Asya kaget. Bentakan keras membuatnya mengerjap.
Hingga Asya tersentak melihat sosok laki-laki di depannya tengah menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Namun satu hal yang ia tangkap dari sosok laki-laki di hadapannya yaitu tampan, pikirnya.
Namun Asya buru-buru mengenyahkan pikiran kala melihat penampilan laki-laki di hadapannya itu tengah bertelanjang dada. Bahkan terlihat jelas buliran air membasahi dada bidangnya. Membuat lidah Asya seketika kelu. Jujur baru kali ini dia melihat pemandangan seperti itu.
"Cantik, walau tidak seksi." Batin laki-laki itu sambil menarik sudut bibir ke bawah pertanda sinis karena kecewa. Asya hanya memakai kemeja dan celana selutut. Namun karena terpaksa dia tidak peduli akan hal itu. Karena dia ingin mendapatkan sesuatu yang diinginkannya sebagai pelampiasannya.
"Panggil saya, Gilang," ucap laki-laki itu sesaat, kemudian menarik tengkuk Asya dan mencium bibir Asya dengan rakus.
Asya ingin menolak terkejut lagi namun dirinya hanya pasrah sambil memejamkan mata. Tubuhnya sudah dikunci oleh Gilang.
Ya laki-laki itu adalah Gilang Danurendra. Gilang itulah nama panggilannya. Gilang sendiri dikenal sebagai pengusaha muda kaya yang bergerak di bidang property. Banyak orang yang mengagguminya karena ketampanan parasnya. Tapi dibalik ketampanan itu terdapat aura dingin dan kejam dari pancaran wajahnya, yang membuat banyak orang takut bila berhadapan dengannya langsung.
Gilang tidak puas-puasnya melahap bibir mungil Asya yang berwarna pink dan terasa manis itu. Asya sendiri merasa kewalahan menghadapi serangan bibir Gilang yang begitu lihai di bibirnya. Jujur ini kali pertamanya buat Asya berciuman, yang berarti Gilang mengambil ciuman pertamanya.
"Hahh ha hah." Ciuman itu terlepas dan Asya langsung meraup udara sebanyak-banyaknya karena Gilang tidak memberinya kesempatan bernafas. Nafas keduanya saling berhembus menerpa wajah masing-masing.
"Manis." Batin Gilang menjulurkan lidahnya untuk menyapu sisa saliva Asya di bibirnya.
"Gi … Gilang, Berhenti. Tolong transfer uangnya sekarang bisa?" ucap Asya dengan melas ditengah permainan panas itu.
"OK, bitch. Rekeningnya? Biar Riko yang ngurus semua." Gilang menatap remeh Asya karena memikirkan uang sebelum selesai melayaninya. Dada Asya terasa sesak tidak terima dianggap Gilang seperti itu. Walau Asya tahu apa yang dilakukannya salah, tapi dia terpaksa melakukannya.
"Ada di tas aku."
Dengan tidak sabaran Gilang meraih ponsel di atas nakas untuk menghubungi Riko. Asya menahan rasa gugub dan takut melihat gerak gerik Gilang yang seperti menahan rasa sakit dan juga frustasi. Entahlah dia juga tidak tahu, sebenarnya apa yang terjadi pada laki-laki yang sedang mengungkungnya itu.
"Hmmmpt."
Bibir Asya kembali jadi santapan namun ini lebih dalam dan penuh tuntutan. Asya terkejut dengan serangan Gilang yang mendadak itu. Sungguh Gilang sudah tidak bisa mengendalikan nafsunya lagi sekarang.
Gilang melumat bibir Asya dengan rakus. Namun Asya hanya diam dan pasrah tidak membalas ciuman Gilang yang brutal itu. Gilang jadi geram hingga membuatnya menggigit bibir bawah Asya dan reflek mulut Asya membuka.
Gilang menyeringai puas akhirnya lidahnya bisa menyeruak masuk kedalam rongga mulut Asya dan mulai mengeksplore setiap inci di dalam mulut Asya.
Setelah puas mengeksplore mulut Asya kini Gilang beralih ke leher jenjang Asya. Bibir Gilang tidak ketinggalan untuk menyesap dan menggigit kulit putih mulus Asya hingga meninggalkan bekas kemerahan disana.
