Gilang yang terkenal akan wajah dingin dan berwibawa dimanapun dia berpijak, kini terlihat muram. Terlihat dari sorot mata yang nampak sendu dengan segudang kesedihan menumpuk disana.
Yang harusnya hari ini menjadi hari bahagianya bersanding di pelaminan dengan sang pujaan hati pupus sudah. Dimana keluarga Mona membatalkan secara sepihak tepat dua hari sebelum pernikahan mereka digelar. Setelah terkuaknya perbuatan bejatnya pada Asya empat bulan lalu.
Apakah ini bisa dibilang karma atau tidak, setelah apa yang dilakukannya dahulu pada seseorang yang pernah ia sakiti dan khianati yaitu sahabat lamanya Mario. Dulu Mario yang ditinggal Mona sekarang giliran dirinya yang ditinggal.
SAH
Seruan jelas dan lantang dari para tamu masih jelas melintas di telinga dan kepala Gilang dan Asya. Dimana hari ini keduanya sudah terikat akan janji suci pernikahan dengan dihadiri banyak tamu yang sudah diundang. Sesuai rencana dan kesepakatan keluarga Mona dan keluarga Gilang sebelumnya, pernikahan tetap di gelar di sebuah hotel milik Indra Danurendra walau yang dinikahi Gilang tidak Mona melainkan Asya. Ditambah dekorasi yang begitu mewah dengan ditaburi bunga-bunga berwarna putih memberikan kesan mewah disana.
"Puas kamu?" Gilang menoleh ke samping dimana Asya duduk di sebelahnya dengan gaun putih menjuntai kebawah yang sedikit longgar menutup perut buncitnya. Asya nampak anggun dan cantik bagi siapapun yang menatapnya. Tapi tidak untuk Gilang, justru Gilang menatapnya dengan tatapan mematikan seolah tengah memendam seribuan kebencian disana.
"Maaf," lirih Asya kemudian menundukkan kepala karena takut akan tatapan Gilang.
Gilang tidak mengindahkan permintaan maaf dari Asya yang sebenarnya juga tidak bersalah atas semua ini. Dengan raut muka kesal, Gilang meninggalkan Asya seorang diri dan memilih mencari suasana tenang untuk menyendiri.
Meninggalkan beberapa tamu yang masih menikmati jamuan disana. Sungguh hari bersejarah yang seharusnya meninggalkan kesan bahagia karena terjadi sekali seumur hidup harus berjalan tidak sesuai harapan.
"Nak, ayo kita pulang." Budi menghampiri Asya yang tengah berdiri sendirian tidak ditemani Gilang. Biargimanapun juga Budi tahu kalau Gilang sampai kapanpun tidak akan bisa menerima Asya walau sudah hamil anak Gilang sekalipun. Karena keduanya memang tidak saling mencintai sebelumnya.
"Biarkan dia tinggal di rumah anak saya." Indra datang menghampiri Budi dan Asya.
"Tapi anak saya tidak akan bahagia bila hidup bersama anak bapak."
"Lantas saya biarkan putri anda pergi begitu saja setelah dinikahi anak saya. Apa kalian berniat mencoreng nama baik keluarga besar kami lagi. Setelah mendapatkan apa yang kalian inginkan hingga calon menantu saya pergi meninggalkan anak saya karena perbuatan anak anda." Indra menatap sinis.
"Saya ragu kalau itu anak Gilang. Bisa saja …" Sekar menatap perut Asya dengan sinis.
"Jaga bicara bapak, ibu. Anak saya anak baik-baik."
"Anak baik? Tidak layak anak anda yang berani menjual diri dianggap sebagai anak baik." Sekar menatap Asya penuh kebencian.
"Yah, Asya akan tinggal mas Gilang." Asya melerai perselisihan diantara mereka sambil menahan rasa perih di hatinya harus di benci mertuanya. Biarlah dia dan ayahnya saja yang tahu alasan dibalik dirinya berani melakukan apa yang dituduhkan ibu mertuanya itu.
"Tapi nak, …"
"Jangan khawatir, pernikahan ini bisa kita anggap sementara. Jadi nanti dia bisa kembali pulang ke tempat asalnya." Timpal Sekar membuat semua kaget.
"Maksud mamah?"
