucap Asya to the point mumpung ada orang yang sepertinya siap membantunya.
"Jangankan kamu minjam, saya akan ngasih uang 150 juta cuma-cuma ke kamu kalau kamu mau bantu saya."
"Benarkah? Apa yang bisa saya bantu, saya mau." Asya antusias menjawabnya.
"Ikut saya, nanti kamu akan tahu apa yang harus kamu lakukan."
Tanpa pikir panjang Asya menuruti permintaan Riko. Keduanya kini sudah berada didalam mobil hitam dan berlalu. Selama perjalanan, Asya tidak bisa menutupi perasaan takut dan khawatirnya pada Riko. Baru kali ini dia dekat lagi dengan seorang cowok setelah lulus dari bangku SMA.
Tidak terasa kini mobil itu sudah berhenti di sebuah hotel.
"Kenapa kita ke hotel?"
"Nanti saya beritahu. Ayo ikut." Riko keluar dari mobil disusul Asya berikutnya.
Keduanya berjalan memasuki hotel mewah itu dengan beriringan. Asya dibuat kagum akan keindahan dan kemewahan hotel itu yang baru dipijakinya. Baru kali ini dia menginjakkan kakinya di hotel semewah itu.
"Masuklah." Riko membukakan salah satu pintu kamar hotel untuk Asya.
Sesampainya didalam kamar hotel itu, Asya merasa takjub dengan design kamar hotel itu yang nampak mewah dengan cat dinding berwarna putih bersih. Ditambah lagi ada kaca lebar yang langsung menampakkan pemandangan langit gelap diluar hotel yang lampu memperlihatkan gemerlap banyak lampu dibawah.
Pukkk
Riko meletakkan tumpukan uang berwarna merah diatas meja tepat disamping Asya. Bola mata Asya membulat sempurna melihat uang sebanyak itu.
"Uang itu akan menjadi milik kamu, tapi kamu harus melayani bosku di dalam kamar itu …" Riko menunjuk kearah salah satu kamar dengan pintu yang tertutup rapat setelah melemparkan uang muka sebagai imbalannya nanti.
"Apa? Nggak. Aku nggak mau." Asya menolaknya mentah-mentah. Memang dirinya butuh uang, tapi tidak dengan menukarkan harga dirinya untuk mendapatkan uang itu.
"Kamu butuh 75 juta tadi kan? Susah mendapatkan uang 90 juta dalam semalam bukan." bisik Riko tepat di telinga Asya.
Memang yang diucapkan Riko barusan ada benarnya. Buktinya sedari tadi dirinya mencari pinjaman 75 juta aja tidak dapat-dapat. Nah ini dia malah bisa mendapatkan 150 juta dengan cepat.
"Tapi aku nggak mau melakukan itu."
"Semua ada di tanganmu. Kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya bukan?"
Asya memejamkan matanya dengan erat. Akankah dia harus merelakan harga dirinya untuk ditukarkan dengan uang. Dia terdiam dengan segala kebimbangan yang ada di pikirannya.
Dret dret
"Halo,"
"Kami dari pihak rumah sakit memberitahukan kalau kondisi bapak Budi Iskandar semakin kritis sekarang dan membutuhkan tindakan operasi segera."
Deg
"Ya aku mau. Dimana aku harus melakukannya." Asya dengan bulat tekad walau tahu itu salah, tetap akan melakukannya. Kondisi ayahnya yang semakin memburuk tidak diberi kesempatan untuk memilih. Satu-satunya pilihan adalah menerimanya.
Riko menyeringai puas melihatnya. Asya berjalan kearah kamar yang ditunjuk oleh Riko. Selama perjalanan Asya tidak henti-hentinya menangis meratapi nasibnya yang akan merelakan kesuciannya demi mendapatkan uang. Miris memang.
"Hikss." Air mata Asya terus berjatuhan seiring langkah kakinya menuju kamar tempat dirinya menyerahkan kesuciannya pada laki-laki yang tidak ia kenal.
Ceklek
Asya masuk kedalam kamar yang terlihat temaram cahanya. Hanya ada sorot lampu tidur saja yang nampak di samping ranjang.
"Eh." Pekik Asya kaget saat sibuk meneliti sekitarnya, tiba-tiba tangannya ditarik.
"Siapa … Hmpttt."
Belum selesai bicara tiba-tiba bibirnya dibungkam oleh seseorang dan tubuhnya dikunci. Reflek tangannya meronta untuk dilepas namun tenaganya tidak sebanding. Tapi dia tetap berusaha meronta.
"DIAM!"