Sebelum sinar pagi menyapa, Asya sudah bangun untuk menjalankan kewajibannya sebagai istri. Meskipun statusnya sebagai istri, tapi perlakuan Gilang padanya tidak jauh berbeda dengan pembantu. Status istri hnyalah pajangan semata baginya. Bi Asri sendiri kadang kasihan melihatnya, mengingat Asya sedang hamil dan butuh perhatian bukan siksaan seperti yang didapat saat ini oleh dari sang suami dan keluarga sang suami juga.
"Mbak Asya istirahat saja. Kelihatan masih ngantuk itu. Biar bibi saja yang masak." Bi Asri melihat terdapat kantung menghitam di bawah mata Asya pertanda kurang tidur.
"Asya nggak ngantuk kok, Bi." Asya menggeleng sambil tetap tersenyum terpaksa.
Asya mengakui kalau dirinya kurang tidur beberapa hari terakhir ini. Dimana akhir-akhir ini Gilang sering meminta haknya untuk dilayani Asya seperti tadi malam hingga dini hari. Jadi tidak heran Asya jadi kekurangan tidur karena harus melayani nafsu suaminya sebelum benar-benar tidur. Seperti semalam, dia baru tidur jam 3 dini hari setelah Gilang puas menikmati tubuhnya.
Tapi semakin kesini Asya sudah terbiasa dengan kebiasaan yang berbeda dari suaminya. Termasuk dalam hal ranjang.
"Kasihan sekali Mbak Asya. Tadi malam habis melayani lagi." batin Bi Asri yang tadi malam mengetahui kedatangan Gilang ke kamar Asya untuk meminta haknya sebagai suami. Apalagi suara aneh sesekali terdengar berasal dari sebelah kamarnya yaitu kamar Asya. Bukannya tidur seranjang dengan sang suami di kamar sebenarnya, ini malah Gilang menyuruh Asya tidur di kamar pembantu.
"Sabar ya mbak. Pasti Tuan Gilang akan mencintai dan menyayangi Mbak Asya dan dedeknya."
"Amiin Bi. Makasih doanya." Asya dan Bi Asri saling berpelukan.
Asya beruntung di kehamilannya ini dia tidak mengalami hal-hal aneh. Meskipun rasa mual tidak terelakkan tapi tidak parah. Dia sudah hafal dirinya akan mual bila sarapan pagi. Jadi setiap pagi dia tidak akan sarapan kecuali hari sudah beranjak siang. Hal itu untuk menghindari rasa mual yang selalu menghampirinya setiap pagi.
Tepat pukul 7 pagi, Gilang sudah nampak rapi dengan setelan kemeja warna navy dan celana panjang hitam sedang menuruni tangga dengan elegannya. Laki-laki berpostur tinggi dengan paras tampannya mampu menghipnotis siapapun terutama kaum hawa.
"Sudah rapi." Asya memperhatikan semua menu makanan sudah tertata rapi di atas meja makan, tidak sadar Gilang tengah menuju meja makan.
"Minggir." Gertak Gilang dengan lantang.
Asya terlonjak kaget reflek menoleh ke belakang. Gilang sudah berdiri dengan gagahnya tanpa meninggalkan tatapan tajam dari sorot mata elangnya itu. Asya mengelus dadanya untuk menetralkan rasa kagetnya.
"Ganteng sekali, Tuan Gilang."
Ditengah keterkejutan itu, Asya malah sibuk memperhatikan penampilan Gilang yang nampak tampan dan gagah tepat berada di hadapannya. Tidak sedikitpun penampilan Gilang, luput dari jangkuan manik bening Asya hingga tanpa sadar menarik sudut bibir Asya karena suka. Tapi sayang, justru kebalikannya GIlang malah tidak suka dan membuat emosinya tersulut.
"Masih pagi, sudah berani membuat saya emosi." Gilang tanpa merasa kasihan sedikitpun langsung menjambak rambut Asya yang diikat satu di belakang hingga wajah cantik istrinya mendongak ke atas.
"Awws sakit." rintih Asya dengan mata berkaca-kaca, serasa rambutnya hendak lepas dari kepalanya.
"Jadi orang itu nurut. Punya telinga di pakai bukan buat hiasan semata. Ngerti." Gilang menghempas rambut Asya dengan kasar hingga tubuh Asya ikut tersungkur menjauh.
"Hikss. Hiksss sakit."
"Dasar wanita sialan. Masih pagi sudah buat selera sarapan saya hilang." Tangan Gilang sudah melayang hendak menampar Asya.
Dret dret
Tiba-tiba suara ponsel Gilang berbunyi, mampu menyelamatkan Asya dari amukan sang suami. Gilang meraih ponselnya, sedangkan Asya sudah pergi menjauh sambil membawa rasa sakit dan perih di hatinya.
"Ok, saya akan kesana." Gilang mematikan ponselnya kemudian memasukkannya ke saku dan melenggang pergi. Melewatkan waktu sarapannya karena sudah tidak berselera untuk makan.
"Awas saja, wanita sialan. Akan aku beri perhitungan nanti." Gilang melangkah lebar dengan gerutuan dendam memenuhi hatinya.
Asya menangis dengan terisak meluapkan rasa sakit dan sesak dadanya akan perlakuan kasar Gilang barusan. Bukankah selama ini dia sudah menunjukkan sikapnya yang baik sebagai istri, tapi nyatanya perlakuan kasar dan tidak manusiawi tidak pernah lepas dari kehidupan Gilang padanya. Itu sungguh membuat hatinya tercabik.
"Sampai kapan mamah harus bertahan dengan ayahmu, nak." Asya mengelus perutnya dengan linangan air mata tanpa henti.
"Sabar ya mbak." Bi Asri memeluk Asya karena sedari tadi wanita paru baya itu mengintip apa yang terjadi antara Gilang dan Asya di meja makan. Lagi dan lagi, Bi Asri ikut merasakan betapa kasihan dan menyedihkan sekali hidup Asya yang tengah hamil malah harus diperlakukan buruk oleh suami sendiri.