"Ya kan pah. Mereka itu tidak saling mencintai. Jadi sudah pasti mereka tidak akan bertahan lama. Anggap saja pernikahan ini sebagai penutup dari pembatalan pihak keluarga Mona kemarin daripada kita menahan malu karena sang mempelai perempuan membatalkan sepihak jadi terpaksa saja menikahkan anak kita dengan wanita itu. Toh nanti mereka bisa pisah. Sekalian menutup citra buruk Gilang yang sudah berani bersentuhan dengan wanita itu." Sekar menunjuk Asya dengan tatapan tajam.
"Kalian benar-benar jahat." Budi memeluk Asya yang sudah meneteskan air mata.
"Sudah sana kembali ke kamarmu," titah Indra pada Asya.
Asya nurut dengan perintah mertuanya dan Budi mengikhlaskan Asya pergi meninggalkannya. Asya berjalan menuju kamar hotel sambil ditemani kakak Gilang yang bernama Tiara.
"Sudah jangan takut. Kamu harus jaga keponakan kakak ini." Tiara berjalan beriringan dengan Asya sambil mengelus pelan perut Asya.
"Hmm. Kakak nggak benci sama A … Asya?" Asya lega disaat sebagian besar keluarga Gilang tidak menerimanya, justru kakak Gilang yang bernama Tiara menerima kehadirannya.
Tiara sebagai perempuan selaku kakak dari Gilang merasa kasihan atas posisi yang sedang dialami Asya. Disaat semua keluarganya tidak menerima Asya dengan baik terutama Gilang, dia justru seperti malaikat yang dikirim untuk menemani Asya disana.
"Nggak. Justru saya mau minta maaf atas kelakuan adek saya ke kamu." Asya menampilkan senyum tipisnya dan disambut senyum balik oleh Tiara.
Gilang tidak ada muka lagi untuk menemui beberapa tamu sekaligus teman-teman bisnisnya. Bila ia turuti hanya membuat hatinya semakin sakit karena teringat akan kenangan manisnya bersama Mona. Dimana semuanya menanyakan keberadaan Mona yang justru tidak ada dan digantikan oleh wanita asing yang tidak lain adalah Asya.
Dan kini dia beralih menuju ke sebuah tempat yang sepi dari jangkauan tamu karena tidak mau diusik. Kini dia berdiri di sebuah taman kecil yang berada di belakang hotel yang nampak sepi sambil mendongak gemerlap langit bertaburan bintang disana.
"Mona maafkan aku. Kamu kemana sayang?" Gilang memejaman matanya dengan erat sekali seolah tidak mampu lagi menahan rasa pedih ditinggal sang kekasih yang sangat dicintainya itu.
"Gimana rasanya ditinggal orang terkasih?"
Gilang membuka pejaman matanya tanpa menoleh kearah sumber suara.
"Mario?" tebak Gilang dalam hati lewat suara yang baru didengarnya.
"Ini beum seberapa dengan apa yang gue terima atas pengkhianatan elo," Mario berjalan mendekat disebelah Gilang sambil memesukkan tangan di sakunya.
Hatinya yang masih dilanda kesedihan teramat dalam, kini semakin tersiksa kala melihat sahabat lamanya kembali menghampirinya. Perasaan senang dan benci beradu jadi satu. Namun bila mengingat dua hari sebelum pernikahannya ini terjadi, Mario hanya menorehkan rasa benci di hatinya.
"Apa mau elo?" Gilang berbalik dan menatap Mario dengan suara tetap tenang meski hatinya ingin marah.
"Gue mau elo ngrasain apa yang gue rasain dulu."
"Tapi nggak begini caranya. Elo hancurin pernikahan gue sama Mona." Gilang mendekatkan wajahnya yang penuh emosi berdekatan langsung dengan wajah Mario.
"Seharusnya elo bilang makasih ke gue. Anak elo nggak jadi kehilangan sosok ayah dari elo."
"Tahu apa elo tentang anak itu. Itu bukan anak gue," teriak Gilang tepat di depan muka Mario.
"Brengsek."
Bugh bughh
Mario mendaratkan bogeman ke wajah GIlang dengan tiba-tiba hingga membuat Gilang tersungkur ke tanah dengan kasar. Gilang tidak terima dan langsung bangkit hendak membalasnya.