"Ahhh." Asya melenguh tidak kuasa menahan desahannya. Asya juga tidak tahu kenapa suara itu reflek keluar disaat dirinya baru menikmati sesuatu yang baru ia rasakan namun begitu nikmat sekali baginya.
Brukk
Gilang mendorong Asya ke arah ranjang, hingga tubuh mungil Asya terlentang di tengah ranjang king sizenya.
Gilang langsung menindih tubuh Asya dan melancarkan aksinya. Tubuh yang sudah dikuasai hasrat menuntut dituntaskan membuat Gilang tidak ingin berlama-lama melakukannya.
Dengan tangan sedikit gemetar, Gilang buru-buru melepaskan pakaian yang menempel pada tubuh Asya. Asya berusaha memelas namun itu hanya sia-sia. Gilang sepertinya sudah tidak peduli padanya.
"Hmmpt."
Gilang mencium bibir Asya dengan ganas, lumatan dan sesapan terus ia lakukan pada bibir mungil Asya. Kedua tangan Asya hanya bisa meremas sprei putih hotel itu dengan kuat untuk melampiaskan akan apa yang ia rasakan. Asya tidak membalas dan menolak akan perlakuan Gilang.
Sungguh aneh, ini kali pertamanya dia melakukan ciuman pada seorang laki-laki namun mampu memberikan kesan tak biasa dalam dirinya. Perasaan tidak terima dan marah perlahan runtuh seiring dengan kenikmatan yang tengah ia rasakan. Namun lama kelamaan Asya turut membalas apa yang dilakukan Gilang namun dengan kondisi amatir dan kaku. Suara decapan khas orang berciuman menggema di kamar hening dan temaram itu.
"Ahh." Lenguh Asya kala bibir Gilang turun menjelajahi leher jenjangnya, sesekali menyesap disana. Hinggga meninggalkan jejak berwarna merah.
Asya menatap langit-langit sembari menahan rasa dingin menjalar di tubuhnya. Tidak sadar sejak kapan pakaiannya sudah terlepas dari tubuhnya.
"Siap-siap, ini akan sakit." Gilang menatap wajah Asya yang berpeluh keringat dengan tatapan bingung. Ya, Asya bingung akan maksud Gilang itu.
"Ahhh. Sakit." teriak Asya dengan keras.
Kamar hotel itu menjadi saksi bisu saat Asya kehilangan mahkota berharganya sebagai perempuan. Yang sudah berusaha ia jaga sebaik mungkin.
Kamar itu dipenuhi desahan dan erangan bercampur geraman dari dua insan yang tengah dilanda mabuk kenikmatan. Tanpa adanya ikatan dan hubungan diantara mereka.
Meninggalkan raut muka puas dari wajah Gilang, tersembunyi perasaan hancur dalam benak Asya yang tengah menangis dalam diam. Dirinya meratapi akan nasib masa depannya yang sudah hancur berkeping-keping.
"Maafin Asya, yah mah."
Dengan wajah sembab, Asya berusaha bangun disaat Gilang masih tertidur pulas di sampingnya. Asya bangkit dari ranjang hendak pergi meninggalkan tempat itu.
"Awww," pekik Asya merasakan sakit di intinya. Asya bangun dan terkejut melihat ada noda darah di sprei bekas tidurnya.
Ceklek
Setelah memakai pakaiannya, Asya buru-buru keluar dari kamar laknat itu menuju rumah sakit untuk menemui ayahnya.
"Udah?" Riko duduk di sofa luar kamar menoleh ke arah pintu nampaklah Asya baru keluar.
"Hmm." Asya mengangguk malu setelah apa yang terjadi.
"Tenang saja. Udah aku transfer sesuai yang kamu minta, 75 juga."
"Aku mau pulang." Asya mengambil tasnya dan hendak pergi.
"Ayo aku antar."
"Tidak usah."
"Ini jam 2 dini hari. Tidak baik perempuan kelayapan jam segini." Hati Asya mencelos, rasanya dirinya sudah tidak peduli akan anggapan itu. Lagipula dirinya sekarang sudah kotor.
Asya tidak ada pilihan lagi selain menerima bantuan Riko.