"Kalau aja gue nggak ingat elo sahabat gue, mati elo gue hajar habis-habisan."
"Tuan tidak apa-apa?" Beberapa bodyguard membantu Gilang dan sebagian menahan Mario agar tidak semakin menyakiti Gilang.
"Lepas. Gue juga mau pergi dari sini." Mario menghempas cengkraman bodyguard Gilang di kedua tangannya.
Gilang menatap punggung mantan sahabatnya itu mulai menjauh meninggalkannya. Gilang mengelap sudut bibirnya yang kini mengeluarkan darah akibat pukulan keras Mario.
"Sial. Semua ini gara-gara tuh cewek." Emosi Gilang seketika membara mengingat siapa pelaku dari segala permasalah yang terjadi hari ini.
Dengan langkah lebar dan diliputi emosi, Gilang berjalan menuju kamarnya yang sudah pasti disana terdapat Asya. Tanpa memperdulikan wajahnya lebam dan mendapatkan tatapan keheranan dari keluarganya, tetap dia melangkan kaki menuju kamarnya.
Ceklek
Kedua mata Gilang menatap tajam menjelajahi seisi kamar yang bernuansa putih. Matanya membelalak bulat menatap dua orang wanita tengah duduk di tepi ranjang. Mereka adalah Tiara dan Asya.
"Kak Tiara tolong keluar." Gilang berusaha mati-matian agar tidak terlihat emosi dihadapan kakak kandungnya, Tiara.
"Kamu nggak sabar ya. Eh kakak lupa sama Nisa di bawah. Ya sudah kakak pamit."
"Kakak pergi dulu ya Asya." Tiara menepuk pundak Asya pelan.
"Kak tolong jangan pergi, Asya takut." Asya menelan air liurnya dengan susah payan mendapati tatapan tajam Gilang padanya.
Ceklek
Tepat pintu tertutup, Gilang langsung melampiaskan emosinya yang sudah ditahannya sedari tadi. Tidak terima pernikahannya bersama dihancurkan Asya dan sekarang dia harus menyandang status sebagai seorang suami sekaligus calon dari anak yang tengah di kandung Asya. Dia meragukan anak itu adalah anaknya.
Plakkk
Asya terhempas kesamping dengan tubuhnya meleyot jatuh ke lantai. Beruntung tangannya buru-buru menggapai tepi ranjang sehingga tubuhnya tidak sepenuhnya terbentur ke lantai. Tangan Asya seketika reflek memegangi perutnya.
"Bangun elo." Gilang menarik tangan Asya hingga bumil itu bangun terpaksa.
"Ma … mas sakit mas." rintih Asya.
"Siapa yang nyuruh elo panggil gue begitu. Cihh." Gilang meludah merasa jijik sekali mendengar panggilan Asya untuknya itu.
Sudah Asya duga sebelumnya kalau Gilang akan bersikap tidak baik padanya. Tapi tidak sedikitpun terlintas kejadian kasar begini menimpanya hari ini. Air mata Asya mulai berjatuhan membasahi kenningnya melihat perlakuan kasar ayah dari bayinya berani menyakitinya separah itu.
"A … aku mi … minta maaf."
"Maaf elo bilang."
"Awww. Sakit. Hikss." Gilang menjambak rambut Asya dekan kasar hingga wajahnya mendongak keatas.
"Sakit? Ini nggak seberapa dengan apa yang gue tanggung. Karena elo, Mona batal nikah sama gue dan sekarang entah pergikemana."
Brukkk
Asya dihempas begitu saja oleh Gilang tanpa peduli bumil itu akan mendarat kemana. Untungnya Asya jatuh di ranjang.
"Awww." Asya menahan sedikit kram di perutnya akibat terguncang sedikit.
"Ini belum seberapa. Elo akan menerima pembalasan dari gue." seringai penuh amarah kebencian terpancar dari aura wajah Gilang.
Asya hanya bisa menelan salivanya dengan kasar. Hingga kamar yang seharusnya dijadikan malam pertama untuk sang pengantin untuk melampiaskan kelelahan mereka dengan aktivitas menggelora malah hanya terisi dengan suara rintihan dan kesakitan dari Asya sambil menerima perlakuan kasar fisik dan verbal dari Gilang.